Kerajaan Islam di Indonesia


1. KERAJAAN ACEH 

a. Kehidupan Politik 

Aceh mulai berkembang setelah Malaka diduduki oleh Portugis tahun 1511 sebab sebagian besar pedagang-pedagang Islam dari Malaka pindah ke Aceh. Di samping itu, jatuhnya Samudra Pasai ke tangan Portugis (1521), menambah keramaian Aceh. Pada tahun 1530, Aceh melepaskan diri dari Pedir dan berdirilah Kerajaan Aceh dengan Sultan Ali Mughayat (1514– 1528) sebagai raja pertamanya. 


Kerajaan Aceh mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Ia bercita-cita untuk menjadikan Aceh sebagai kerajaan besar dan kuat. Untuk itu, kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka harus ditaklukkan, seperti Pahang, Kedah, Perlak, Johor dan sebagainya. 

Pengganti Sultan Iskandar Muda ialah Sultan Iskandar Tani (1636– 1641). Setelah itu, Aceh terus mengalami kemunduran karena tidak ada lagi sultan yang kuat. Kerajaan Aceh tidak mampu bersaing dengan Belanda yang mengusai Malaka pada tahun 1641. 

b. Kehidupan Ekonomi 

Kehidupan perekonomian yang utama dari masyarakat Aceh ialah perdagangan. Pada masa kejayaan Aceh, perekonomian Aceh berkembang pesat. Penguasaan Aceh atas daerah-daerah pantai barat dan timur Sumatra banyak menghasilkan lada. Semenanjung Malaka banyak menghasilkan lada dan timah. Hal ini menjadi bahan ekspor yang penting bagi Aceh sehingga perdagangan Aceh maju dengan pesat. 

c. Kehidupan Sosial Budaya 

Dalam kehidupan sosial, di Aceh muncul dua golongan yang saling berebut pengaruh, yakni golongan teuku dan golongan tengku. Golongan teuku adalah kaum bangsawan yang memegang kekuasaan sipil. Adapun golongan tengku adalah kaum ulama yang memegang peranan penting dalam bidang agama. Di antara golongan agama sendiri juga ada persaingan, yakni antara aliran Syiah dan aliran Sunnah wal Jama'ah. Pada masa Sultan Iskandar Muda, aliran Syiah berkembang pesat. 

Tokoh aliran ini ialah Hamzah Fansuri yang kemudian diteruskan oleh Syamsuddin Pasai. Setelah Sultan Iskansar Muda meninggal, aliran Sunnah wal Jama'ah yang dapat berkembang pesat. Tokoh aliran ini ialah Nuruddin ar Raniri yang berhasil menulis sejarah Aceh dengan judul Bustanussalatin. Di bidang budaya terlihat dari adanya bangunan Masjid Baitturachman yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. 

2. KERAJAAN DEMAK 

Mundurnya Kerajaan Majapahit memberikan kesempatan kepada para bupati yang berada di pesisir pantai utara Jawa untuk melepaskan diri, khususnya Demak. Faktor lain yang mendorong perkembangan Demak ialah letaknya yang strategis di jalur perdagangan Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur. 

a. Kehidupan Politik 

1) Raden Patah (1475–1518) 

Dengan bantuan daerah-daerah lain yang masuk Islam, seperti Jepara, Tuban, dan Gresik, Raden Patah pada tahun 1475 berhasil mendirikan Kerajaan Demak, yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Menurut Babad Tanah Jawa, Raden Patah adalah putra Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir) dengan putri Campa. Raden Patah semula diangkat 

menjadi bupati oleh Kerajaan Majapahit di Bintoro Demak dengan gelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Dalam upaya mengembangkan kekuasaan dan menguasai perdagangan nasional dan internasional maka pada tahun 1513, Demak melancarkan serangan ke Malaka di bawah pimpinan Adipati Unus (Pangeran Sabrang Lor). Namun, serangan tersebut gagal. Di lingkungan kerajaan, para wali berperan sebagai pendamping dan sekaligus sebagai penasehat raja, khususnya Sunan Kalijaga. Ia banyak memberikan saran-saran sehingga Demak berkembang menjadi mirip kerajaan teokrasi, yaitu kerajaan atas dasar agama. 

2) Sultan Trenggono (1521–1546). 

Adipati Unus (1518–1521 ) menggantikan ayahnya (Raden Patah) untuk menjalankan roda pemerintahan. Ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Sabrang Lor (gelar yang diterima sebab pernah mengadakan serangan ke utara/Malaka). Adipati Unus meninggal tanpa meningalkan putra sehingga seharusnya digantikan oleh adiknya, Pangeran Sekar Seda Lepen. Akan tetapi, pangeran ini dibunuh oleh kemenakannya sehingga yang menggantikan takhta Demak adalah adik Adpati Unus yang lain, yakni Pangeran Trenggono. Ia setelah naik takhta Demak bergelar Sultan Trenggono. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaannya sangat luas, meliputi Jawa Barat (Banten, Jayakarta, dan Cirebon), Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Timur. Tindakan-tindakan penting yang pernah dilakukan Sultan Trenggono adalah sebagai berikut: 

a) menegakkan agama Islam; 
b) membendung perluasan daerah yang dilakukan oleh Portugis; 
c) menguasai dan mengislamkan Banten, Cirebon, dan Sunda Kelapa (Perluasan ke wilayah Jawa Barat ini dipimpin oleh Fatahilah (Faletehan) yang kemudian menurunkan raja-raja Banten). 
d) berhasil menakhlukkan Mataram, Singasari, dan Blambangan. 

Sultan Trenggono gugur (1546) ketika berusaha menaklukkan Pasuruan. Wafatnya Sultan Trenggono memberi peluang kepada keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen yang merasa berhak atas takhta Kerajaan Demak untuk merebut takhta. Tokoh ini ialah Aria Penangsang yang menjadi bupati di Jipang (Blora). Keluarga Sultan Trenggono dengan tokohnya Pangeran Prawoto berusaha untuk menggantikan ayahnya sehingga terjadi perebutan kekuasaan. Perang saudara ini berlangsung selama beberapa tahun yang 

akhirnya memunculkan Joko Tingkir, menantu Sultan Trenggono yang berasal dari Pajang, menaiki takhta sebagai raja dengan gelar Sultan Hadiwijoyo (1552–1575). 

b. Kehidupan Ekonomi 

Dilihat dari segi ekonomi, Demak sebagai kerajaan maritim, menjalankan fungsinya sebagai penghubung atau transit daerah penghasil rempah-rempah di bagian timur dengan Malaka sebagai pasaran di bagian barat. Perekonomian Demak dapat berkembang dengan pesat di dunia maritim karena didukung oleh penghasil dalam bidang agraris yang cukup besar. 

c. Kehidupan Sosial Budaya 

Kehidupan sosial Demak diatur oleh hukum-hukum Islam, namun juga masih menerima tradisi lama. Dengan demikian, muncul sistem kehidupan sosial yang telah mendapat pengaruh Islam. Di bidang budaya, terlihat jelas dengan adanya pembangunan Masjid Agung Demak yang terkenal dengan salah satu tiang utamanya terbuat dari kumpulan sisa-sisa kayu yang dipakai untuk membuat masjid itu sendiri yang disebut soko tatal. Di pendapa (serambi depan masjid) itulah Sunan Kalijaga (pemimpin pembangunan masjid) meletakkan dasar-dasar syahadatain (perayaan Sekaten). Tujuannya ialah untuk memperoleh banyak pengikut agama Islam. Tradisi Sekaten itu sampai sekarang masih 

berlangsung di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon 

3. Kerajaan Banten 

a. Kehidupan Politik 

Daerah Banten berhasil dikuasai dan diislamkan oleh Fatahilah (Panglima Perang Demak). Di samping menguasai Banten, Fatahilah juga berhasil merebut Cirebon dan Sunda Kelapa yang kemudian namanya diubah menjadi Jayakarta (1527). Setelah Fatahilah menetap di Cirebon, Banten diserahkan kepada putranya yang bernama Maulana Hasanuddin. 

