Fundamentalisme Dalam Islam


A. Istilah Fundamentalisme 

Istilah fundamentalisme berawal dari serangkaian pamflet yang berjudul “The Fundamental Of The Faith” yang diterbitkan di Amerika Serikat pada tahun 1920-an. Dalam pamflet tersebut, para pemimpin Protestan (evanglish) yang konservatif pada masa itu menyerukan kembali apa yang mereka yakini sebagai inti kebenaran Protestan demi menghadapi semangat zaman yang liberal dan progresif. Istilah fundamental kemudian digunakan untuk mengidentifikasi kelompok Protestan yang anti terhadap modernitas. Istilah ini pada awalnya juga digunakan untuk mengidentifikasikan kelompok tertentu yang meyakini bahwa dunia ini segera berakhir. Seperti pemahaman kelompok ajaran Kristen. Dalam hal ini, kamus Oxford mendifinisikan kata fundamentalisme sebagai “pemeliharaan secara ketat atas kepercayaan agama tradisional seperti kesempurnaan Injil dan penerimaan literal ajaran yang terkandung di dalamnya sebagai fundamental dalam pandangan Kristen Protestan. (isi)

Karen Amstrong mengatakan bahwa gerakan fundamentalis tidak muncul begitu saja sebagai respons spontan terhadap datangnya modernisasi yang dianggap sudah keluar terlalu jauh. Semua orang religius berusaha mereformasi tradisi mereka dan memadukannya dengan budaya modern, seperti yang dilakukan pembaharu muslim. Ketika cara-cara moderat dianggap tidak membantu, beberapa orang menggunakan metode yang lebih ekstrem, dan saat itulah gerakan fundamentalis lahir. (isi) 

Berbicara mengenai istilah fundamentalisme, banyak para sarjana (khususnya sarjana muslim) mengakui bahwa penggunaan istilah “Fundamentalisme” sangat problematik dan tidak tepat. Kaum Syiah yang dalam suatu pengertian umumnya dikenal sebagai para fundamentalis, tidak terikat pada penafsiran harfiah Al Qur’an. Dalam hal ini William Montgomery Watt mendefinisikan bahwa kelompok fundamentalis Islam adalah kelompok muslim yang sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta berkehendak mempertahankannya secara utuh tanpa adanya suatu arus modernisasi di dalamnya. (isi) 

Fundamentalisme merupakan salah satu fenomena abad 20 yang paling banyak dibicarakan. fundamentalisme selalu muncul dalam setiap agama besar dunia, tidak hanya Kristen dan Islam, Fundamentalisme juga terdapat pada agama Hindu, Budha, Yahudi dan Konfusianisme. sehingga belum ada definisi yang jelas mengenai istilah “Fundamentalisme” itu sendiri dikarenakan kemunculannya bermula pada pengistilahan yang dipakai oleh kaum Protestan Amerika awal tahun 1900-an untuk membedakan diri dari kaum Protestan yang lebih liberal. (isi) 


Belakangan ini, istilah fundamentalisme banyak dibicarakan di media massa. Tidak hanya di tingkat Nasional, tetapi juga Internasional. Hal tersebut terjadi seiring merebaknya terorisme yang berlindung di bawah paham fundamentalisme agama, terutama Islam. Sehingga, istilah fundamentalis identik dengan fundamentalisme Islam atau Islam fundamentalis yang memiliki kesan negatif dan ekstremisme. Padahal, kalau dilihat lebih dalam, fundamentalis yang berakar pada agama itu tidak hanya Islam, melainkan juga agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Yahudi, dan Konghucu.

Terlepas dari semua itu, istilah fundamentalisme yang dipersepsikan masyarakat dunia saat ini merupakan pemaknaan yang diproduksi bangsa Barat. Fundamentalisme menunjuk pada sikap-sikap yang ekstrem, hitam putih, tidak toleran, tidak kompromi, dan segalanya yang asosiatif. Agama dijadikan alat untuk mengintimidasi dan menindas sekelompok orang yang bertentangan dengan pahamnya. Padahal, agama mana pun tidak mengajarkan demikian. Nilai-nilai kemanusiaan agama ditinggalkan, agama yang dibangun dari integrasi akal pikiran rasional dengan nonrasional, sehingga menciptakan pikiran yang masuk akal (rasional), telah beralih peran yang mengarah pada penciptaan rasionalitas untuk bertindak anarkis. Agama yang berfungsi memenuhi kebutuhan rohani manusia agar menjadi tentram, damai, dan aman telah beralih pada kebencian, kegelisahan, serta ketakutan. Agama yang berprinsip nilai-nilai kemanusiaan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan telah berganti nilai-nilai kekerasan dan fanatisme sempit. Paham fundamentalisme agama yang demikian itulah yang harus dibenarkan dan diluruskan. 

