Aliran-aliran dalam Psikologi


Aliran – Aliran Dalam Psikologi 

A. Latar Belakang 

Psikologi merupakan sebuah ilmu yang cukup dinamis perkembangannya. Keberadaan psikologi memberikan andil dalam mediskripsikan berbagai kejadian yang dialami oleh manusia. Hingga saat ini tinjaun psikologi tidak hanya berkutat pada kasus – kasus yang berhubungan dengan hukum, pendidikan, sosial, politik namun juga mencakup persoalan ekonomi, perbankan dan bidang lainnya.

Jika dilihat dari asal katanya psikologi berasal dari bahasa Yunanai yakni psyche yang berarti jiwa, sukma , roh dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harafiah psikologi berarti ilmu tentang jiwa.[1]

Psikologi semasa zaman Yunani Kuno hingga abad ke 19 menjadi satu dengan filsafat. Oleh karenanya psikologi disebut pula psikologi filosofis, artinya konsep – konsep psikologi membahas masalah hakikat jiwa. Jadi konsep – konsepnya bersifat spekulatif dan pemikiran – pemikiran belaka.[2] Istilah psikologi sebagai ilmu jiwa tidak digunakan lagi sejak tahun 1878, yang dipelopori oleh J.B Watson sebagai ilmu yang mempelajari perilaku. Hal ini dikarenakan, ilmu pengetahuan menghendaki objeknya dapat diamati, dicatat dan diukur. Sedangkan jiwa dipandang terlalu abstrak.[3]

Melihat perkembangan psikologi yang sangat dinamis tersebut maka penulis kali ini mencoba mengkaji kembali aliran – aliran psikologi dari masa ke masa. Pada pembahasan kali ini akan dikaji pula berbagai metode atau pendekatan yang digunakan oleh masing – masing aliran psikologi tersebut. Dari pembahasan tema ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan tentang perkembangan aliran psikologi bagi penulis maupun pembaca. 


B. Rumusan Masalah 

Rumusan masalah dari pembahasan makalah kali ini adalah : 

1. Apa saja aliran psikologi ? 

2. Bagaimana metode pendekatan yang dilakukan oleh masing – masing aliran psikologi ? 


PEMBAHASAN 

A. Perkembangan Psikologi 

1. Psikologi Zaman Kuno 

Psikologi pada zaman Yunani dan Romawi kuno sampai dengan abad ke 19 menjadi satu dengan filsafat. Karena merupakan bagian dari filsafat, psikologi saat itu disebut juga psikologi filosofis, artinya konsep – konsep psikologi membahas masalah hakikat jiwa yang konsepnya bersifat spekulatif dan pemikiran – pemikiran belaka. 

Tokoh yang pada saat itu membahas masalah hakikat jiwa diantaranya : 

a. Plato ( 427 – 347 ) 

Plato menganggap bahwa jiwa itu berasal dari dunia idea. Di dunia idea, jiwa telah mempunyai semua pengetahuan mengenai benda – benda di dunia ini. Jiwa turun dari dunia idea masuk ke dalam badan manusia, mulai dalam kandungan , kemudian lahir menjadi bayi dan seterusnya hingga menjadi orang dewasa. Setelah jiwa berada di dalam tubuh manusia kemampuannya menjadi terbatas, yakni dibatasi oleh jasmaninya. Misal, untuk melihat benda dibutuhkan mata, ada bendanya dan cahaya. Untuk berpikir kita memerlukan saraf otak, sebab tanpa saraf otak kita tidak dapat berpikir. Jadi jiwa menjadi terkurung oleh jasmaninya.[4]

Mengenai jiwa manusia , Plato mengajarkan 3 jenis kemampuan jiwa yakni : 

1) Kemampuan berpikir, tempatnya di kepala 

2) Kemampuan merasa, tempatnyadi dada 

3) Kemampuan menghendaki, tempatnya di perut 

Dominasi salah satu dari kemampuan – kemampuan tadi menimbulkan tipe seseorang, Misalnya apa bila seseorang lebih dominasi kemampuan berpikirnya maka tipe orang tersebut ialah pemikir, jika dominasi rasa melahirkan tipe orang pemberani, dan apabila dominasi rasa menghendaki jadilah tipe orang pekerja. Jika ketiganya berkembang menjadi selaras maka tipe orang tersebut adalah orang yang harmonis, orang yang bijaksana.[5]

b. Aristoteles ( 384 – 322 ) 

Aristoteles murid dari Plato mengembangkan filsafat realisme, sebagai lawan filsafat gurunya yakni filsafat idealisme. Aristoteles menulis buku De Anima yakni buku tentang jiwa. Dengan psikologi filsafatnya Aristoteles mengemukakan tiga macam jiwa yakni : 

1) Anima vegetatifa, jiwa pada tumbuh – tumbuhan 

2) Anima sensitiva, ialah jiwa pada hewan 

3) Anima intellectiva, ialah jiwa pada manusia. Kelebihan dari jiwa manusia selain memilki kemampuan – kemampuan jiwa di bawahnya juga memilki kemampuan berpikir , kemampuan intelektif.[6]

Tingkah laku organisme menurut Aristoteles memperlihatkan tingkatan sebagai berikut : 

1) Tumbuhan : Memperlihatkan tingkah laku pada taraf vegetatif ( bernafas, makan, tidur ). 

2) Hewan : Selain tingkah laku vegetatif, juga bertingkah laku sensitif ( merasakan melalui pancaindera ). Hewan memiliki faktor perasaan sedangkan tumbuhan tidak. 

3) Manusia : Manusia bertingkah laku vegetatif, sensitif, dan rasional. Manusia berbeda dengan organisme lainnya, karena dalam bertingkah laku manusia menggunakan rasionya yaitu akal atau pikirannya.[7]

2. Psikologi Zaman Pertengahan 

Psikologi pada zaman pertengahan masih juga menjadi bagian dari filsafat. Filsafat dan budayanya mengikuti zaman kuno hanya ditambah dengan ajaran agama Kristen. Kedudukan Filsafat pada waktu itu sebagai pembantu agama Kristen. Karena agama menjadi pengendali pokok pada kehidupan manusia maka semuanya tunduk pada ajaran agama. Kreatifitas pikiran manusia menjadi tekurung sehingga zaman pertengahan dijuluki dengan abad kegelapan oleh kaum Reinaisans.[8]

Salah satu tokoh filsafat dan juga yang merumuskan ajaran psikologi pada saat itu adalah Thomas Van Aquino (1225-1274). Ajaran psikologinya mengikuti ajaran Aristoteles. Thomas berpendapat bahwa jiwa dan raga manusia itu tidak dapat dipisah – pisahkan, ia menyebut sebagai dwimurti artinya dua jalan, yakni jalan jasmani dan rohani. Mengenai macam jiwa ( anima ) dan kekuata jiwa sama dengan apa yang diajarakan oleh Aristoteles. 

3. Psikologi Di Bawah Pengaruh Humanisme 

Pada Abad ke 16 mulai timbul gerakan Reinaisans artinya lahirnya kembali. Maksudnya adalah menghidupkan kembali budaya klasik yakni Yunani dan Romawi. Gerakan Reinaisans menganggap bahwa zaman pertengahan adalah zaman kegelapan yang terkukung oleh gereja. 

Humanisme dapat dipandang sebagai kebangkitan dari Reinaisans atau setidaknya timbul karena ada gerakan Reinaisans. Reinaisans yang mulanya berkembang di Itali menyebar ke seluruh Eropa. Timbul kembali semangat untuk mempelajari kembali kebudayaan Yunani dan Romawi. 

Psikolgi di bawah pengaruh humanisme mengarah pada psikologi empiris. Orang – orang mulai meninggalkan gaya berpikir skolastik zaman pertengahan dengan metode deduktif selanjutnya humanisme mulai mengembangkan pemikiran – pemikiran dengan metode induktif. 

Tokoh pelopor psikologi untuk berkembang menjadi psikologi empiris pada saat itu adalah B.L Vives (1492-1540). Ia tidak lagi mempelajari hakikat jiwa ( psikologi filsafat ), tetapi mulai mempelajari sisfat – sifat jiwa manusia dengan mengembangkan metode empiris, tidak spekulatif lagi. Yang ia pelajari adalah gejala – gejala kesadaran jiwa dan hubungan (asosiasi) satu sama lain.Vives menulis buku Deanima et vita, artinya tentang jiwa dan hidup. Dalam buku tersebut Vives menguraikan tentang asosiasi dan reproduksi atau mengingat kembali. Ia banyak memberi petunjuk cara – cara menghafal, menguraikan tentang nafsu – nafsu dan perasaan.[9]

4. Psikologi Di Bawah Rasionalisme 

Psikologi di bawah pengaruh rasionalisme berkembang di Prancis. Tokoh yang berpaham rasionalisme (ajaran serba pikiran) adalah Rene Descartes (1596-1650). Dalil yang terkenal yang dilontarkan oleh Rene Descartes ialah Cogito ergo sum ( saya berpikir maka saya ada). Descartes membagi manusia menjadi dua substansi, yakni substansi ekstensio ( unsur badannya yang memakan tempat karena bervolume), dan substansi cogitans ( unsur berpikirnya yang tidak memerlukan tempat).[10]

Descartes menganut pandangan dualistis jiwa yakni jiwa dan raga dipandang dua unsur yang berdiri sendiri – sendiri. Descartes berpendapat bahwa jiwa dan raga manusia mempunyai hubungan gaib dalam bagian yang dinamakan pijnappelklier, suatu kelenjar kecil yang dinamakan kelencar buah kacang pada otak bagian tengah.[11]

Descartes berjasa dalam mempelopori terjadinya psikologi empiris dengan membatasi lapangan kerjanya yang hanya mempelajari gejala – gejala kesadaran saja. Namun maksud Descartes untuk menciptakan psikologi empiris tidak berhasil karena ia sebagai seorang rasionalis lebih suka memakai metode deduksi, maka psikologinya akhirnya bersifat filsafat. Secara tidak disadari , ia mengikuti jejak para psikolog filsafat yang terdahulu.[12]