Banten masih tetap menjadi daerah kekuasaan Demak, namun setelah di Demak terjadi kegoncangan politik akibat perebutan kekuasaan, Banten akhirnya melepaskan diri. Maulana Hasanudin sebagai peletak dasar dan menjadi Raja Banten yang pertama (1552–1570). Daerah kekuasannya meluas sampai dengan Lampung dan berhasil mengusai perdagangan lada. 

Pada tahun 1570 Sultan Hasanuddin meninggal dan digantikan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf (1570–1580). Ia berhasil menundukkan Kerajaan Pajajaran. 

Raja yang terbesar Banten ialah Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1682). Sultan Ageng Tirtayasa berhasil memajukan perdagangan Banten. Politik Sultan Ageng terhadap VOC sangat keras, namun tidak disetujui oleh putranya Sultan Haji (Abdulnasar Abdulkahar) sehingga terjadi perselisihan. Sultan Haji minta bantuan VOC sehingga Kerajaan Banten yang jaya dan besar di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa kemudian menjadi boneka 

Kompeni dengan rajanya, Sultan Haji. 

b. Kehidupan Ekonomi 

Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dapat berkembang menjadi bandar perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam. Adapun faktor-faktornya, antara lain sebagai berikut. 

1) Letaknya strategis dalam lalu lintas perdagangan. 
2) Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis sehingga para pedagang Islam tidak lagi singgah di Malaka, namun langsung menuju Banten. 
3) Banten mempunyai bahan ekspor penting, yakni lada. 

Banten yang maju banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari Arab, Gujarat, Persia, Turki, Cina, dan sebagainya. Di kota dagang Banten segera terbentuk perkampungan-perkampungan menurut asal bangsa itu, seperti orang-orang Arab mendirikan Kampung Pekojan, orang Cina mendirikan Kampung Pecinan, orang-orang Indonesia dari suku-suku lainnya mendirikan Kampung Banda, Kampung Jawa, dan sebagainya. 

c. Kehidupan Sosial Budaya 

Sejak Banten diislamkan oleh Fatahilah (Faletehan) pada tahun 1527 maka kehidupan sosial masyarakat Banten secara berangsur-angsur mulai berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten berhasil mengalahkan Pajajaran, pengaruh Islam makin kuat di daerah pedalaman. Pendukung setia Kerajaan Pajajaran kemudian menyingkir ke pedalaman, yakni ke daerah Banten Selatan. Mereka kemudian di kenal sebagai suku Badui. Kepercayaan mereka disebut Pasundan Kawitan yang artinya Pasundan yang pertama . Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lama dan menolak pengaruh Islam. 

Kehidupan sosial masyarakat Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa meningkat pesat sebab sultan mempehatikan kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun, setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, kehidupan sosialnya merosot tajam sebab adanya campur tangan Belanda dalam berbagai kehidupan. 

Kehidupan seni budaya Islam dapat ditemukan pada bangunan Masjid Agung Banten (tumpang lima) dan bangunan gapura-gapura di Kaibon Banten. Di samping itu, bangunan istana yang dibangun oleh Jan Lukas Cardeel, orang Belanda pelarian dari Batavia yang telah menganut agama Islam. Susunan istananya menyerupai istana raja di Eropa. 

4. Kerajaan Mataram Islam 

a. Kehidupan Politik 

Sesudah runtuhnya Kerajaan Demak, pusat pemerintahan dipindahkan ke Pajang oleh Joko Tingkir ( menantu Sultan Trenggono). Joko Tingkir menaiki takhta Kerajaan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo. Usia pemerintahannya tidak begitu lama yakni 1568–1586. Hal ini disebabkan kota-kota pesisir terus memperkuat diri dan erusaha melepaskan dari kekuasaan Pajang. Setelah Sultan Hadiwijoyo meninggal (1586) takhta Pajang digantikan oleh putranya, yakni Pangeran Benowo. Ternyata, Pangeran Benowo tidak dapat mengatasi kekacauan-kekacauan sehingga kekuasaan diserahkan kepada Sutowijoyo. Puncaknya, Sutawijoyo memindahkan pusat pemerintahan ke Kotagede dan berdirilah Kerajaan 

Mataram Islam. 

Sutowijoyo mengangkat dirinya sebagai Raja Mataram pertama dengan gelar Panembahan Senopati (1586–1601) dengan Kotagede sebagai ibukotnya. Tindakan-tindakannya yang penting, antara lain sebagai berikut: 

1) meletakkan dasar-dasar Kerajaan Mataram; 
2) memperluas wilayah kekuasaan dengan menundukkan Surabaya, Madiun, dan Ponorogo ke timur dan ke barat berhasil menundukkan Cirebon dan Galuh. 



Pengganti Panembahan Senopati ialah Mas Jolang gugur di daerah Krapyak sehingga disebut Panembahan Seda Krapyak. Raja terbesar Kerajaan Mataram ialah Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613–1645).Sultan Agung bercita-cita mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram dan mengusir Kompeni (VOC) dari Batavia. Masa pemerintahan Sultan Agung yang selama 32 tahun dibedakan atas dua periode, yaitu masa Penyatuan Kerajaan dan masa Pembangunan. 

Masa Penyatuan Kerajaan (1613–1629) merupakan masa peperangan untuk mewujudkan cita-cita menyatukan seluruh Jawa. Sultan Agung menundukkan Gresik, Surabaya, Kediri, Pasuruan, dan Tuban. Selanjutnya, menundukkan Lasem, Pamekasan, dan Sumenep, bahkan juga Sukadana di Kalimantan. Dengan demikian, seluruh Jawa telah takluk di bawah Mataram bahkan sampai ke luar Jawa, yakni Palembang, Sukadana, dan 

Goa. 

Setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Cirebon berhasil dikuasai, Sultan Agung merencanakan untuk menyerang Batavia. Serangan pertama dilancarkan pada bulan Agustus 1628 di bawah pimpinan Bupati Baurekso dari Kendal dan Bupati Ukur dari Sumedang. Batavia dikepung dari darat dan laut selama dua bulan, namun tidak mau menyera,h bahkan sebaliknya tentara Mataram dipukul mundur. 