B. Macam Macam Fundamentalisme 

Dilihat dari perkembangannya, fundamentalisme dibagi menjadi dua macam yaitu fundamentalis yang sifatnya positif dan fundamentalisme yang sifatnya negatif. 

1. Fundamentalisme positif, yaitu fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi keagamaan sebagai sumber moral dan etika kemaslahatan publik. Fundamentalisme Islam yang sifatnya positif diterjemahkan sebagai suatu ‘gerakan sosial’, tidak sebagai ‘gerakan Islam’. Secara umum, fundamentalisme Islam sebagai satu gerakan sosial yang berupaya memapankan (to established) sistem kepercayaan ‘umat Islam’ yang murni (the Pristine Islam) di tengah hingar bingar hegemoni dan dominasi budaya Barat. Selain itu, mereka mengakui bahwa nilai-nilai Islam itu hanya dapat terpelihara dengan membangun satu bentuk negara teokrasi atau agama sebagai tandingan atas negara atau bangsa yang demokratis. Tambahan pula, para fundamentalis sedang menggiatkan politisasi agama (atau Islam politik) untuk memperjuangkan dan membela tujuan-tujuan sosio-ekonomi dan politik mereka tetapi tetap berasaskan dengan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. 

Dalam pengertian fundamentalisme positif dapat kita ambil contoh gerakan zionisme dalam Yahudi, gerakan orientalis dalam Kristen, gerakan hizbut tahrir dalam Islam. Untuk mendapatkan legitimasi dari suatu Negara, mereka memasukkan ideologi mereka dengan cara apapun, baik langsung maupun tak langsung. Dalam pergerakannya mereka tidak melakukan gerakan dengan cara fisik tetapi kebanyakan mereka menggunakan ideologi untuk mengubah faham yang semula dianut menjadi sesuatu yang berlainan dengan ketentuan-ketentuan yang dianut. 

2. Fundamentalisme negatif, yaitu fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi sebagai sumber dan justifikasi atas kekerasan. Pada mulanya, fundamentalisme dalam tradisi Islam adalah upaya untuk menggali dan bahkan mengembangkan dasar-dasar keagamaan, sebagaimana terdapat dalam khazanah Ushul Fiqih. Bagi mereka yang memahami khazanah Ushul Fiqih dengan baik, maka Islam akan berwajah progresif. Tapi sebaliknya, bagi mereka yang mendekati teks dan doktrin keagamaan tanpa melalui media Ushul Fiqih, maka kemungkinan akan menjadi fundamentalis yang radikal, bahkan teroristik. Dalam hal ini fundamentalisme diartikan sebagai tindakan dalam menghadapi musuh-musuh Tuhan yaitu modernisme dan sekularisme. 

Oleh karena itu, kaum fundamentalisme semacam ini dalam pergerakannya sering menggunakan tindakan kekerasan atau yang lainnya untuk menjadikan apa yang diinginkan tercapai. Dapat dicontohkan bahwasanya orang barat menganggap agama Islam adalah agama yang fundamental dan dalam setiap gerakannya menggunakan kekerasan seperti halnya : Hizbullah, Al-Qaeda, Front Pembela Islam (FPI). Menurut Abdul Muis Naharong, fundamentalisme Islam ada dua bentuk fundamentalisme yaitu : 

a. Fundamentalisme Islam yang moderat dan 

b. Fundamentalisme islam yang radikal. 