5. Psikologi Daya/Psikologi Kekuatan/Psikologi Vermogen 

Psikologi Daya/Psikologi Kekuatan/Psikologi Vermogen pada dasarnya adalah psikologi Filsafati. Hanya pada psikologi daya abad ke 18 di Jerman mengalami pergeseran maknanya. Konsep lama psikologi daya sama halnya dengan psikologi dari Aristoteles dan pengikut – pengikutnya termasuk juga filsuf zaman pertengahan Thomas Van Aquino. Menurut konsep lama konsep daya/kekuatan/vermogen adalah barang sesuatu yang betul – betul ada dan menjadi pangkal gejala – gejal jiwa. [13]

Menurut konsep psikologi daya yang baru yang berkembang di Jerman abad ke 18, kata vermogen mendapat arti lain, yakni vermogen berarti kemungkinan terjadinya pekerjaan jiwa. Vermogen bukan lagi yang menyebabkan terjadinya pekerjaan atau fungsi jiwa melainkan memungkinkan kejadian itu saja. Dalam teori orang membagi – bagi hidup kejiwaan menjadi beberapa fungsi yang masing – masing menjadi sebab dari pada masing – masing vermogen.[14]

6. Dikotomi dan Trikotomi Jiwa 

Dikotomi jiwa yang telah banyak dianut oleh banyak filsuf zaman kuno kembali dikembangkan. Salah satu tokoh filsuf yang masih menganut dikotomi jiwa ialah Chr. Wolff (1679-1754). Dikotomi jiwa membagi kekuatan jiwa menjadi dua macam yakni mengenal dan menghendaki, kognisi dan konasi.Wolff meyakini adanya kesatuan hidup kejiwaan, ia mencoba memperoleh satu kekuatan pokok sebagai sebab dari kesanggupan jiwa. Kekuatan itu selanjutnya dibagi – bagi lagi menjadi kekuatan – kekuatan yang banyak jumlahnya, misalnya kekuatan mencerap (persepsi), mengingat dan sebaginya.[15]

Tahun 1775 M Tenten mengajukan pembagian atas tiga kejiwaan yakni Denken (berpikir), Empfinden (perasaan), dan Vollen (menghendaki) yang disebut dengan trikotomi jiwa. Tokoh lain misalnya Ki Hadjar Dewantara (1952) mengajukan trisakti jiwa yakni cipta, rasa dan karsa. Immanuel Kant (1724 – 1804) filsuf dari Jerman juga mengikuti pembagian trikotomi jiwa tersebut. Kant menulis buku Kritik der praktisschen Vernunft (1788) yang antara lain membicarakan tentang pengertian watak atau karakter dalam arti etis dan normatif. Dalam bukunya yang lain Antropologie ia membahas tentang watak dalam arti deskriptif atau kepribadian. Watak sebagai kualitas – kualitas yang membedakan antara satu orang dengan yang lain. Kant juga membahas tentang tempramen dan mengadakan penggolongan watak.[16]

7. Psikologi di Bawah Empirisme 

Filsafat empirisme berkembang di Inggris pada abad ke 17 dan menjadi pedoman orang dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Tokoh – tokoh empirisme saat itu diantaranya : 

a. Francis Bacon ( 1561 – 1623 ) 

Bacon berusaha melepaskan diri dari ajaran Aristoteles. Ia menulis buku Novum Organum yang berisi ajaran logika atau semantik. Kaitannya dengan psikologi Bacon berpendapat bahwa psikologi harus dipelajari terlepas dari teologi (filsafat agama). Psikologi mempelajari gejala – gejala kesadaran . Ia ingin menyelidiki ilmu jiwa seperti ilmu alam, yakni dengan mencari unsur – unsur yang sederhana yang disebut elemen – elemen jiwa.[17]

Cita – cita Bacon mengenai psikologi empiris tidak terwujud karena kurang tegas rencananya. Ia tidak menghiraukan nilai – nilai ilmu pasti dalam ilmu alam. Metode induktif – deduktif baru dipraktikan pada masa toko – tokoh Kepler, Galilei dan Isac Newton. Maka pada abad ke 17 dan seterusnya ilmu penegtahuan menjadi lebih berkembang. 


b. John Locke (1632 – 1704) 

John Locke merupakan salah satu tokoh empirisme dan terkenal dengan teori tabula rasa. Dalam teoriya tentang jiwa manusia ia menyatakan : 

1) Jiwa itu tidak mempunyai pengertian - pengertian pembawaan. Ia berpendapat bayi yang baru lahir jiwanya bersih laksana kertas putih yang masih kosong, seperti blebekan lilin putih. Jiwa tersebut akan terisi kesan apa tergantung dengan kesan – kesan yang masuk dari pengalaman. 

2) Semua pengertian dan pengetahuan manusia berasal dari pengalaman. Manusia memperoleh pengalaman melalui dua cara yakni melalui pengindraan atau pengamatan dan didapat dari dalam jiwa atau pikiran. Pengalaman yang diperoleh dari proses penginderaan disebut sensai atau pengetahuan sensoris sedangkan pengetahuan yang diperoleh dari jiwa (pikiran) disebut pengetahuan refleksi. Dengan refleksi manusia dapat menyelidiki jiwanya sendiri yang disebut dengan metode introspeksi.[18]

Pengetahuan sensasi dan pengetahuan refleksi keduanya merupakan pengertian tunggal yang disebut simple idea. Dengan cara beasosiasi atau berhubung – hunbungan antara berbagai pengetahuan tunggal tersebut maka dapat terbentuk pengetahuan yang kompleks. Oleh karena itu psikologi yang dikembangkan oleh John Locke disebut juga dengan psikologi asosiasi. Namun pada kenyataanya ia tidak selalu dapat memakai metode induktif. Ada beberapa pengertian hasil penelitiannya terlalu dipengaruhi oleh pendapat – pendapat terdahulu meski tidak dirasakannya. 

8. Psikologi Asosiasi Abad ke 19 

Psikologi asosiasi pada awalnya meniru ilmu gaya atau mekanika tetapi semakin lama orang menegrti bahwa dengan mempelajari psikologi selaku ilmu alam , orang tidak dapat menerangkan semua gejala hidup. 

Ciri – ciri psikologi asosiasi pada saat itu adalah : 

a. Psikologi asosiasi adalah psikologi elemen. Jiwa adalah kumpulan elemen – elemen . Kesatuan jiwa itu tidak ada 

b. Psikologi asosiasi bersifat ilmu pengetahuan alam. Metode yang digunakan adalah metode analaisis dan sintesis 

c. Psikologi asosiasi hendak membuktikan bahwa kehidupan jiwa dikuasai oleh hukum sebab akibat ( kausalitas ). Jiwa diperlukan sebagi benda biasa 

d. Psikologi asosiasi bersifat sensualitas. Gejala kejiwaan ialah pada penginderaan. Gejala – gejala mengenai benda – benda dari luar dipandang sebagai gejala primer. Perasaan dan menghendaki bersifat sekunder. 

e. Psikologi asosiasi bersifat mekanistis. Jiwa dipandang sebagai mesin. Semua gejala jiwa dikuasai oleh hukum asosiasi. Jiwa dianggap sebagai penerima saja (pasif ) 

f. Psikologi asosiasi adalah psikologi umum. Yang dipelajari adalah berlakunya hukum – hukum yang tampak pada setiap manusia biasa.[19]

John Stuart Mill mempelopori aliran psikologi aliran baru yang tidak berpegang pada mekanika melainkan pada ilmu kimia. Mill memakai asas asosiasi dan asas persenyawaan dari ilmu kimia. Menurut ilmu kimia kesatuan – kesatuan terjadi karena persenyawaan dari elemen – elemen tunggal. Dalam persenyawaan tersebut orang tidak dapat membedakan elemen – elemen yang ada didalamnya. Dengan menambahkan prinsip persenyawaan pada psikologi asosiasi, maka psikologi meninggalkan sifatnya yang mekanistis 

9. Psikologi Sebagai Ilmu Yang Mandiri 

Psikologi dikukuhkan sebagi ilmu yang mandiri oleh William Wundt dengan didirikannya Laboratorium Psikologi petama di Lepzing pada tahun 1879 dan mendapat pengakuan dari universitas pada tahun 1886. Metode yang digunakan Wundt adalah metode pengetahuan alam. Ia bependapat bahwa eksperimen banyak faedahnya bagi psikologi oleh karenanya ia menetapkan bidang kerja psikologi dan eksperimennya. 

Eksperimen yang dilakukan Wundt terutama mengenai gejala pengamatan dan tanggapan manusia seperti persepsi, reproduksi, ingatan, asosiasi dan fantasi.[20]Sementara untuk gejala yang lebih tinggi seperti berpikir, eksperimennya jarang dapat dilakukan.[21]

Wundt juga menggunakan metode analisis – sintesis. Ia berpandangan bahwa hidup kejiwaan itu merupakan suatu totalitas atau keseluruhan, suatu kebulatan. Berdasarkan analisisnya Wundt berpendapat ada dua macam elemen jiwa yakni tanggapan dan perasaan – perasaan. Menurutnya gejala kejiwaan itu tidak tetap, selalu berubah. Gejala – gejala kejiwaan tersebut adalah kejadian – kejadian atau proses – proses.[22]


B. Aliran - Aliran Psikologi 

1. Strukturalisme 

Strukturalisme merupakan aliran pertama dalam psikologi yang dikemukakan oleh Wilhlem Wundt, seorang tokoh yang pertama kali mempelajari psikologi sebagai ilmu otonom yang mandiri. Pada awalnya Wundt ingin mengetahui apa sesungguhnya gejala kejiwaan itu? Bagaimana Strukturnya? Terdiri atas apa saja? Apakah elemen – elemen dari gejala kejiwaan tersebut? Hingga pada akhirnya Wundt sampai pada strukturalisme. Ia percaya bahwa gejala – gejala kejiwaan dapat dibagi – bagi dalam elemen – elemen yang lebih kecil. Hanya dengan menganalisis pelbagai elemen kejiwaan tersebut lah gejala kejiwaan dapat dipelajari.[24]

Wundt dan pengikut – pengikutnya disebut strukturalis karena mereka berpendapat bahwa pengalaman mental yang kompleks itu sebenarnya adalah “struktur” yang terdiri atas keadan – keadaan mental yang sederhana , seperihalnya persenyawaan kimiawi yang tersusun dari unsur – unsur kimiawi. Mereka bekerja atas dasar premis bahwa bidang usaha psikologi itu terutama adalah menyelidiki “struktur” kesadaran dan mengembangkan hukum – hukum pembentukannya.[25]