Dipersiapkan serangan yang kedua lebih matang dengan membuat pusat-pusat perbekalan makanan di Tegal, Cirebon, dan Krawang. Serangan kedua dilancarkan bulan September 1629 di bawah pimpinan Bupati Sura Agul-Agul, Mandurarejo, dan Uposonto. Namun, VOC telah mengetahui lebih dahulu rencana tersebut. Hal itu dibuktikan dengan tindakan VOC membakar dan memusnahkan gudang-gudang perbekalan. Serangan kedua Mataram ke Batavia mengalami kegagalan karena kurangnya perbekalan makanan, kalah persenjataan, jarak Mataram–Jakarta sangat jauh, dan tentara Mataram terjangkit wabah penyakit. 

Setelah Sultan Agung meninggal, takhta kerajaan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Amangkurat I (1645–1677). Berbeda dengan ayahnya, raja ini tidak bijaksana dan cenderung kejam dan kurang memperhatikan kepentingan rakyat. Banyak rakyat dan kaum bangsawan tidak menyukainya. 

Hal yang sangat tidak disenangi ialah persahabatannya dengan VOC yang dahulu sangat dibenci oleh ayahnya. Akibat muncullah pemberontakan Trunojoyo (1674–1680). Trunojoyo adalah pangeran dari Madura yang tidak senang terhadap tindakan Amangkurat I sehingga menghimpun kekuatan untuk menyerang Mataram. Pada tahun 1677 pasukan Trunojoyo berhasil menduduki Plered, ibu kota Mataram. Amangkuat I bermaksud minta bantuan VOC ke Batavia, namun baru sampai di Tegalarum meninggal sehingga dimakamkan di tempat itu juga. Oleh karena itu, Amangkurat I dikenal juga sebagai Sultan Tegalarum. Pengganti Amangkurat I adalah putra mahkota yang bergelar Sultan Amangkurat II (1677– 1703). 

Untuk menghadapi Trunojoyo, Amangkurat II meminta bantuan VOC di Semarang. Pimpinan VOC, Speelman menyetujui permintan Amangkurat II dengan suatu perjanjian (1670) yang isinya sebagai berikut. 

1) VOC mengakui Amangkurat II sebagai Raja Mataram. 

2) VOC mendapatkan monopoli di Mataram. 

3) Seluruh biaya perang harus diganti oleh Amangkurat II. 

4) Sebelum hutangnya lunas seluruh pantai utara Jawa digadaikan kepada VOC. 

5) Mataram harus menyerahkan daerah Krawang, Priangan, Semarang dan sekitarnya kepada VOC. 

Pada saat itu Tronojoyo telah berhasil mendirikan istana di Kediri dengan gelar Prabu Maduretno. Tentara VOC di bantu oleh tentara Aru Palaka dari Makasar dan Kapten Jonker dari Ambon bersama tentara Mataram akhirnya menyerang Kediri. Tronojoyo tidak mampu menghadapi gempuran tentara Mataram dan VOC, terus terdesak ke daerah pegunungan dan bertahan di Gunung Wilis. Trunojoyo menyerah pada tanggal 25 Desember 1679 dan 

akhirnya gugur ditikam keris oleh Amangkurat II pada tanggal 2 Januari 1680. Sultan Amangkurat II kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Plered ke Kartasura. 

Perlawanan Untung Suropati (1686–1706) 

Untung Suropati, demikianlah nama pejuang pada masa Mataram di bawah pemerintahan Amangkurat II. Sikap benci Untung kepada VOC telah muncul sejak di Batavia. Untung kemudian melarikan diri ke Cirebon dan terjadi perkelahian dengan Suropati maka namanya menjadi Untung Suropati. Dari Cirebon Untung terus melanjutkan perjalanan ke Kartasura. 

Amangkurat II setelah menjadi raja merasakan betapa beratnya perjanjian yang telah ditandatangani dan berusaha untuk melepaskan diri. Ketika Untung Suropati tiba di Kartasura disambut dengan baik. Pada tahun 1686 datang utusan dari Batavia di bawah pimpinan Kapten Tack dengan maksud merundingkan soal hutang Amangkurat II dan menangkap Untung Suropati. 

Amangkurat II menghindari pertemuan ini dan terjadilah pertempuran. Kapten Tack beserta pengikutnya berhasil dihancurkan oleh pasukan Untung Suropati. Untung Suropati kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur dan sampailah ke Pasuruan Di sinilah akhirnya Untung mendirikan istana dan mengangkat dirinya sebagai bupati dengan gelar Adipati Wironagoro. Di Bangil didirikan perbentengan. Bupati-bupati seluruh Jawa Timur mendukungnya, dengan demikian kedudukannya makin kuat. 

Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat, digantikan oleh putranya Sunan Mas dengan gelar Sultan Amangkurat III yang anti kepada Belanda. Pamannya Pangeran Puger (adik Amangkurat II) berambisi ingin menjadi raja di Mataram dan pergi ke Semarang untuk mendapatkan dukungan dari VOC. Selanjutnya, VOC berserta Pangeran Puger menyerang 

Kartasuradan berhasil diduduki. Amangkurat III melarikan diri ke Jawa Timur bergabung dengan Untung Suropati. Pada tahun 1704 Pangeran Puger dinobatkan sebagai Raja Mataram dengan gelar Sunan Paku Buwono I. 

Pihak Belanda menyiapkan pasukan secara besar-besaran untuk menggempur pasukan Untung di Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde, pasukan kompeni berhasil mendesak perlawanan Untung. Dalam pertempuran di Bangil, Untung terluka dan akhirnya gugur pada tanggal 12 Oktober 1706. Sunan Mas bisa tertangkap dan kemudian dibuang ke 

Sailan/Sri Langka (1708). 

Pada tahun 1719 Sunan Paku Buwono I wafat dan digantikan oleh Amangkurat IV (Sunan Prabu) di bawah mandat VOC. Makin eratnya hubungan denganVOC membuat para bangsawan benci kepada kompeni. Mereka mengadakan perlawanan, antara lain Pangeran Purboyo (adik Sunan) dan Pangeran Mangkunegoro (putra Sunan sendiri). Perlawanan terhadap Kompeni dapat dipadamkan dan para pemimpinya ditangkap dan dibuang ke Sailan dan Afrika Selatan, kecuali Pangeran Mangkunegoro yang diampuni ayahnya. 

Pada masa pemerintahan Paku Buwono II (1727–1749) Mataram diguncang lagi perlawanan yang dipimpin oleh Mas Garendi (cucu Sunan Mas). Perlawanan ini di dukung oleh orang-orang Tionghoa yang gagal mengadakan pemberontakan terhadap VOC di Batavia. Mas Garendi berhasil menduduki ibu kota Kartasura. 

Paku Buwono II melarikan diri ke Ponorogo. VOC meminta bantuan kepada Bupati Madura, Cakraningrat untuk merebut kembali Kartasura dengan imbalan keinginan Cakraningrat untuk melepaskan diri dari Mataram akan dikabulkan. Cakraningrat berhasil merebut kembali Kartasura dan Paku Buwono II berhasil kembali ke Kartasura sebagai raja. Namun, antara VOC dan Cakraningrat terjadi perselisihan karena Cakraningrat keberatan meninggalkan Kartasura. Perselisihan berakhir dengan ditangkapnya dan di buang ke Afrika Selatan (1745). 

Setelah beberapa kali terjadi perlawanan di Kartasura, Kartasura dianggap tidak layak sebagai ibu kota kerajaan sehingga pusat pemerintahan dipindahkan ke Surakarta. Makin bercokolnya VOC di Mataram menyebabkan pada masa Paku Buwono II ini juga terjadi perlawanan lagi di bawah pimpinan Raden Mas Said (putra Pangeran Mangkunegoro) dan 

menduduki Sukowati. Oleh Paku Buwono II dikeluarkan semacam sayembara, siapa yang dapat merebut daerah Sukowati akan mendapat daerah itu sebagai imbalannya. Pangeran Mangkubumi, adik Paku Buwono II berhasil merebut Sukowati, tetapi ternyata daerah itu tidak diberikan. Pangeran Mangkubumi meninggalkan kota dan bergabung dengan Raden 

Mas Said melakukan perlawanan. 

Mataram Terpecah Belah 

Setelah Mangkubumi bergabung dengan Mas Said, terjadilah persekutuan antara Mangkubumi dan Mas Said melawan Paku Buwono II dan III. Pada waktu Paku Buwono II sakit keras, utusan VOC dari Batavia datang ke Surakarta. Dalam keadaan lemah dan tidak sadar, Paku Buwono II menyerahkan Mataram kepada VOC. Hasl yang demikian mungkin saja terjadi. Menurut tradisi Timur orang yang akan meninggal biasanya menyerahkan keluarganya kepada orang yang menjadi kepercayaannya. Hal ini diartikan oleh Belanda bahwa sejak itu VOC berkuasa penuh atas Mataram. 

Pada tahun 1749 Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Paku Buwono III. Awalnya, Belanda mengakuinya sebagai Sultan Mataram yang baru, tetapi setelah itu VOC berusaha untuk memecah belah Mataram sehingga dapat dikuasainya. 

Perlawanan Mangkubumi dan Mas Said cukup tangguh. Raden Mas Said mendapat julukan Pangeran Samber Nyowo (pangeran perenggut jiwa). Namun, karena di antara keduanya kterjadi perselisihan sehingga dimanfaatkan oleh Belanda untuk memecah belah Mataram. Perseteruan antara Paku Buwono II yang dibantu Kompeni dan Pangeran Mangkubumi 

dapat diakhiri dengan Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 Isi Perjanjian Giyanti pada intinya Mataram dipecah menjadi dua. 

1) Mataram baratn yakni Kasultanan Yogakarta diberikan kepada Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I. 

2) Mataram timur ,yakni Kasunanan Surakarta diberikan kepada Paku Buwono III. 

Selanjutnya ,untuk memadamkan perlawanan Raden Mas Said diadakan Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 175. Isi Perjanjian Salatiga pada intinya Surakarta dibagi menjadi dua. 

1) Surakarta utara diberikan kepada Mas Said dengan gelar Mangkunegoro I, kerajaannya dinamakan Mangkunegaran. 

2) Surakarta selatan diberikan kepada Paku Buwono III kerajaannya dinamakan Kasunanan Surakarta. 

Pada tahun 1813 sebagian daerah Kasultanan Yogyakarta diberikan kepada Paku Alam selaku bupati. Dengan demikian, Kerajaan Mataram yang dahulinya satu, kuat, dan kokoh pada masa pemerintahan Sultan Agung akhirnya terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajan kecil berikt ini: 

1) Kerajaan Yogyakarta; 

2) Kasunanan Surakarta; 

3) Pakualaman; 

4) Mangkunegaran. 

b. Kehidupan Ekonomi 

Kerajaan Mataram yang terletak di pedalaman merupakan sebuah kerajaan agraris dengan hasil utamanya beras. Pada masa Sultan Agung, kehidupan masyarakat Mataram mengalami perkembangan pesat. Pada masa ini hasil bumi Mataram cukup melimpah. 

c. Kehidupan Sosial-Budaya 

Pada masa Pembangunan, maka Sultan Agung melakukan usaha-usaha antara lain untuk meningkatkan daerah-daerah persawahan maka memprogramkan pemindahan para petani ke daerah Krawang yang subur. 

Atas dasar kehidupan agraris itulah disusun suatu masyarakat yang bersifat feodal. Para pejabat pemerintahan memperoleh imbalan berupa tanah garapan (lungguh), sehingga sistem kehidupan ini menjadi dasar munculnya tuan-tuan tanah di Jawa. 

Pada masa kebesaran Mataram, kebudayaan juga berkembang, antara lain seni tari, seni pahat, seni sastra, dan sebagainya. Di samping itu juga muncul kebudayaan kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayan jawa, Hindu, Buddha dengan Islam. 

Upacara Garebeg yang bersumber pada pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi sejak zaman Majapahit dijatuhkan pada waktu perayaan hari besar Islam sehingga muncul Garebeg Syawal pada hari raya Idul Fitri dan Garebeg Maulud pada bulan Rabiulawal. Hitungan tahun yang sebelumnya merupakan tarikh Hindu yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh samsiah) maka sejak tahun 1633 diubah 

menjadi tarikh Islam yang berdasarkan pada peredaran bulan (tarikh komariah). Tahun Hindu 1555 diteruskan dengan perhitungan baru dan dikenal dengan tahun Jawa. 

Adanya suasana yang aman, damai dan tenteram menyebabkan berkembangnyaa kesusastraan Jawa. Sultan Agung mengarang kitab Sastra Gending yang berupa filsafat. Demikian juga muncul kitab Nitisruti, Nitisastra, dan Astabrata yang berisi ajaran tabiat baik yang bersumber pada kitab Ramayana 

5. Kerajaan Makassar 

a. Kehidupan Politik 

Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan kecil, seperti Goa, Tallo, Sopeng, dan Bone. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut yang kemudian muncul sebagai kerajaan besar ialah Goa dan Tallo. Keduanya lebih dikenal dengan nama Kerajaan Makassar. Faktor yang membawa perkembangan Makassar, antara lain sebagai berikut. 

1) Terletak di tepi sungai. 

2) Letak Makasar yang sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan Malaka–Maluku. 

3) Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis 1511. 

4) Beralihnya sistem pemerintahan di Jawa Tengah ke corak agraris. 

Pada tahun 1605 penguasa dari kerajaan kembar Goa dan Tello memeluk agama Islam. Raja Tallo bernama Karaeng Mataoya yang bergelar Sultan Abdullah dengan julukan Awalul Islam dan Raja Goa bernama Daeng Manrabia dengan gelar Sultan Alaudin. Pada masa dwitunggal ini giat mengislamkan rakyat. Oleh karena itu, Kerajaan Makassar merupakan 

kerajaan Islam pertama di Sulawesi Selatan. Kerajaan Goa–Tallo (Makassar) berkembang di bawah pemerintahan Muhammad Said (1639–1653) dan mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654–1670). Sultan Hasanuddin mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur karena keberaniannya menetang monopoli Belanda. 

Usaha-usaha penetrasi kekuasaan terhadap Makassar dilakukan oleh VOC dalam rangka melaksanakan politik monopoli perdagangan. Hubungan Makasar–VOC yang semula baik, kemudian retak dan akhirnya menjadi permusuhan. Pertempuran besar meletus pada tahun 1666 ketika Makassar di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin. Dalam pertempuran ini, VOC di bawah pimpinan Speelman berkoalisi dengan Kapten Jonker dari Ambon dan Aru Palaka Raja Bone. 