Untuk mengetahui isi dari struktur kejiwaan kaum strukturalis menggunakan metode introspeksi atau mawas diri, yaitu orang yang menjalani percobaan diminta untuk menceritakan kembali pengalaman – pengalamannya atau perasaan – perasaanya setelah ia melakukan eksperimen. Misalnya, kepada orang percobaan ditunjukkan sebuah warna atau bentuk, setelah itu diminta untuk mengatakan apakah bentuk itu indah atau tidak indah, menarik atau tidak menarik dan sebagainya. Karena metode introspeksi ini, strukturalisme dapat juga disebut sebagai psikologi intorspeksi (introspective psychology)[26]

Menurut Wundt objek utama dalam psikologi utuk menganalisis elemen – elemen mental adalah kesadaran. Pengalaman – pengalaman kesadaran oleh Wundt dibagi atas dua bagian, yakni penginderaan ( sensation ) dan perasaan ( feeling ).[27]

Penginderaan ialah penangkapan terhadap rangsangan – rangsangan yang datang dari luar dan dapat dianalisa sampai elemen – elemen yang terkecil. Wundt percaya bahwa elemen terkecil dari penginderaan merupakan elemen terkecil dari pengalaman.[28]

Perasaan adalah sesuatu yang dimiliki dalam diri kita, yang tidak terlalu dipengaruhi dan tidak merupakan reaksi langsung terhadap rangsangan – rangsangan dari luar[29]. Perasaan oleh Wundt dibedakan dalam 3 pasangan yakni :[30]

a. ­Lust – unlust atau pleasant – unpleasant ( senang – tidak senang ) 

b. Erregung - beruhigung atau excitement – calm ( bersemangat – tenang ) 

c. Spannung - losung atau strain – relaxation ( tenang – santai ) 

Salah satu doktrin yang dikemukakan oleh Wundt adalah “prinsip sintesis kreatif “ atau disebut juga hukum Resultan Psikis. Doktrin ini berbunyi : “ Setiap gejala psikis yang kompleks selalui mempunyai karakteristik dari elemen – elemennya.” 

2. Fungsionalisme 

Aliran psikologi fungsionalisme merupakan reaksi terhadap aliran strukturalisme tentang tanda – tanda keadaan mental. Jika para strukturalis bertanya “ Apa kesadaran itu?” maka lain halnya dengan kaum fungsionalis yang bertanya “ Untuk apa kesadaran itu ?”[31]

Fungsionalisme merupakan paham yang tumbuh di Amerika Serikat dengan sifat – sifat bangsa Amerika yang serba praktis dan pragmatis. Sementara Strukturalisme tumbuh di Jerman di tengah – tengah bangsa yang terkenal dengan keahliannya dalam berfilsafat.Dengan demikian perbedaan latar belakang tersebut menimbulkan pula berbagai perbedaan dalam pandangan antara kedua aliran ini. [32]

Fokus dari aliran fungsionalisme adalah mempelajari apa tujuan atau akhir dari aktivitas. Sesuai dengan namanya, fungsionalisme mempelajari “ fungsi” dari tingkah laku dan proses mental, tidak hanya berhenti pada struktur mental saja. Untuk mempelajari fungsi tingkah laku, metode eksperimen yang digunakan oleh kaum fungsionalis ialah metode observasi tingkah laku ( observation of behavior). Metode introspeksi masih dipakai tetapi dengan banyak kritik . Metode introspeksi dianggap kurang baik karena sifatnya yang subjektif sehingga sukar untuk disistematikkan sebagai sesuatu yang kuantitatif dan dianggap kurang ilmiah. Misalnya , bila seseorang diminta untuk meneceritakan kembali apa yang dialami ketika menyelesaikan suatu tugas, kemungkinan orang itu hanya menceritakan hal – hal yang menguntungkan dirinya, hal – hal yang mungkin menimbulkan perasaan malu tidak akan dikemumkakannya. Orang akan lebih mudah mengatakan “ kurang bisa” dari pada “tidak bisa” dan cenderung mengatakan sesuatu yang menyenangkan orang lain saja, walaupun keadaan yang sebenarnya mungkin sebaliknya dari itu. Metode introseksi juga banyak dipengaruhi oleh kemampuan atau daya khayal seseorang. Dengan demikian apa yag dikemukakan seseorang sebagai hasil introspeksi tidak selamnya murni sebagaimana ketika pengalaman yang sesungguhnya berlangsung.[33]

Metode observasi yang dikembangkan oleh aliran fungsionalisme digunakan untuk mengatasi kelemahan – kelemahan metode introspeksi. Metode observasi terbagi menjadi dua macam, yaitu metode fisiologis dan metode variasi kondisi. Metode fisiologis adalah cara menganalisis gejala kejiwaan dengan meneliti proses fisiologis ( proses faal ) yang terjadi dalam diri seseorang yang bersangkutan. Mislanya, mengapa orang dapat melihat sebuah benda, dapat diterangkan melalui kenyataan bahwa ada sumber cahaya yang memancarkan gelombang – gelombang cahaya yang sampai ke alat penerima ( respector ) dan melaui saraf tertentu impuls – impuls dari respector ini diteruskan ke pusat penglihatan sehingga akhirnya orang tersebut dapat melihat benda. Bagian mana respector menerima cahaya dan bagamana respector tersebut menerima rangsangan akan meyebabkan terjadinya perbedaan – perbedaan penginderaan, baik perbedaan antar individu maupun perbedaan – perbedaan yang terdapat dalam satu individu.[34]

Tidak semua gejala kejiwaan dapat dijelaskan dengan metode fisiologis. Misalnya, sulit sekali untuk mempelajari reaksi emosional seperti marah, malu, benci dan sebagainya dengan metode fisiologis. Reaksi emosional banyak dipengearuhi oleh faktor – faktor yang bukan bersifat fisiologis seperti pengalaman, kebiasaan, latihan dan lain – lain. Oleh karenaitu disamping menggunakan metode fisiologis diperlukn pula metode variasi kondisi. Dalam metode ini rangsangan diberikan beberapa kali dalam situasi dan lingkungan yang berbeda (bervariasi). Dengan melihat perbedaan – perbedaan reaksi dalam kondisi – kondisi yang berbeda tersebut maka dapat diketahui sifat – sifat yang menetap ataupun tidak menetap pada diri seseorang. Metode variasi kodisi ini selanjutnya menjadi dasar pengukuran validitas dan reabilitas dari test – test psikologi.[35]

Fungsionalisme berkembang di Amerika Serikat sesuai dengan karakter orang Amerika yang serba praktis dan serba pragmatis. Tokoh aliran psikologi fungsionalisme ini cukup banyak diantaranya : 

a. William James ( 1842 – 1910 ) 

James adalah filsuf dan psikolog Amerika yang lahir di New York City. Ia merupakan pionir dalam studi psiologi modern. Menurut James psikologi tidak dapat membuktikan bebasnya kemauan. Bila psikologi bekerja sama dengan determinisme, dapatlah ia melokalisasi suatu “pilihan bebas”. Akan tetapi, psikologi tidak dapat menggunakan konsep determinisme adalah hipotesis yang bekerja di belakang sains dan meurpakan bagian dari pengetahuan agama.[36]

James memiliki pandangan bahwa metode introspeksi dari strukturalisme terlalu membatasi. Para fungsionalis berpendapat untuk mengetahui bagaimana organisme beradaptasi dengan lingkungannya data yang berasal dari introspeksi harus dilengkapi oleh observasi perilaku aktual, termasuk penelitian perilaku hewan dan perkembangan perilaku. Jadi fungsionalisme memperluas lingkup psikologi dengan mencakup perilaku sebagai variabel independen. Namun, bersama dengan strukturalisme masih menganggap psikologi sebagia ilmu pengetahuan pengalaman sadar dan metode penelitian utama sebagai intospeksi.[37]

b. James Rowland Angell (1869 – 1449) 

Angell adalah murid dari William James, yang pernah menjabat sebagai Presiden “American Psychological Association”. Dalam papernya “ The Province of Functional Psychological Association”, ia menjelaskan tiga pandangannya terhadap fungsionalisme antara lain : 

1) Fungsionalisme adalah psikologi tentang mental operation sebagai lawan dari psikologi tentang elemen – elemen mental (elementisme). 

2) Fungsionalisme adalah psikologi tentang kegunaan dasar dari kesadaran , yang jiwa merupakan perantara antara kebutuhan - kebutuhan organisme dan lingkungannya , khususnya dalam keadaan “emergency” (teori “emergency” dari kesadaran). 

3) Fungsionalisme adalah psikofisik , yaitu psikologi tentang keseluruhan organisme yang terdiri dari jiwa dan badan . Oleh karena itu , ia menyangkut juga hal – hal yang di balik kesadaran seperti kebiasaan , tingkah laku yang setengah disadari dan sebagainya.[38]

Aliran Fungsionalisme juga berkembang di Columbia, hingga kelompok yang berkembang di sana disebut sebagai aliran Columbia. Ciri aliran fungsionalisme Columbia adalah kebebasannya dalam mempelajari tingkah laku , yaitu mereka lebih bebas mempelajari tingkah laku karena organisme dianggap sebagai kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara badan dan jiwanya. Jadi tidak ada persoalan dualisme disini. Kebebasan kedua adalah bahwa psikologi tidak perlu bersifat deskriptif karena yang penting hanya mengetahui apa fungsi dari pada tingkah laku, jadi yang penting adalah korelasi antara suatu tingkah laku dengan tingkah laku lain atau hal lain. Dari kebebasan tersebut fungsionalisme di Columbia dapat berkemabang seluas – luasnya .[39]

Tokoh aliran fungsionalisme di Columbia diantaranya James Mc Keen Cattell. Ia pernah belajar pada Wundt. Namun ia tidak setuju dengan metode Wundt yang menekankan pada introspeksi. Ia lebih tertarik untuk mmepelajari gejala – gejala psikis yang dapat langsung diamati tanpa memerlukan introspeksi, misalnya perbedaan individual dalam kecepatan reaksi. Ia sering melakukan percobaan – percobaan hingga pada tahun 1890 ia menemukan “mental testing” yaitu test yang digunakan untuk mengukur kemampuan mental seseorang,. Hingga saat ini masih banyak sekali digunakan dalam berbagai bentukknya yang sudah diperbarui.[40]

Strukturalisme maupun fungsionalisme kenyataanya memilki peranan yang penting dalam perkembangan psikologi awal. Hal ini karena masing – masing pendekatan memberikan sudut pandang terhadap psikologi. Hingga pada akhirnya mampu merangsang berkembangnya berbagai aliran psikologi lain. 

3. Asosiasionisme 

Asosiasionisme adalah aliran yang banyak menekankan pada hukum – hukum asosiasi untuk menerangkan berbagai gejala kejiwaan . Aliran ini dapat di bagi menjadi dua bagian yakni Asosiasionisme Lama dan Asosiasionisme Baru atau Neo Associationism. Asosiasionisme Lama sudah berkembang sejak Aristoteles mengemukakan hukum – hukum terjadinya asosiasi yaitu Simiarity atau kesamaan , Contrast atau perlawanan dan Contiguity atau kedekatan.[41]

Salah satu tokoh Asosiasionisme Lama antara lain Hobbes. Hobbes sebagai pelopor psikologi di Inggris mengemukakan bahwa jiwa terdiri dari 3 bagian yaitu ; Sensation, recall dan association. Sensation adalah proses dimana seseorang menerima rangsangan , recall adalah proses dimana seseorang memproduksi kembali sesuatu yang pernah dirasakan atau dialami, dan association adalah proses terjadinya penggabungan antara satu rangsang dengan rangsang yang lain. Selanjutnya, proses – proses penggabungan itu maka seseorang dapat berpikir.[42]

Proses terjadnya asosiatif antara satu rangsangan dengan rangsangan yang lain dan satu respon dengan respon yang lain , Hobbes mengemukakan bahwa “ Objek – objek di luar kita mempengaruhi kita melalui macam – macam bentuk perangsangan , misalnya melalui cahaya atau suara”. Proses tersebut oleh Hobbes disebut Physical Motion (gerakan fisik). Proses ini terjadi pada alat – alat dan fungsi – fungsi indera. Jika proses perangsangan berhenti , maka physical motion juga berhenti dan yang tertinggal adalah proses lanjutannya yang dsebut fancy ( kenangan). Proses – proses lanjutan ini terjadi secara berurutan dan ini disebut sebagai successive association . Apa yang dikemukakan oleh Hobbes menunjukkan bahwa faktor – faktor pengalaman dan perangsangan adalah penting agar terjadi pemikiran.[43]

Selanjutnya Asosiasionisme Baru dikenal dan berkembang pula dengan tokoh – tokohnya seperti Herman Ebbinghaus dan E.L. Thorndike. Letak perbedaan antara Asosiasionisme Lama dan Asosianisme Baru adalah cara pendekatannya dalam penyelidikan – peneyelidikannya. Asosiasionisme Lama memulai berbagai penyelidikannya dari mempelajari efek – efeknya baru kemudian sebab – sebabnya, sedangkan Asosiasionisme Baru sebaliknya yakni memulai penyelidikan – penyelidikannya dengan mempelajari sebab - seba suatu proses psikis dan baru kemudian meneyelidiki efek – efeknya.[44]

Sebagai contoh dari aliran Asosianisme Baru ialah eksperimen dari Ebbinghaus. Ia meneyelidiki tentang proses lupa. Ia memberikan sederetan suku kata yang tak bermakna kepada orang – orang percobaanya, seperti pep, tet, det dan sebagainya. Suku kata yang tak bermakna ini lebih sukar diingat daripada kata – kata yang bermakna. Oleh karena itu suku – suku kata tak bermakna itu sangat sesuai untuk mengukur daya ingatan seseorang. Dari hasil percobaanya, Ebbinghaus mendapatkan bahwa jumlah suku kata yang dilupakan jauh lebih besar pada saat orang percobaan baru saja mempelajari suku - suku kata itu, daripada saat ia sudah agak lama mempelajarinya. 

4. Psikologi Psikoanalisis 

Aliran psikoanalisis ini dikenalkan oleh Sigmund Freud. Pada mulanya banyak orang yang menentang, menolak, mencaci dan mengkritik aliran ini dengan alasan bahwa metode yang digunakan Freud di anggap tidak baku, subjektif, jumlah klien sedikit dan semua pasiennya penderita gangguan jiwa. Di sisi lain, Freud banyak memberikan kontribusi dalam hal mengembangkan konsep motivasi dari alam ketidaksadaran dan mengarahkan fokus penelitian pada pengaruh pengalaman masa kecil terhadap perkembangan kepribadian selanjutnya sampai dewasa. Di samping itu, Freud juga merangsasang studi yang intensif tentang emosi, yaitu cinta, takut, cemas, dan seks.[45]

Dalam teori Freud dinyatakan bahwa satu – satunya hal yang mendorong kehidupan manusia adalah dorongan id (libido seksualita), mendapat tantangan keras. Dalam libido seksualita, seseorang berusaha mempertahankan eksistensinya karena bermaksud memenuhi hasrat seksualnya. Dalam pandanga psikologi humanistik, teori Freud hanya menjelaskan adanya kebutuhan ynag paling mendasar dari manusia, yaitu kebutuhan fisioligis dan tak mampu memberikan untuk empat kebutuhan manusia yang lain.[46]

Menurut Freud, sumber utama konflik atau gangguan – gangguan mental terletak pada ketidaksadaran ini, karena itu agar bisa mempelajarinya, Freud mengembangkan teknik psikoanalisis, yang sebagian besar didasarkan atas interpretasi “arus pikiran pasien yang diasosiasikan secara bebas” dan analisis mimpi yang isi maupun metodenya menggunakan sudut pandang yang radikal. Kesadaran hanyalah sebagian kecil saja dari kehidupan mental; sedangkan bagian terbesarnya adalah ketidaksadaran atau alam bawah sadar. 


Bagian kesadaran bagaikan permukaan gunung es yang nampak, merupkan bagian kecil dari kepribadian, sedangkan bagian ketidaksadaran (yang ada dibawah permukaan air) mengandung insting – insting yang mendorong semua perilaku manusia.[47] Selain itu, Freud juga mengatakan bahwa dalam diri seseorang terdapat tiga sistem kepribadian, yang disebut id, Ego dan superego. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan – dorongan biologis manusia ­­- pusat insting (Rakhmat, 1994:19). Ego adalah mediator antara hasrat – hasrat hewani dan tuntutan rasional dan realistik. 

Freud mengibaratkan hubungan ego-id sebagai penunggang kuda. Penunggang akan memperhatikan tentang keadaan realitas, sedangkan kudanya mau keman – mana.[48] Selanjutnya Super-Ego berisi kata hati yang berhubungan dengan lingkungan sosial dan mempunyai nilai – nilai moral sehingga merupakan kontrol atau sensor dari setiap dorongan – dorongan yang datang dari Id. superego berkembang pada permulaan masa anak sewaktu peraturan – peraturan diberikan oleh orang tua, dengan memberikan hadiah dan hukuman. Perilaku yang salah (yang memperoleh hukuman) menjadi bagian dari conscience anak, yang merupakan bagian dari superego. Perbuatan anak semula dikontrol oleh orang tuanya, tetapi apabila superego telah terbentuk dari dirinya sendiri. Superego merupakan prinsip moral. 

5. Psikologi Behaviorisme 

Ciri utama dari behaviorisme ialah menggunakan pendekatan objektif dalam mempelajari manusia, berdasarkan pendekatan yang mekanistik dan materialistik. Aliran behaviorisme timbul di rusia tetapi kemudian berkembang pula di Amerika, dan merupakan aliran ynag mempunyai pengaruh cukup lama. 

a. Ivan Petrivich (1849-1936) 

Aliran ini dipelopori oleh Ivan Petrivih Pavlov. Behaviorisme merupkan aliran dalam psikologi yang timbul sebagai perkembangan dari psikologi pada umumnya. Para ahli psokologi dalam rumpun behaviorisme ingin meneliti psikologi secara objektif. Mereka berpendapat bahwa kesadaran merupakan hal yang dubious, sesuatu yang tidak dpat di observasi secara langsung, secara nyata. 

Menurut Pavlov aktivitas organisme dapat dibedakan atas: 

1) Aktivitas yang bersifat refleksif, yaitu aktivitas organisme yang tidak disadari oleh organisme yang tidak bersangkutan. Organisme membuat respon tanpa disadari sebagai reaksi terhadap stimuls yang mengenainya. 

2) Akivitas yang disadari, yaitu aktivitas atas kesadaran organisme yang bersangkutan. Ini merupakan respons atas dasar kemauan sebagai suatu reaksi terhadap stimulus yang diterimanya. Ini berarti bahwa stimulus yang diterima oleh organisme itu sampai di pusat kesadaran, dan barulah terjadi suatu respon. Dengan demikian maka jalan yang ditempuh oleh stimulus dan respons atas dasar kesadaran lebih panjang apabila dibandingkan dengan stimulus dan respon yang tiak disadari, atau respon yang refleksif. 

Berkaitan dengan hal tersebut Pavlov sangat memusatkan perhatiannya pada masalah refleks, karena itu pula psikologi Pavlov sering disebut sebagai psikologi refleks atau psychoreflexology. 

Pada mulanya pemikiran dan eksprimen pavlov hanya terbatas di Rusia, tetapi juga menyebar di amerika, terutama para ahli yang menolak digunakannya metode intropeksi dalam psikologi. Pavlov berkeberatan digunakannya metode introspeksi, karena dengan introspeksi tidak dapat diperoleh data yang objektif, pavlov ingin merintis objective psychology, karena itu metode introspeksi tidak digunakan. Ia mendasarkan eksperimennya atas dasar observed facts., pada keadaan yang benar – benar dapat diobservasinya. Eksperimen Palpov ini banyak pengaruhnya pada masalah belajar, misalnya pada pembentukan belajar. 