Perlawanan Hasanuddin berhasil dipatahkan dan para pemimpin yang tidak mau tunduk kepada VOC, seperti Kraeng Galesung dan Montemerano melarikan diri ke Jawa. Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 Nopember 1667. Isi Perjanjian Bongaya sangat merugikan rakyat Makassar, seperti berikut ini. 

1) Wilayah Makassar terbatas pada Goa. Wilayah Bone dikembalikan kepada Aru Palaka. 

2) Kapal Makassar dilarang berlayar tanpa seizin VOC. 

3) Makassar tertutup untuk semua bangsa, kecuali VOC dengan hak monopolinya. 

4) Semua benteng harus dihancurkan, kecuali satu yakni Benteng Ujung Pandang yang kemudian namanya diganti menjadi Benteng Rotterdam. 

5) Makassar harus mengganti kerugian perang sebesar 250 ribu ringgit. 

Walaupun Sultan Hasanuddin telah menandatangani perjanjian tersebut, perlawanan terhadap VOC muncul lagi (1667–1669). Makassar berhasil dihancurkan dan selanjutnya dinyatakan sebagai milik VOC. 

b. Kehidupan Ekonomi 

Untuk menunjang Makassar sebagai pelabuhan transit dan untuk mencukupi kebutuhannya maka kerajaan ini menguasai daerah-daerah sekitarnya. Di sebelah timur ditaklukanlah Kerajaan Bone, sedangan untuk memperlancar dan memperluas jalan perdagangan, Makasar mengusai daerahdaerah selatan, seperti Pulau Selayar, Buton, Lombok, dan Sumbawa di Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian, jalan perdagangan pada waktu 

musim Barat yang melalui sebelah utara kepulauan Nusa Tenggara dan jalan perdagangan waktu musim Timur yang melalui sebelah selatan dapat dikuasainya. 

Makassar berkembang sebagai pelabuhan internasional, banyak pedagang asing, seperti Portugis, Inggris ,dan Denmark berdagang di Makassar. Dengan jenis perahu-perahunya seperti pinisi dan lambo, pedagang Makassar memegang peranan penting dalam perdagangan di Indonesia. Hal ini menyebabkan mereka berhadapan dengan Belanda sehingga menimbulkan beberapa kali peperangan. Pihak Belanda yang merasa berkuasa atas Maluku sebagai sumber rempah rempah, menganggap Makasar sebagai pelabuhan gelap. Hal itu disebabkan di Makasar dijual belikan rempah-rempah yang berasal dari Maluku. 

Untuk mengatur pelayaran dan perniagaan dalam wilayahnya disusunlah hukum niaga dan perniagaan yang disebut Ade Allopioping Bicarance Pabbalu'e dan sebuah naskah lontar karya Amanna Gappa. 

c. Aspek Sosial–Budaya 

Mengingat Makaasar sebagai kerajaan maritim dengan sumber kehidupan masyarakat pada aktivitas pelayaran perdagangan maka sebagian besar kebudayaannya dipengaruhi oleh keadaan tersebut. Hasil kebudayaan yang terkenal dari Makasar adalah perahu pinisi dan lambo. Selain itu jugaberkembang kebudayaan lain, seperti seni bangun, seni sastra, seni suara, dan sebagainya. 

6. Kerajaan Ternate dan Tidore 

a. Kehidupan Politik 

Di Maluku yang terletak di antara Sulawesi dan Papua terdapat dua kerajaan, yakni Ternate dan Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat Pulau Halmahera di Maluku Utara. Kedua kerajaan itu pusatnya masingmasing di Pulau Ternate dan Tidore, tetapi wilayah kekuasaannya mencakup sejumlah pulau di Kepulauan Maluku dan Papua. 

Kerajaan Ternate sebagai pemimpin Persekutuan Uli Lima, yaitu persekutuan lima bersaudara dengan wilayahnya mencakup pulau-pulau Ternate, Obi, Bacan, Seram dan Ambon. Kerajaan Tidore sebagai pemimpin Persekutuan Uli Siwa (persekutuan sembilan saudara) wilayahnya meliputi pulau-pulau Makyan, Jailolo atau Halmahera, dan pulau-pulau di daerah itu sampai dengan Papua Barat. Di antara keduanya saling terjadi persaingan dan makin tampak setelah datangnya bangsa Barat. 

Bangsa Barat yang pertama kali datang di Maluku ialah Portugis (1512) yang bersekutu dengan Kerajaan Ternate. Jejak ini diikuti oleh bangsa Spanyol yang berhasil mendarat di Maluku 1521 dan mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Tidore. Dua kekuatan telah berhadapan, namun belum terjadi pecah perang. Untuk menyelesaikan persaingan antara Portugis dan Spanyol maka pada tahun 1529 diadakan Perjanjian Saragosa yang isinya bangsa Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan kekuasaannya di Filipina dan bangsa Portugis tetap tinggal Maluku. 

Untuk memperkuat kedudukannya di Maluku maka Portugis mendirikan Benteng Sao Paulo. Menurut Portugis benteng ini dibangun untuk melindungi Ternate dari serangan Tidore. Tindakan Portugis di Maluku makin merajalela dengan memonopoli perdagangan dan terlalu ikut campur tangan dalam urusan dalam negeri Ternate sehingga menimbulkan pertentangan. 

Salah seorang Sultan Ternate yang menentang ialah Sultan Hairun (1550–1570). Untuk menyelesaikan pertentangan itu diadakan perundingan antara Ternate (Sultan Hairun) dan Portugis (Gubernur Lopez de Mesquita). Perdamaian dapat dicapai pada tanggal 27 Februari 1570. Namun, perundingan persahabatan itu hanyalah tipuan belaka. Pada pagi harinya (28 Februari) ketika Sultan Hairun berkunjung ke Benteng Sao Paulo, ia ditangkap dan dibunuh. 

Atas kematian Sultan Hairun, rakyat Ternate bangkit menentang bangsa Portugis di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putra dan pengganti Sultan airun). Setelah terkepung hampir selama lima tahun, Benteng Sao Paulo berhasil diduduki rakyat Ternate (1575). Orang-orang Portugis yang menyerah tidak dibunuh, tetapi harus meninggalkan Ternate. Mereka pun pindah ke Ambon, Maluku. 

Sultan Baabullah dapat meluaskan daerah kekuasaannya di Maluku. Daerah kekuasaannya terbentang antara Sulawesi dan Papua; ke arah timur sampai Papua; barat sampai ke Pulau Buton; utara sampai ke Mindanao Selatan (Filipina); selatan sampai ke Pulau Bima (Nusa Tenggara) sehingga ia mendapat julukan Tuan dari Tujuh Pulau Dua Pulau. 

Pada abad ke-17, bangsa Belanda datang di Maluku dan segera terjadi persaingan antara Belanda dan Portugis. Belanda akhirnya berhasil menduduki benteng Portugis di Ambon dan dapat mengusir Portugis dari Maluku (1605). Belanda yang tampa ada saingan kemudian juga melakukan tindakan yang sewenang-wenang, seperti berikut ini. 