Pavlov pada eksperimennya menggunakan anjing sebagai binatang coba. Anjing dicoba sedemikian rupa, sehingga apabila air liur keluar dapat dilihat dan dapat ditampung dalam tempat yang telah disediakan. Menurut pavlov apabila anjing lapar dan dapat melihat makanan, kemudian mengeluarkan air liur, ini merupakan respons yang alami respon yang refleksif, yang disebut sebagai respons yang tidak berkondisi (unconditioned response) yang disingkat dengan UCR.[49]

Apabila anjing mendengar bunyi bel dan kemudian menggerakan telinganya, ini juga merupakan respons yang alami. Bel sebagai stimulus yang tidak berkondisi (unconditioned stimulus) atau UCS dan gerak telinga sebagai UCR. Persoalan yang dipikirkan pavlov adalah apakah dapat dibentuk pada anjing suatu perilaku atau respons apabila anjing mendengar bunyi bel lalu mengeluarkan air liur. Hal inilah yang kemudian diteliti secara eksperimental oleh pavlov. Ternyata perilaku tersebut dapat dibentuk dengan cara memberikan stimulus yang berkondisi (conditioned stimulus) atau CS berbarengan atau sebelum diberikan stimulus yang alami (UCS) ecara berulangkali, hingga pada akhirnya akan terbentuk respons berkondisi (conditioned response) atau CR, yaitu keluarnya air liur sklaipun stimulus yang wajar, yaitu mkanan tidak diberikan 

Dalam eksperimen ini hasilnya, bunyi bel berkedudukan sebagai stimulus yang berkondisi (CS) dan mengeluarkan air liur sebagai respon berkondisi (CR). Apabla bunyi bel (CS) diberikan setelah diberikan makanan (UCS), maka tidak akan terjadi respon yang berkondisi tersebut. Hal ini telah dibuktikan pula secara eksperimental oleh Krestovnikov teman palpov (Garret, 1958). Salah satu persoalan yang lain ialah apabila telah terbentuk respon berkondisi apakah dapat dikembalikan ke keadaan semula. Ternyata setelah diadakan eksperimen hasilnya menunjukkan bahwa hal tersebut dapat, yaitu dengan cara diberikn stimulus berkondisi (CS) secara berulang – ulang tanpa disertai makanan sebagai reinforcement, sehingga pada akhirnya terbentuklah pada aning bahwa anjing tidak lagi mengeluarkan air liur apabila mendengar bunyi bel. Ini berarti anjing kembali dalam ke keadaan semula, yaitu pada keadaan sebelum terjadinya respon berkondisi. Keadaan ini yang disebut sebagai eksperimental extinction. Tetapi apabila dalam keadaan seperti itu kemudian sekali waktu diberikan lagi makanan sebagai reinforcement, mka akan terjadi lagi respon berkondisi secara cepat, dan ini yang disebut sebagai spontaneous recovery. 

b. Edward Lee Thorndike (1874 - 1949) 

Thorndike dilahirkan di Williamsburg pada tahun 1874. Ia mempeajari bukunya james mengenai “principles of psychology” yang sangat menarik baginya, yan kemudian mereka menjadi teman baik. Thorndike merupakan tokoh yang mengadakan penelitian mengenai animal psychology. Penelitianya mengenai hewan diwujudkan dalam disertasi doktornya yang berjudul “animal intelegence: an Eksperimental study of associative processes in animals” yang diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul “animal intellegence” . Dalam buku ini, tercermin ide – ide fundamental thorndike, termasuk pula teorinya tentang belaja. 

Menurutnya asosiasi antara sence of impression dan implus to action, disebutnya sebagai koneksi, yaitu usaha untuk menggabungkan antara kejadian sesoris dengan perilaku, yaitu bahwa proses mental dan perilaku berkaitan dengan penyesuaian diri organisme terhadap lingkungannya. Karena itu Thorndike diklasifikasikan sebagai behavioris yang fungsional, berbeda dngan palpov sebagai behavioris yang asosiatif. 

Menurut Thorndike dasar dari belajar adalah trial and error atau secara asli disebutnya sebagai learning by selecting and connecting. Thorndike mengajukan pengertian tersebut dari eksperimennya dengan puzzle box. Atas dasar pengamatannya terhadap bermacam – macam percobaan, thorndike sampai ada kesimpulan bahwa hewan itu menunjukkan adanya penyesuaian diri sedemikian rupa sebelum hewan itu melepaskan diri dari box. Selanjutnya dikemukakan bahwa penelitian dari semua hewan coba itu praktis sama, yaitu apabila hewan coba –dalam halini kucing yang digunakannya- dihadapkan pada masalah, ia dalam keadaan dicomfort dan dalam memecahkan masalahnya dengan trial and error atau coba salah. 

Kucing yang dilaparkan dimasukkan kedalam box dan makanan ditruhkan diluar box. Krn kucing dalam keadaan lapar maka kucing akan berusaha mendapatkan makanan tersebut. Ia mencakar – cakar, melompat – lompat, hingga pada suatu waktu perilakunya mengenai tali yang dapat membuka pintu box. Dengan pntu terbuka kucing keluar untul mendapatkan makanan. Eksperimen tersebut diulangi berkali – kali dan ternyata makin sering dicoba, kucing makin cepat keluar dari box hal ini dapat dilihat dari grafik berikut. 

Dari eksperimennya Thorndike mengajkan tiga macam hukum yang sering dikenaldengan hukum primer dalam hal belajar, yaitu: 

1) Hukum kesiapan (the law of readiness) 

2) Hukum latihan ((the law of exercise) 

3) Hukum efek (the law of effect). 

Menurut Thorndike belajar yang baik haus ada kesiapan dari organisme yang bersangkutan. Apabila tidak ada kesiapan, maka hasil belajarnya tidak akan baik. Secara praktis hal tersebut dapat dikemukakan bahwa : 

1) Apabila pada organisme adanya kesiapan untuk melakukan sesuatu aktivitas, dan organisme itu dapat melaksanakan kesiapannya itu, maka organisme itu akan merasakan kepuasan. 

2) Apabila organisme mempuyai kesiapan untuk melakukan sesuattu aktivitas, tetapi organisme itu tidak dapat melakukannya, aka organisme itu akan mengalamikekecewaan atau frustasi. 

3) Apabila organisme itu tidak mempunyai ksiapan untuk melakuakn suatu aktivitas, tetapi disuruh melakukanya, maka hal tersebut akan menimbulakn keadaan yang tidak memuaskan. 

Mengenai hukum latihan oleh Thorndike dikemukakan danya dua aspek, yaitu, (1) the law of use, (2) the law of disuse. The law of use, yaiu hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi antara stimulus dan respon akan menjadi kuat apabila sering digunakan. The law of disuse, yaitu hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi antara stimulus dan respon akan menjadi lemah apabila tidak ada latihan. 

Mengenai hukum efek Thorndike berpendapat baha memperkuat atau memperlmah hubungan antar stimulus dan respons tergantung pada bagaimana hasil dari respons yang bersangkutan. Apabila sesuatu stimulus memberikan hasil yang menyenangkan atau memuaskan, maka hubugan antara stimulus dan respon itu akan menjadi kuat, demikian sebaliknya apabila hasil menunjukkan hal yang yang tidak menyenangakan, maka hubungan antara stimulus adan respon melemah. Dengan kata lain apabila sesuatu stimulus menimbulkan respon yang membawa reward hubungan antara stimulus dan respon(S-R) menjadi kuat, demikian sebaliknya. Hukum efek ini sebenarnya didasarkan pada hukum asosiasi lama, yaitu hukum frekuensi dan hukum kontiguitas sebagai determinan kuat tidaknya hubungan antar stimulus dan respons. Walaupun Thorndike enerima hukum frekuensi dan hukum kontiguitas, namun thorndike menambakan bshwa konsekuansi dari respon itu akan ikut berperan sebagaideterminan kuat lemahnya asosiasi antara stimulus dan respons. 

Hukum yang dikemukakan thorndike tersebut merupkan hukum belajar yang sampai sekarang masih bertahan sekalipun thorndike melakukan revisi mengenai hukumnya tersebut. Thorndike tetap mempertahankan pendapatnya bahwa latihan akan mengakibatkan adanya kemajuan, namun ini tidak berarti bahwa tidak adanya latihan akan menyebabkannya kelupaan, hubungannya tidak simetris. 

6. Psikologi Hormic 

Aliran psikolgi ini sebenarnya banyak persamaannya dengan aliran Behaviorisme, antara lain keduanya hanya mempelajari tingkah laku, tanpa mau dirisaukan dengan persoalan – persoalan pandangan – pandangn tentang kesadaran. Tetapi William Mc. Dougall (1871 - 1944), seorang sarjana skotlandia yang mengajar di Amerika erikat dan banyak dikatakan sebagai perangsang tumbuhnya aliran Behaviorisme di amerika, tidak mau menyebut dirinya sendiri sebagai tokoh Behaviorisme. Ia justru berbeda pandangan bahkan bertentangan dengan pandangan – pandangan behaviorisme, sehingga ia lebih suka menyebut alirannya dengan aliran Hormic Psiokologi. 

Istilah Hormic berasal dari horme-urge yang arti sebenarnya ialah dorongan dasar. Tiap –tiap tingkah laku menurut mc Dougall dilandasi oleh horme-urge ini, yang menyebabkan tingkah laku itu jadi mempunyai tujuan, mempunyai arah atau purposive.. (kerane itu mc Dougall juga dikenal sebagai tokoh aliran purposive psychology). Tingkah laku tidak dapat dipelajari terlepas dari tujuannya. Tingkah laku yang tanpa tujuan tidak lebih dari pada refleks, dan refkeks menurut mc Dougall ukanlah tingkah laku. 