1) Melaksanakan sistem penyerahan wajib sebagian hasil bumi (rempahrempah) kepada VOC (contingenten). 

2) Adanya perintah penebangan/pemusnahan tanaman rempah-rempah jika harga rempah-rempah di pasaran turun (hak ekstirpasi) dan penanaman kembali secara serentak apabila harga rempah-rempah di pasaran naik/meningkat. 

3) Mengadakan pelayaran Hongi (patroli laut), yakni sistem perondaan yang dilakukan oleh VOC dengan tujuan untuk mencegah timbulnya perdagangan gelap dan mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan di seluruh Maluku. 

Tindakan-tindakan penindasan tersebut jelas membuat rakyat hidup terkenan dan menderita. Sebagai reaksinya rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata melawan VOC. Pada tahun 1635–1646 rakyat di Kepulauan Hitu bangkit melawan VOC di bawah pimpinan Kakiali dan dilanjutkan oleh Telukabesi. Pada tahun 1650 rakyat Ambon dipimpin oleh Saidi 

melakukan perlawanan terhadap VOC. Demikian juga di daerah lain, seperti Seram, Haruku, dan Saparua juga terjadi perlawanan rakyat, tetapi semua perlawanan berhasil dipadamkan oleh VOC. 

Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan besar, tetapi pada akhir abad ke-18 muncul lagi perlawanan besar yang mengguncangkan kekuasaan VOC di Maluku. Jika melawan Portugis Kasultanan dan rakyat Ternate yanga memegang peranan penting maka untuk melawan VOCsebaliknya, kasultanan dan rakyat Tidore yang memimpinnya. Pada 

tahun 1780 rakyat Tidore bangkit melawan VOC di bawah pimpinan Sultan Nuku. Selanjutnya, Sultan Nuku juga berhasil menyatukan Ternate dengan Tidore. Setelah Sultan Nuku meninggal (1805), tidak ada lagi perlawaan yang kuat menentang VOC, maka mulailah VOC memperkokoh kekuasaannya kembali di Maluku. Perlawanan yang lebih dahsyat di Maluku baru muncul pada permulaan abad ke-19 di bawah pimpinan Pattimura. 

b. Kehidupan Ekonomi 

Kehidupan rakyat Maluku yang utama adalah pertanian dan perdagangan. Tanah di Kepulauan Maluku sangat subur dengan hasil utamanya cengkih dan pala. Keduanya merupakan rempah-rempah yang sangat diperlukan untuk ramuan obat-obatan dan bumbu masak karena mengandung bahan pemanas. Oleh karena itu, rempah-rempah banyak diperlukan di daerah dingin, seperti di Eropa. Dengan hasil rempahrempahnya maka aktivitas pertanian dan perdagangan rakyat Maluku maju dengan pesat. 

c. Kehidupan Sosial–Budaya 

Kedatangan Portugis di Maluku tidak hanya untuk berdagang dan mendapatkan rempah-rempah, tetapiPortugis juga menyebarkan agama Katolik. Pada tahun 1534 missionaris Katolik, Fransiscus Xaverius telah berhasil menyebarkan agama Katolik di Halmahera, Ternate, dan Ambon. Telah kita ketahui bahwa sebelumnya di Maluku telah berkembang agama Islam. Dengan demikian, kehidupan agama telah mewarnai kehidupan sosial masyarakat Maluku. 

Rakyat Maluku aktivitas banyak tercurah pada perekonomian sehingga sedikit menghasilkan budaya. Salah satu karya seni bangun yang terkenal ialah Istana Sultan Ternate dan masjid kuno di Ternate. 

7. Kerajaan Kutai 

a. Kehidupan politik 

Kerajaan Kutai terletak di dekat Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Keberadaan kerajaan ini dapat diketahui dari tujuh buah prasasti (Yupa) yang ditemukan di Muarakaman, tepi Sungai Mahakam. Prasasti yang berbentuk yupa itu menggunakan huruf Pallawa dan bahasa 

Sanskerta. Menurut para ahli, diperkirakan kerajaan Kutai dipengaruhi oleh kerajaan 

Hindu di India Selatan. Perkiraan itu didasarkan dengan membandingkan huruf di Yupa dengan prasasti-prasasti di India. Dari bentuk hurufnya, prasasti itu diperkirakan 

berasal dari abad ke-5 M. Apabila dibandingkan dengan prasasti di Tarumanegara, maka bentuk huruf di kerajaan Kutai jauh lebih tua. 



Berdasarkan salah satu isi prasasti Yupa, kita dapat mengetahui nama-nama raja yang pernah memerintah di Kutai, yaitu Kundungga, Aswawarman dan Mulawarman. Prasasti tersebut adalah: 

“Srinatah sri-narendrasya, kundungasya mahatmanah, putro svavarmmo vikhyatah, vansakartta yathansuman, Tasya putra mahatmanah, tryas traya ivagnayah, tesn traynam prvrah, tapobala- damanvitah, sri mulavarmma rajendro,yastva bahusuvarunakam, tasya yjnasya yupo ‘yam, dvijendarais samprakalpitah”. 

(Sang maharaja Kundungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang masyhur, sang Aswawarman yang seperti ansuman, sang Aswawarman mempunyai tiga putra yang seperti api yang suci. Yang paling terkemuka ialah sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Dia melaksanakan selamatan dengan emas yang banyak. Untuk itulah Tugu batu ini didirikan) 

b. Kehidupan ekonomi 

Kehidupan ekonomi di kerajaan Kutai tergambar dalam salah satu prasasti, yang isinya, seperti berikut ini. 

(Tugu ini ditulis untuk (peringatan) dua (perkara) yang telah disedekahkan oleh sang Mulawarman yakni segunung minyak, dengan lampu dan malai bunga) 

Dari Isi Yupa di atas, kita dapat menemukan beberapa benda yang disedekahkan yaitu minyak, lampu, dan malai bunga. Sedekah dari raja kepada Brahmana pasti dalam jumlah yang besar. Untuk itu, diperlukan jumlah minyak, lampu dan malai bunga yang banyak. Benda-benda itu didapatkan dalam jumlah yang banyak jika ada upaya untuk memperbanyaknya. Adanya minyak dan bunga malai, kita dapat menyimpulkan bahwa sudah ada usaha dalam bidang pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Kutai. Sementara itu, lampulampu tersebut dihasilkan dari usaha dibidang kerajinan dan pertukangan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua bidang usaha tersebut sudah berkembang di lingkungan masyarakat Kutai. 

Begitu pula pada prasasti yang lain, berisikan sebagai berikut. 

Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana yang seperti api. Bertempat didalam tanah yang sangat suci Waprakeswara, buat peringatan akan kebaikan didirikan Tugu ini) 

Kehidupan ekonomi yang dapat disimpulkan dari prasasti tersebut adalah keberadaan sapi yang dipersembahkan oleh Raja Mulawarman kepada Brahmana. Keberadaan sapi menunjukkan adanya usaha peternakan yang dilakukan oleh rakyat Kutai. Arca-arca yang ditemukan oleh para arkeolog menunjukkan bahwa arca tersebut bukan berasal dari Kalimantan, tetapi berasal dari India. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sudah ada hubungan antara Kutai dan India, terutama hubungan dagang. 

c. Kehidupan sosial-budaya 

Pada Yupa diketemukan sebuah nama yaitu Kundungga yang tidak dikenal dalam bahasa India. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa nama tersebut merupakan nama asli daerah tersebut. Namun masih dalam yupa yang sama dijelaskan bahwa Kundungga mempunyai anak yang bernama Aswawarman yang mempunyai putra pula bernama Mulawarman. Dua nama terakhir merupakan nama yang mengandung unsur India, berbeda dengan nama Kundungga. Baik Kundungga, Aswawarman maupun Mulawarman merupakan raja-raja di Kutai, namun dari nama mereka dapat menunjukkan bahwa pengaruh Hindu pada keluarga kerajaan itu sudah mulai masuk pada masa Kundungga, meskipun baru menguat pada masa Aswawarman. 

Bukti kebudayaan Hindu sudah mulai masuk pada masa Kundungga dapat dibuktikan dengan diberikannya nama Hindu kepada anaknya. Namun pendapat itu bisa saja tidak tepat, jika Aswawarman yang mengganti namanya sendiri, dan bukan oleh ayahnya melalui upacara vrtyastoma. Vrtyastoma adalah upacara penyucian diri dalam agama Hindu. Upacara vrtyastoma digunakan oleh orang-orang Indonesia yang terkena pengaruh Hindu untuk masuk ke dalam kasta tertentu sesuai dengan kedudukan asalnya, dan setelah upacara ini diadakan, biasanya disusul dengan pergantian nama. 

d. Kepercayaan 

Berdasarkan isi prasasti itu pula dapat diketahui bahwa masyarakat di Kerajaan Kutai memeluk agama Hindu. Hal itu dapat dilihat dari prasasti yang menyebutkan tempat suci yaitu Waprakeswara, yaitu tempat suci yang dihubungkan dengan Dewa Wisnu. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa agama Hindu merupakan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Kutai. Agama yang dianut di Kutai yaitu agama Hindu aliran pemuja Siwa yang diduga berasal dari India Selatan, dengan bukti adanya huruf Pallawa yang digunakan di India Selatan, serta penggunaan nama Warman yang merupakan kebiasaan dari India Selatan. 

8. Kerajaan Sriwijaya 

a. Kehidupan politik 

Kerajaan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar yang terletak di Sumatra Selatan. Menurut para ahli, pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Palembang dan diperkirakan telah berdiri pada abad ke-7 M. Sumber sejarah kerajaan Sriwijaya berupa prasasti dan berita Cina. Sumber yang berupa prasasti terdiri atas dua, yaitu prasasti yang berasal dari dalam negeri dan prasasti yang berasal dari luar negeri. 

Prasasti yang berasal dari dalam negeri antara lain: prasasti Kedukan Bukit (683 m), Talang Tuwo (684 m), Telaga Batu (683), Kota Kapur (686), Karang Berahi (686), Palas Pasemah dan Amoghapasa (1286). Sementara itu, prasasti yang berasal dari luar negeri antara lain; Ligor (775), Nalanda, Piagam Laiden, Tanjore (1030 M), Canton (1075 M), Grahi (1183 M) dan Chaiya (1230). Begitu pula sumber naskah dan buku yang berasal dari dalam negeri adalah kitab Pararaton, sedangkan dari luar negeri antara lain kitab memoir dan record karya I-Tsing, Kronik dinasti Tang, Sung, dan Ming, kitab Lingwai- tai-ta karya Chou-ku-fei dan kitab Chu-fon-chi karya Chaou- fu hua. 

Para sejarawan masih berbeda pendapat tentang Sriwijaya yaitu awal berkembang dan berakhirnya serta lokasi ibu kotanya. Menurut Coedes, Sriwijaya berkembang pada abad ke-7 di Palembang dan runtuh pada abad ke-14. Pendapatnya didasarkan pada ditemukannya toponim Shih Li Fo Shih dan San Fo Tsi. Menurutnya Shih Li Fo Shih merupakan perkataan Cina untuk menyebut Sriwijaya. Sementara itu, San Fo Tsi yang ada pada sumber Cina dari abad ke-9 sampai dengan abad ke-14 merupakan kependekan dari Shih Li Fo Shih. Slamet Mulyana berpendapat lain, dia setuju dengan pendapat Coedes yang menganggap bahwa Shih Li Fo Shih adalah Sriwijaya, namun San Fo Tsi tidak sama dengan Shih Li Fo Shih. Menurutnya Sriwijaya berkembang sampai abad ke-9, dan sejak itu Sriwijaya berhasil ditaklukkan oleh San Fo Tsi (Swarnabhumi). 

Mengenai ibu kota Sriwijaya, para ahli mendasarkan pendapatnya pada daerah yang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit yaitu Minanga. Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 604 saka (682 M) ditemukan di daerah Kedukan Bukit, di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang. 

Adapun isi prasasti Kedukan Bukit, adalah sebagai berikut: 

Pada tahun saka 605 hari kesebelas bulan terang bulan waiseka dapunta hyang naik di perahu mengadakan perajalanan pada hari ketujuh bulan terang. Bulan jyestha dapunta hyang berangkat dari minanga. Tambahan beliau membawa tentara dua laksa (20.000), 

dua ratus koli di perahu, yang berajalan darat seribu, tiga ratus dua belas banyaknya datang di mukha upang, dengan senang hati, pada ghari kelima bulan terang bulan asada, dengan lega gembira datang membuat wanua ... . perajalanan jaya sriwijy memberikan kepuasan. 

Poerbacaraka berpendapat bahwa Minanga adalah pertemuan antara sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, sehingga beliau berpendapat bahwa ibu kota Sriwijaya adalah di Minangkabau. Muhammad Yamin mengartikan Minanga Tanwan adalah air tawar dan Sriwijaya ibu kotanya terletak di Palembang. Bukhori berpendapat sama dengan Muhammad Yamin bahwa ibu kota Sriwijaya terletak di sekitar daerah Palembang 

Prasasti Kedukan Bukit isinya menceritakan bahwa pada tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682), Raja Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang naik perahu memimpin operasi militer. Lalu pada tanggal 7 paro terang bulan Jesta (19 Mei) Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwan untuk kembali ke ibu kota. Mereka bersukacita karena pulang dengan kemenangan. Pada tangga 5 Asada (16 Juni) mereka tiba di Muka Upang (sebelah timur 

Palembang). Sesampai di ibu kota, Dapunta Hyang memerintahkan pembuatan bangunan suci sebagai tanda rasa syukur. 

Prasasti Ligor A (775) ditemukan di Muangthai selatan 

“Pujian terhadap raja Sriwijaya yang di ibaratkan bagai Mnu yang memberi berkah bagi dunia menyerupai Indra dan semua raja tetangga taat kepadanya ditulis pula pendirian sebuah bangunan batu trisamayacahtya untuk padma, pani, sakyamuni, dan wajrpani”. 

Prasasti Ligor B, 

Pujian bagi raja yang berhasil menaklukkan musuh-musuhnya dan merupakan wujud kembar dewa kasta yang dengan kekuatannya disebut (sebagai dewa) Wisnu, kedua mematahkan keangkuhan semua musuhnya (Sarwarimadawimthana). Ia adalah keturunan dari (keluarga Syailendra) yang tersohor disebut Srimaharaja.” 