Dorongan dasar dari suatu tingkah laku adalah instinct (naluri) yang merupakan pembawaan psikofisik (psychophysical disposition). Naluri ini mempunyai aspek teleologis (artinya: mempunyai suatu hubugan tertentu) atau purposive (artinya mempunyai yujuan tertentu)dan inilah yang membuat tingkah laku selalu bertujuan. Dalam bukunya “Introduction to Social Psychology” (1908). Mc Dougall menyatakan bahwa semua tingkah laku pada hakikatnya dapat dikembalkan pada naluri – naluri yang mendasarinya, isalya daam hal emosi: 

a. Emosi takut didasari oleh naluri melarikan diri 

b. Emosi heran didasari oleh naluri ingin tahu 

c. Emosi mesrah atau kasih sayang didasari oleh naluri orang tua 

Mengenai naluri ini, Mc Dougall menyatakan bahwa ada tiga aspek pada naluri, yaitu: 

a. Aspek persepsi, yaitu kecenderungan untuk mengamati benda- benda padat, cair dll, degan sifat – sifat dan jenis – jenis tertentu 

b. Aspek emosionil. Yaitu kecenderungan untuk mengalai suatu keadaan emosionil yang bersifat khas alam mengamati suatu obyek. 

c. Aspek motoris. Yaitu kecendrungan untuk ber-bereaksi secara tertentu terhadap obyek – obyek tertentu. 

d. Selain pendapat – pendapatnya tentang tingkah laku dan naluri di atas, Mc Dougall juga berbicara tentang kepribadian. Ia membedakan beberapa aspek dalam kepribadian, yaitu: 

1) Disposition. Yaitu sejumlah naluri yang merupakan pembawaan sejak lahir. 

2) Temperament. Ialah penjumlahan dari pengaruh – pengaruh terhadp kehidupan psikis oleh adanya perubahan metaboliskimiawi pada tubuh. Ini erat sekali hubungannya dengan Internal-Weather, yaitu perubahan “cuaca” didalam tubuh sebagai aktivitas hormon – hormon tertentu (istilah hormic juga berasal dari kata hormon). Misalnya orang yang lekas marah disebabkan oleh karena komposisi susunan saraf dipengaruhi hormon2 tertentu yang tidak seimbang. Dalam hubungan ini mc Dougall mempunyai pendapat sendiri tentang susunan saraf sebagai berikut: “Susunan saraf mempunyai fungsi tertentu dalam tubuh, sehingga apabila kita bisa mempelajari susunan saraf, kita bisa mempelajari tingkah laku ora ng yang bersangkutan” 

3) Character. Yautu penjumlahan dari hal – hal yang diperoleh dari lingkungan sebagai hasil perkembangan disposition dan temperament. Atau sesuatu yang tumbuh oleh pengaruh lingkungan dengan dasar – dasar disposition dan temprament.[50]

7. Aliran psikologi Gestalt 

Kata Gestalt berasal dari bahasa Jerman, yang dalam bahasa inggris berarti form, shape, cnfiguration, whole; dalam bahasa indonesia berarti “bentuk” atau “konfigurasi”, “hal”, “peristiwa”, “pola”, “totalitas”, atau “bentuk keseluruhan”.[51]

Tokoh yang di anggap sebagai pendiri aliran Gesalt ini adalah Max Wertheimer (1880 - 1943)[52]. Kemudian dikembangkan oleh Kurt Koffka[53] dan Wolfgang kohler ini mengkritik teori – teori psikologi yang berlaku di Jerman sebelumnya, terutama teori strukturalisme dari Wilhelm Wund, teori Wundt yang khususnya mempelajari proses penginderaan dianggap terlalu elemenistik. Padahal, persepsi manusia terjadi secara menyeluruh, sekaligus dan terorganisasikan, tidak secara parsial atau sepotong – sepotong. Karena itulah menurut Weirtheimer ketika sebuah melodi terdengar (dipersepsi), sebuah kesatuan dinamis atau keutuhan muncul dalam persepsi. Akan tetapi nada tersebut dalam dirinya menyebar dan saling bergantian dalam urutan waktu tertentu. Urutan waktu itu di ubah maka gesalt nya turut berubah.[54]

Aliran Gesalt ini tidak mengemukakan elemen, melainkan keseluruhan. Karena kesadaran dan jiwa manusia tidak mungkin dianalisis kedalam elemen – elemen akan tetapi harus dipelajari secara total, menyeluruh. Keseluruhan itu lebih ditanggapi dari bagian – bagiannya, dan bagian – bagian itu harus memperoleh makna dalam keseluruhan. Menurut Alex Sobur dalam bukunya psikologi umum dalam lintasan sejarah, memaparkan bahwa sebenarnya teri Gesalt ini dikembangkan oleh psikologi sosial. Teori ini makin berkembang dengan teori S (Stimulus) – R (Reson) yang juga dipakai oleh ilmu komuikasi.[55] Dalam pengamatan dan pemaknaan keseluruhan yang dijelaskan diatas, saya mengambil contoh misalnya, ketika kita melihat dan mengamati sebuah mobil, maka kita tidak melihatnya sebagai susunan dari elemen-elemen nya seperti ban, lampu, kaca, pintu dll, melainkan kita melihatnya sebagai keseluruhan yaitu sebuah mobil yang terlepas detail elemen-elemen nya dan memiliki arti tersendiri. 

Menurut psikologi Gesalt, manusia tidak memberikan respon pada stimulus secara otomatis. Manusa dalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi. 

Teori Gestalt menyebutkan bahwa yang dimaksud belajar adalah perubahan perilaku yang terjadi melalui pengelaman. Teori ini bukan menyuruh klien untuk menghafal, tetapi belajar memecahkan masalah, merumuskan hipotesis, dan mengujinya. Akhirnya, dengan bimbingan konselor, klien mampu membuat kesimpulan.[56]

Pendekatan fenomenologis menjadi salah pendekatan yang eksis di psikologi. Dengan pendekatan ini, para tokoh Gestalt menunjukan bahwa studi psikologi dapat mempelajari higher mental process, yang selama ini dihindari karena abstrak, namun tetap dapat mempertahankan aspek ilmiah dan empirisnya. Pandangan Gestalt menyempurnakan aliran behaviorime dengan menyumbangkan ide untuk menggali proses belajar kognitif yang berfokus pada higher mental process. Adanya perceptual field diinterprestasikan menjadi lapangan kognitif, di mana proses-proses mental seperti persepsi, insight, dan problem solving beroperasi.[57]

Aplikasi prinsip Gestalt proses belajar adalah fenomena kognitif. Apabila individu mengalami proses belajar, terjadi reorganisasi dalam perceptual field nya. Setelah proses belajar terjadi, seseorang dapat memiliki cara pandang baru terhadap problem. Aplikasi teori Gestalt dapat dilihat dari beberapa hal berikut : 

c. Pengalaman tilikan (insight). Tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan, yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu objek atau peristiwa. 

d. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning). Kebermaknaan unsur-unsur yang terkaitdapat menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur, makin efektif pula seuatu yang di pelajari. Hal ini sangat penting dalam pemcahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternative pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya. 

e. Perilaku bertujuan (purposive behavior), perilaku yang terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi karena akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, konselor hendaknya meyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya. 

f. Prinsip ruang hidup (life space), yaitu bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan di manaia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik. 

g. Transfer dalam belajar, yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi yang lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian objek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi yang lain dalam tata - susunan yang tepat.[58]

8. Psikologi Humanistik 

Abraham Maslow dapat dipandang sebagai bapak dari psikologi humanistik. Gerakan ini merupakan gerakan psikologi yang merasa tidak puas dengan psikologi behavioristik dan psikoanalisis, dan mencari alternatif psikologi yang fokusnya adalah manusia dengan ciri – ciri eksistensinya. 

Manusia dalaha makhluk yang kreatif, yang dikendalikan oleh kekuatan – kekuatan ketidaksadaran –psikoanalisis—, melainkan oleh nilai – nilai dan pilihan – pilihanya sendiri. Maslw menamakan humanistik sebagai kekuatan ketiga, setelah psikoanalisis dan behavioristik. Maslow menjadi terkenal karena teori motivasinya, yang tercermin dalam bukunya “”motivation and personality”. Ia mengajukan teori tentang hierarchy of needs yaitu: 

a. Kebutuhan – kebutuhan fisiologis. 

b. Kebutuhan akan rasa aman. 

c. Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki. 

d. Kebutuhan akan penghargaan; kebutuhan untuk aktualisasi diri. 

Apabila kebutuhan yang satu telah terpenuhi, maka kebutuhan lain yang lebih tinggi menuntut untuk dipenuhi, demikian seterusnya. Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan yang paling tingi. 

Menurut Maslow psikologi harus lebih manusiawi, yang memusatkan perhatiannya pada masalah – masalah kemanusiaan. Psikologi harus mempelajari kedalaman sifat manusia, selain mempelajari perilaku yang nampak juga mempelajari perilaku yang tak nampak; mempelajari kesadaran sekaligus mempelajari ketidaksadaran. Intropeksi sebagai suatu metode penelitian yang telah disingkirkan, harus dikembalikan lagi sebagai metode penelitian psikologi. Psikologi harus mempelajari manusia bukan sebagai tanah liat yang pasif, yang ditentukan oleh kekuatan – kekuatan dari luar, tetapi manusia adalah makhluk yang aktif, menentukan garaknya sendiri, ada kekuatan dari dalam untuk menentukan perilakunya. 

Ada empat ciri psikologi yang berorientasi humanistik, yaitu: 

a. Memusatkan perhatian pada respon yang mengalami, dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena primer dalam mempelajari manusia. 

b. Menekankan pada kualitas – kualitas yang khas manusia, seperti kreativitas, aktualisasi diri, sebagai lawan dri pemikiran tentang manusia ynag mekanistis dan redoksionistis. 

c. Menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih masalah – masalah yang akan dipelajari dan prosedur – prosedur penelitian yang akan digunakan. 

d. Memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang penuh pada kemuliaan dan martabat manusia serta terarik pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu (Misik dan sexton, 1988). Selain maslow sebagai tokoh dalam psikologi humanistik, juga carl rogers (1902 – 1987) yang terkenal denga client – centered therapy. 