Prasasti Ligor yang ditemukan di semenanjung tanah Melayu menceritakan tentang Raja Sriwijaya dan pembangunan trisamayacaithya untuk menyembah dewa-dewa agama Buddha, serta menyebutkan seorang raja bernama Wisnu dengan gelar Sarwarimadawimathana atau pembunuh musuh-musuh yang sombong tiada bersisa. Begitu pula prasasti Nalanda yang dikeluarkan oleh Raja Dewa Paladewa. Isinya menyebutkan tentang pendirian bangunan biara di Nalanda oleh Raja Balaputradewa, Raja Sriwijaya yang menganut agama Buddha. 

Daerah kekuasaan Sriwijaya meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, Semenanjung Malaya, dan Muangthai Selatan. Dengan menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa, Kerajaan Sriwijaya menguasai jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional. Untuk itu penghasilan negara Sriwijaya terutama diperoleh dari perdagangan (komoditas ekspor dan bea cukai kapalkapal yang singgah di wilayah Sriwijaya). Jadi, kerajaan ini lebih menitikberatkan pada bidang maritim dan perdagangan. 

Sejak pertengahan abad ke-9, Sriwijaya diperintah oleh Dinasti Syailendra. Hal ini dinyatakan dalam prasasti Nalanda di India, yang menguraikan permintaan Raja Balaputradewa dari Sriwijaya kepada Raja Dewapaladewa dari Benggala untuk mendirikan wihara di Nalanda pada tahun 860. Disebutkan juga dalam prasasti itu, bahwa Balaputradewa adalah putra Samaragrawira, yaitu raja Jawa dari Dinasti Syailendra. 

Prasasti kota kapur (686 M) isinya tentang cerita peperangan dan sumpah atau kutukan bagi orang-orang yang melanggar peraturan dan kehendak penguasa. Adapun yang lebih menarik tentang isi prasasti ini, ialah bagian terakhir yang berbunyi: 

“Tahun saka 608 hari pertama bulan terang bulan waisaka, itulah waktunya sumpah ini dipahat, pada waktu itu tentara Sriwijaya berangkat tanah Jawa karena tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.” 

Dari prasasti tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Sriwijaya pernah ada upaya untuk menaklukkan Jawa. Para ahli menerangkan bahwa kerajaan di Jawa yang ditaklukkan adalah Tarumanegara. 

Hubungan dengan India tidak bertahan lama, sebab pada awal abad ke-11 Raja Rajendracola dari Kerajaan Colamandala melakukan penyerbuan besar-besaran ke wilayah Sriwijaya, antara lain Kedah, Aceh, Nikobar, Binanga, Melayu, dan Palembang. Berita penyerangan tersebut ada dalam prasasti Tanjore di India Selatan. Tetapi, penyerbuan Colamandala dapat dipukul mundur atas bantuan Raja Airlangga dari Jawa Timur. Atas jasanya ini, Airlangga dinikahkan dengan Sanggramawijayatunggadewi, putri Raja Sriwijaya. 

Kekuatan Sriwijaya mulai menurun setelah berhasil memukul mundur pasukan Colamandala. Menurunnya kekuatan itu dapat terlihat dari ketidakmampuannya mengawasi dan memberi perlindungan bagi pelayaran dan perdagangan yang ada di perairan Indonesia. Keadaan itu dimanfaatkan juga oleh kerajaan-kerajaan vasal (bawahan) untuk melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya, seperti yang dilakukan oleh kerajaan Malayu (Jambi). 

Prasasti Tanjore (1030) yang dikeluarkan oleh Rjendra berisi Tentara Colal melakukan serangan dua kali ke beberapa negeri diantaranya ke Sriwijaya, pertama tahun 1015 dan kedua 1025. Pada serangan kedua berhasil menawan rajanya yang bernama Sri Sangramwijaya Tunggawarman, setelah meminta maaf, dia ditakhtakan kembali. 

Sementara itu, prasasti Wirarajendra, yang dikeluarkan oleh Raja Cola (1068), berisikan bahwa pasukan Cola menyerang kembali Sriwijaya tahun 1067. Selanjutnya pada abad ke-13 dan ke-14, kebesaran Sriwijaya tidak pernah disebut-sebut lagi dalam sumber-sumber sejarah. Jadi, kapan Kerajaan Sriwijaya mengalami keruntuhan? Menurut catatan Cina, utusan Sriwijaya terakhir datang ke Cina pada tahun 1178. Selain itu, pada catatan Chufan- chi yang ditulis oleh Chau Ju Kua tahun 1225 disebutkan bahwa Palembang 

(ibu kota Sriwijaya) telah menjadi negeri taklukan Malayu. 

b. Kehidupan ekonomi 

Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia pada masa silam. Kerajaan Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim yang pernah menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional selama berabad-abad dengan menguasai Selat Malaka, SelatSunda, dan Laut Jawa. Setiap pelayaran dan perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur atau sebaliknya harus melewati wilayah Kerajaan Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan. Keadaan ini juga yang membawa penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh dari komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapalkapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya. Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah, buah-buahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian. 

c. Kehidupan sosial-budaya 

Prasasti Amoghpasha (1286) berbunyi “Pada tahun saka 1208 .....tatkala itulah arca paduka amoghappasa lokeswara dengan empat belas pengikutnya serta tujuh ratna permata dibawa dari bhumi Jawa ke suwarnabhumi supaya ditegakan. Sumber sejarah lain mengenai Kerajaan Sriwijaya dapat dilihat dari berita Cina. Berita itu datang dari seorang pendeta yang bernama I-Tsing yang pada tahun 671 berdiam di Sriwijaya untuk belajar tata bahasa Sanskerta sebagai persiapan kunjungannya ke India. I-Tsing menyebutkan bahwa di negeri Sriwijaya dikelilingi oleh benteng. Di negeri ini ada seribu orang pendeta yang belajar agama Buddha. 

Seperi halnya di India, para pendeta Cina yang mau belajar agama ke India dianjurkan untuk belajar terlebih dahulu di Sriwijaya selama satu sampai dua tahun. Disebutkan juga bahwa para pendeta yang belajar agama Buddha di Sriwijaya dibimbing oleh seorang guru yang sangat terkenal bernama Sakyakirti. Berdasarkan berita I-Tsing dapat disimpulkan bahwa kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-7 M merupakan pusat kegiatan ilmiah agama Buddha di Asia Tenggara. 

Prasasti Nalanda berisi tentang pembebasan tanah untuk pendirian sebuah biara atas permintaan raja Swarnadiva, Balaputradewa, cucu raja Jawa berjuluk Wirawairimathana, yang berputra Samaargrawira yang menikahi putri Raja Dharmasetu. Dari prasasti-prasasti tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa raja sangat memperhatikan dunia pendidikan dalam memajukan dan mengembangkan kerajaannya. Pendidikan yang berbasis pengajaran agama Buddha disatu sisi telah membawa corak kehidupan yang khas pada masyarakat Sriwijaya

0 Response to "Kerajaan Islam di Indonesia"

Post a Comment