9. Psikologi Kognitif 

Menurut para ahli, teori psikologi kognitif dapat dikatakan berawal dari pandangan psikologi Gestalt di Jerman beberapa saat sebelum perang Dunia II.[59] Aliran kognitif muncul pada tahun 60-an sebagai gejala ketidakpuasan terhadap konsep manusia menurut behaviorisme. Gerakan ini tidak lagi memandang manusia sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif terhadap lingkungan, melainkan sebagai makhluk yang selalu berfikir (homo sapiens). Paham kognitifisme initumbuh akibat pemikiran-pemikiran kaum rasionalisme.[60]

Tokoh-tokohnya antara lain Gestalt, Meinong, Kohler, Max Wetheimer, dan Koffka. Menurut mereka, manusia tidak memberikan respons secara otomatis kepada stimulus yang dihadapkan kepadanya kerena manusia adalah makhluk aktif yang dapat menafsirkan lingkungan dan bahkan dapat mendistrosinya (mengubahnya). Mereka berpandangan bahwa manusialah yang menentukan makna stimuli itu sendiri.[61]

Pandangan teori kognitif menyatakan bahwa organisasi kepribadian manusia tidak lain adalah elemen-elemen kesadaran yang satu sama lain saling terkait dalam lapangan kesadaran (kognisi). Dalam teori ini, unsur psikis dan fisik tidak dipisahkan lagi, karena keduanya termasuk dalam kognisi manusia.[62]


a. Ciri-ciri Aliran Kognitif 

Beberapa ciri dan aliran kognitif ini antara lain : 

1) Mementingkan suatu yang ada dalam diri manusia, 

2) Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian, 

3) Mementingkan peranan kognitif 

4) Mementingkan kondisi waktu sekarang 

5) Mementingkan pembentukan struktur kognitif 

6) Mengutamakan keseimbangan dalam diri manusia 

7) Mengutamakan insight (pengertian, pemahaman).[63]

b. Konsep Pembelajaran Kognitif 

Pengembangan konsep pembelajaran kognitif sudah tentu sangat dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif. Terdapat tiga tokoh penting di dalamnya, yaitu Piaget, Bruner, dan Ausuble. 

1) Jean Piaget 

Ada tiga prinsip utama pembelajaran yang dikemukakan oleh piaget. Pertama, belajar aktif. Proses pembelajaran adalah proses aktif, sebab pengetahuan terbentuk dari dalam subjek belajar. Untuk membantu perkembangan kognitif anak, kepadanya perlu diciptakan suatu kondisi belajar yang memungkinkan anak belajar sendiri, memanipulasi symbol-simbol, mengajukan pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri, atau membandingkan penemuan sendiri dengan penemuan temannya. Kedua,belajar lewat interaksi sosial. Dalam belajar, perlu diciptakan suasana yang memungkinkan terjadinya interaksi diantara subjek belajar. Menurut Piaget, belajar bersama dengan teman sebaya maupun dengan yang lebih dewasa akan membantu perkembangan kognitif mereka. Sebab, tanpa kebersamaan, kognitif akan berkembang dengan sifat egosentris. Ketiga, belajar lewat pengalaman nyata, perkembangan kognitif seseorang akan lebih baik dari pada hanya menggunakan bahasa untuk berkomunikasi.[64]

2) J.A. Brunner 

Brunner menyatakan bahwa dalam belajar, ada empat hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu peranan pengalaman struktur pengetahuan, kesiapan mempelajari sesuatu, intuisi, dan cara membangkitkan motivasi belajar. Brunner mengajukan rekomendasi bahwa dalam pembelajaran hendaknya mencakup beberapa hal. Pertama, pengalaman-pengalaman optimal untuk mau dan dapat belajar. Pembelajaran dari segi klien adalah pembelajaran yang membantu klien dalam hal mencari alternative pemecahan masalah. Dalam pembelajaran, dibutuhkan pengalaman-pengalaman untuk melakukan sesuatu dengan tujuan mempertahankan pengalaman-pengalaman positif. Karena itulah diperlukan arahan dari konselor agar klien tidak banyak melakukan kesalahan. Kedua, strukturlisasi pengetahuan untuk pemahaman optimal. Pembelajaran hendaknya dapat memberikan struktur yang jelas dari suatu pengetahuan yang dipelajari anak-anka. Ketika, perincian uturan penyajian materi pelajaran. Pendekatan pembelajaran dengan membingbing klien melalui urutan masalah, sekumpulan materi pelajaran yang logis dan sistematis untuk meningkatkan kemampuan dalam menerima, serta mengubah dan mentransfer sesuatu yang telah dipelajari. Adapun yang mempengaruhi urutan optimal suatu materi adalah faktor belajar sebelumnya, tingkat perkembangan anak. Keempat, cara pemberian reinforcement. Brunner mendukung adanya hadiah dan hukuman dalam pembelajaran yang digunakan sebagai reinforcement untuk klien. Sebab, Brunner mengakui bahwa suatu ketika hadiah ekstrinsik bisa berubah menjadi dorongan yang bersifat intrinsic. Demikian juga pujian dari konselor adalah dorongan yang bersifat ekstrinsik dan keberhasilan memecahkan masalah menjadi dorongan yang bersifat intrinsik.[65]

10. Psikologi Islam/ Islami 

Psikologi islam ( The Islamic Psycology). Begitulah nama yang popular untuk wacana psikologi yang di dasarkan pada pandangan dunia Islam. Nama-nama lain bermunculan, namun tidak sempat menjadi fenomena sebagai mana nama psikologi Islami. Nama lain yang cukup popular adalah psikologi Islam (The Islamic Psycology). Istilah Psikologi Islami dipercaya lebih tepat digunakan daripada istilah-istilah lain. Istilah yang disebut terakhir ini dipandang memiliki jangkauan yang lebih luas. Bukan hanya pemikiran dan praktik yang berasal dari agama Islam, tapi juga dari sumber-sumber lain yang dapat diterima oleh atau sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Tidak bertentangan dengan pandangan dunia Islam. Pandangan-pandangan yang berasal dari khazanah Islam diambil dari dasar utama pengembangan psikologi Islami. Beberapa contoh adalah fitrah, qalbu, ruh, nafs, insan kamil, sabar, syukur, dan seterusnya. [66]

Pandangan dari pemikiran-pemikiran di luar Islam diterima bila sesuai dengan pandangan Islam. Sebagai contoh, pandangan bahwa manusia dipengaruhi lingkungannya, dapat diterima oleh psikologi Islami bila telah diverifikasi oleh pandangan-pandangan Islam. 

Wacana Psikologi Islami ini, mulai bergaung semenjak tahun 1978. Pada tahun itu, Universitas Riyadl, Arab Saudi, berlangsung symposium internasional tentang Psikologi dan Islam. Setahun sesudahnya,1979, di Inggris terbit sebuah buku kecil yang sangat monumental di dunia Muslim, yaitu The Dilema of Muslim Psychologists yang ditulis Malik B. Badri[67], yang kemudian memberikan inspirasi bagi lahirnya wacana psikologi Islami. 

Dalam perjalanannya, adapun beberapa fase-fase perkembangan psikologi Islami yaitu ; 

a. Fase pertama “Terpesona” 

Pada fase ini di kalangan ilmuwan Muslim terdapat perasaan terpesona atau terkagum-kagum terhadap kehandalan teori-teori psikologi modern. Ilmuwan Muslim menggunakan psikologi modern untuk menjelaskan berbagai fenomena umat atau ajaran Islam. Mereka meyakini bahwa psikolgi yang telah dirumuskan oleh kolega-kolega mereka di Eropa dan Amerika merupakan kebenaran Universal. Dalam fase ini terpesona ini adalah kecenderungan untuk secara latah menyebut teori-teori psikologi modern sebagai psikologi Islami karena ada beberapa poin pandangannya yang sesuai dengan Islam. Mereka menyebutkan psikoanalisis sebagai psikologi Islami, dan psikologi humanistic adalah psikologi Islami, behaviorisme adalah psikologi Islami. Psikoanalisis disebut mereka sebagai psikologi Islami karena ia mengakui sesuatu yang diakui oleh Al-Qur’an terdapat dalam diri manusia, yaitu nafsu. Behaviorisme disebut Islami karena ia mengajarkan besarnya pengaruh lingkungan terhadap manusia sebagaimana ungkapan sebuah hadist (yang berbunyi ; “manusia dilahirkan dalam keadaan suci; maka kedua orangtualah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”, HR Bukhori). Humanistik disebut psikologi Islami karena ia sangat menghargai manusia sebagaimana Islam juga sangat menghargai manusia.[68]

b. Fase kedua “Kritik” 

Pada fase ini muncul berbagai pemikiran kritis dalam dunia Muslim terhadap teori-teori psikologi modern. Sejumlah perbedaan dan pertentangan antara Islam dan Psikologi dipertajam.[69]

Kritik-kritik terhadap psikologi Barat modern yang berasal dari ilmuwan Barat memberi isyarat kepada ilmuwan Muslim bahwa terdapat sejumlah persamaan antara ilmuwan Muslim dengan ilmuwan Barat yang progresif, yaitu mereka melihat teori-teori psikologi secara kritis. Dalam fase kedua ini, psikologi Islami dapat digambarkan sebagai telaah kritis dalam perspektif Islam atas konse-konsep atau teori-teori psikologi Barat modern.[70]

c. Fase ketiga “Perumusan” 

Sesudah mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan luas terhadap berbagai kelemahan psikologi Barat modern, maka pada masa berukutnya muncul kesadaran yang mengkristal di kalangan ilmuwan Muslim, yaitu perlunya menghadirkan konsep psikologi yang berwawasan Islam. Ini bukan berarti upaya menghasilkan psikologi Islami semata-mata ada setelah melihat kelemahan psikologi Barat modern. Pada tahap ini ada upaya untuk merumuskan bagaimana pandangan Islam tentang manusia, karena berbagai upaya merumuskan konsep manusia dimunculkan. Hal terpenting dalam perumusan teori adalah melakukan rekonstruksi teori.[71] Hal penting lain adalah objektifikasi. Dalam perumusan psikologi Islami (berdasarkan pandangan Dunia Islam), yang terpenting adalah objektifikasi. Objektifikasi adalah proses mengubah pandangan-pandangan yang normative menjadi pandangan yang objektif atau menjadi teori yang dapat diukur. Perumusan tentang jiwa dan perilaku manusia bisa didasarkan pada sumber-sumber berikut. Pertama, merumuskan konsep manusia dengan langsung mendasarkan diri pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kedua, dengan menggali Khazanah pemikira Muslim klasik maupun mpdern. Ketiga, mensintetiskan pandangan psikologi Baratmodern dan konsep Islam tentang manusia.[72]

d. Fase keempat “Penelitian” 

Pada saat ini, penelitian-penelitian psikologi Islami sudah selayaknya dilakukan. Penelitian-penelitian psikologi Islami dapat menggunakan metode penelitian sebagaimana selama ini sudah diakui oleh sains modern maupun dengan metodelain yang disepakati oleh ilmuwan Muslim sebagai metode baik dan benar. Penelitian dapat dilakukan dengan menggunakan metode-metode kualitatif maupun kuantitatif.[73]

e. Fase kelima “Penerapan” 

Fase penerapan ditandai mulaiditerapkannya konse-konsep psikologi Islami dalam kehidupan umat manusia dan pemanfaatan hasil-hasilpenelitian untuk memecahkan berbagai problem yang berkembang dalam kehidupan manusia. Dalam fase ini ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan. 

Pertama, dengan menerapkan teori-teori atau konsep-konsep dan hasil penelitian psikologi Islami ke dalam suatu praktik tertentu. Kedua, pendekatan dengan menggunakan tradisi Islami. Salah satunya usaha yang dapat dilakukan untuk mempercepat proses penerapan psikologi Islami adalah mengakomodasikan kekayaan tradisi Islam sebagai teknik psikologi Islam. Ketiga, dengan menggunakan teknik dari khazanah psikologi Barat yang diberi nuansa Islam.[74]

Setelah mengetahui penjelasan bagaimana fase-fase perkembangan psikologi Islami, maka selanjutnya adapun metode- metode perumusan psikologi Islami yaitu: 

a. Metode keyakinan 

b. Metode rasionasi 

c. Intregrasi metode keyakinan dan rasionasi 

d. Metode otoritas[75]

Lalu selanjutnya metode-metode penelitian psikologi Islami yaitu ; 

1. Metode Ilmiah 

a. Metode observasi 

b. Riset korelasional 

c. Eksperimental 

d. Fenomenologi 

2. Metode Non-Ilmiah 

a. Metode Intuisi 

b. Metode otoritas 

c. Eksperimen spiritual[76]


A. Kesimpulan 

1. Psikologi pada zaman kuno masih menjadi satu bagian dengan filsafat sehingga pada saat itu belum ada pembuktian empirik, berbagai teori dikemukakan berdasarkan argumentasi. 

2. Psikologi pada zaman pertengahan masih belum bisa lepas dari filsafat, berbagai teori masih berdasarkan argumen atau spekulasi. Perbedaanya pada zaman pertengahan Filsafat dan budaya dengan tunduk pada ajaran agama. Sehingga Ilmu pengetahuan termasuk psikologi kurang bisa berkembang. 

3. Psikolgi di bawah pengaruh humanisme mengarah pada psikologi empiris. Orang – orang mulai meninggalkan gaya berpikir skolastik zaman pertengahan dengan metode deduktif selanjutnya humanisme mulai mengembangkan pemikiran – pemikiran dengan metode induktif. 

4. Psikologi menjadi ilmu yang mandiri baru bisa terwujud pada abad ke 19. Dengan fokus kajian nya pada perilaku manusia atau gejala – gejala kejiwaan. Pada masa itu mulai memakai pendekatan atau metode dalam mempelajari psikologi, berbagai teori muncul berdasarkan pembuktian tidak berdasrkan spekulasi. 

5. Ciri – ciri psikologi modern anatara lain : 

- Psikologinya totalitas yakni berpangkal pada keseluruhan psychophysis, 

- Dalam meninjau kehidupan kejiwaan melihat hubungan kejiwaan sebagai bagian dari kehidupan manusia, sebagai kehidupan kejiwaan dari manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai tujuan tertentu, jadi meninjau secara teologis. 

- Meninjau kehidupan jiwa berdasarkan dalam hubnungannya dengan subjeknya yakni manusia. Maka disebut kehidupan jiwa yang aktif 

6. Aliran psikologi strukturalisme merupakan aliran psikologi pertama yang mempelajari psikologi sebagai ilmu otonom yang mandiri. Aliran ini menggunakan metode introspeksi yakni menceritakan kembali pengalaman – pengalaman atau perasaan – perasaan setelah eksperimen dilakukan. Aliran ini menyatakan bahwa pengalaman mental yang kompleks itu sebenarnya adalah “struktur” yang terdiri atas keadan – keadaan mental yang sederhana , seperihalnya persenyawaan kimiawi yang tersusun dari unsur – unsur kimiawi. 

7. Aliran psikologi fungsionalisme mempelajari apa tujuan atau akhir dari aktivitas, mempelajari “ fungsi” dari tingkah laku dan proses mental, tidak hanya berhenti pada struktur mental saja. Metode eksperimen yang digunakan oleh kaum fungsionalis ialah metode observasi tingkah laku ( observation of behavior). 

8. Asosiasionisme adalah aliran yang banyak menekankan pada hukum – hukum asosiasi untuk menerangkan berbagai gejala kejiwaan. 

9. Aliran Gestalt tidak mengemukakan elemen jiwa, melainkan keseluruhan. Karena kesadaran dan jiwa manusia tidak mungkin dianalisis kedalam elemen – elemen akan tetapi harus dipelajari secara total, menyeluruh. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan fenomenologi. 

10. Aliran psikologi kognitif menyatakan bahwa manusia tidak memberikan respons secara otomatis kepada stimulus yang dihadapkan kepadanya kerena manusia adalah makhluk aktif yang dapat menafsirkan lingkungan dan bahkan dapat mendistrosinya (mengubahnya). 

11. Aliran Psikologi Islam/Islami menkajai psikologi yang didasrkan pandangan dan kazanah Islam. Metode-metode yang di pakai dalam psikologi islami yaitu: 

a. Metode keyakinan 

b. Metode rasionasi 

c. Intregrasi metode keyakinan dan rasionasi 

d. Metode otoritas 


DAFTAR PUSTAKA 

Fudyartanta,KI.2012.Psikologi Kepribadian.Yogyakarta : Pustaka Pelajar 

Dirgagunarsa, Singgih.1975.Pengantar Psikologi.Jakarta : Mutiara Sumber Widya 

Mashudi, Farid.2012.Psikologi Konseling.Yogyakarta : IRCiSoD 

Mujib, Abdul dan Muzakir, Yusuf.2002.Nuansa – Nuansa Psikologi Islam.Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 

Nashor, Fuad.2002. Agenda Psikologi Islami. Yogyakarta : Pustaka Pelajar 

Sobur,Alex.2007.Psikologi Umum Dalam Lintasan Sejarah.Bandung : CV Pustaka Setia 

Walgito, Bimo.2012. Pengantar Psikologi Umum.Yogyakarta : CV Andi Offset 

[1] Farid Mashudi.Psikologi Konseling.(Yogyakarta :IRCiSoD,2012), hlm :15 

[2] KI Fudyartanta.Psikologi Kepribadian.( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012 ) , hlm : 1 

[3] Farid Mashudi.Opcit, hlm : 16 

[4] KI Fudyartanta.Opcit, hlm : 1 

[5] Ibid, hlm : 2 

[6] Ibid 

[7] Alex Sobur, Psikologi Umum Dalam Litasan Sejarah.( Bandung :CV Pustak Setia, 2013) , hlm : 77 

[8] KI Fudyartanta.Opcit, hlm : 4 

[9] Ibid,hlm : 6 

[10] Ibid 

[11] Ibid 

[12] Ibid 

[13] Ibid, hlm : 8 

[14] Ibid 

[15] Ibid, hlm : 9 

[16] Ibid 

[17] Ibid 

[18] Ibid, hlm : 10 

[19] Ibid , hlm : 11 - 12 

[20] Alex Sobur.Opcit. hlm : 99 

[21] KI Fudyartanta.Opcit, hlm : 17 

[22] Ibid 

[23] Alex Sobur.Opcit, hlm : 101 

[24] Alex Sobur, Opcit, hlm : 105 

[25] Ibid, hlm : 104 

[26] Singgih Dirgagunarsa.Pengantar Psikologi. ( Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1975), hlm : 47 

[27] Ibid, hlm : 48 

[28] Ibid 

[29] Ibid 

[30] Ibid, hlm : 46 

[31] Alex Sobur.Opcit, hlm :106 

[32] Ibid 

[33] Singgih Dirgagunarsa.Opcit, hlm : 50 

[34] Ibid, hlm : 51 

[35] Ibid 

[36] Alex Sobur.Opcit, hlm :107-108 

[37] Ibid, hlm : 108 - 109 

[38] Ibid, hlm : 109 

[39] Singgih Dirgagunarsa.Opcit, hlm : 53 

[40] Ibid,hlm : 54 

[41] Ibid, hlm : 57 

[42] Ibid 

[43] Ibid, hlm :57 - 58 

[44] Ibid, hlm : 58 

[45] Alex Sobur.Opcit, hlm : 111 

[46] Ibid, hlm : 112 

[47]Bimo Walgito.Pengantar psikologi umum. (Yogyakarta: Penerbit Andi,2010), hlm.88 

[48] Ibid, hal. 90 

[49] Ibid, hlm : 74 

[50] Ibid, hlm : 84-85 

[51] Alex Sobur.Opcit, hlm : 116. 

[52] Singgih Dirgagunarsa. Opcit, hlm : 87 

[53] Kurt Koffka adalah tokoh psikologi Gesalt yang banyak menulis tentang faham – faham dan definisi – definisi dari pada aliran ini. 

[54] Alex Sobur.Opcit, hlm : 117. 

[55] Ibid, hlm : 118. 

[56] Farid Mashudi.Opci, .hlm : 33 

[57] Ibid, hlm : 37 

[58] Ibid ,hlm : 38-39 

[59] Alex Sobur. Opcit, hlm : 311 

[60] Farid Mashudi.Opcit, hlm : 41 

[61] Ibid, hlm : 42 

[62] Alex Sobur.Opcit, hlm : 312 

[63] Farid Mashudi.Opcit, hlm : 42 

[64] Ibid, hlm : 44 

[65] Ibid, hlm : 45 

[66] H.Fuad Nashori. Agenda Psikologi Islami. (Yogyakarta : Putaka Pelajar, 2002), hlm : 2 

[67] Ibid, hlm : 3 

[68] Ibid, hlm : 37-38 

[69] Ibid, hlm : 38 

[70] Ibid, hlm : 40 

[71]Ibid, hlm :. 41-42 

[72]Ibid, hlm : 43 

[73]Ibid, hlm :. 46 

[74] Ibid, hlm : 46-48 

[75] Ibid, hlm : 87-91 

[76] Ibid, hlm : 96-107

0 Response to "Aliran-aliran dalam Psikologi"

Post a Comment