Fundamentalisme Islam moderat berupaya mengislamkan masyarakat secara berangsur-angsur (Islamisasi dari bawah), lewat jalur politik dan dakwah. Usaha mereka tidak jarang diiringi dengan melakukan tekanan terhadap pemerintah untuk melakukan Islamisasi dari atas, seperti memasukkan syariat Islam ke dalam Undang-undang dan sebagainya. Sementara itu, fundamentalisme Islam radikal berupaya melakukan Islamisasi dengan menghalalkan cara-cara kekerasan. Mereka terbagi menjadi dua yakni yang berskala Nasional-regional dan yang berskala transnasional-supranasional. 
Fundamentalisme Islam radikal berskala Nasional-regional adalah mereka yang berusaha mendirikan negara Islam dengan cara kekerasan dan syarat utamanya adalah menjatuhkan secara paksa penguasa suatu negara ataupun beberapa negara, kemudian diambil alih dan didirikanlah negara Islam. Sementara itu, fundamentalisme Islam radikal transnasional-supranasional lebih memusatkan perhatian dan kegiatannya dalam memerangi pemerintah yang selalu menekan dan hendak memberantas gerakan Islam di negaranya. Yang mudah dilihat jelas, adalah kebencian anggota kelompok ini kepada negara-negara Barat terutama Amerika Serikat (AS) dan sekutunya yang sering mereka anggap hendak menghancurkan negara Islam dan negara berpenduduk muslim. 
Adapun tokoh yang mempengaruhi gerakan-gerakan fundamentalisme dalam Islam yang pertama kali muncul di wilayah Semenanjung Arabia, ketika masa pra modern ialah Muhammad Abd al-Wahhab (1703-92) yang dikenal dengan gerakan Wahabi. Selanjutnya di masa kontemporer sekarang ini gerakan-gerakan fundamentalis juga banyak bermunculan diantaranya kebangkitan gerakan al-ikhwal al-muslim (IM) yang didirikan di Mesir pada tahun 1928, di bawah pimpinan Hasan al-Banna, yang selanjutnya di gantikan oleh Sayyid al-Quthb. 

C. Faktor-Faktor Gerakan Fundamentalisme 

Fenomena aksi terorisme yang telah menelan korban materi dan ribuan nyawa melayang, yang dilakukan oleh para tokoh fundamentalis, membuat fundamentalisme Islam, yang juga biasa dikenal dengan nama Islamisme, Islam militan, Islam radikal dan Islam politik, dan istilah yang lain yang bermakna serupa dengannya; kembali ramai dan dirasa menarik serta penting untuk dibicarakan.

Padahal, sebelum munculnya fenomena santri (teroris) keblinger ini, fundamentalisme Islam dianggap sudah gagal, misalnya dalam tulisan Ray Takeyh (2001) yang berjudul Islamisme: R.I.P (Rest in Peace), atau Oliver Roy (1994) dalam bukunya The Failure of Political Islam dan sebagainya. Tetapi, sejak munculnya fenomena santri (teroris) keblinger, fundamentalisme Islam dan istilah sejenisnya mengalami apa yang oleh Wolfgang Gunter Lerch (2002) disebut sebagai {Back On the Map}. Maksudnya, fundamentalisme Islam menjadi bahan perhatian dan perbincangan publik di seluruh dunia dan minat publik untuk mengetahui gerakan tersebut kembali meningkat tajam. 
Di sini fundamentalisme dapat diartikan sebagai gerakan yang menuju ke dalam (purifikasy) pemurnian. Dapat diartikan sebagai gerakan yang secara mutlak dilandaskan ajaran agama. Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi adanya gerakan fundamentalisme dikarenakan : 

1. Adanya keinginan dari sekelompok umat untuk melakukan pemurnian (purifikasi) terhadap ajaran agama Islam yang dianggap sudah menyimpang dari sumber aslinya. 

2. Adanya perintah Allah di dalam Al Qur'an (umatan wahidah) untuk menjadikan seluruh umat manusia menuju jalan yang benar. Dalam hal ini Al- Qur’an telah mengatakan bahwa manusia dilahirkan untuk beribadah kepada Allah atau menyembah kepada-Nya. 

3. Arus globalisasi yang tidak terbendung yang tidak terfiltrasi oleh masyarakat sehingga menyebabkan lahirnya perilaku masyarakat yang imoral dan menyimpang dari norma-norma agama. 

4. Kekuasaan despotik pemerintahan yang menyeleweng dari nilai-nilai yang fundamental. 

5. Berkembangnya sains dan teknologi modern yang dianggap menyimpang atau menyeleweng dari aturan yang telah ditetapkan oleh kitab suci. 

6. Adanya penjajahan barat yang serakah, menghancurkan serta sekular justru datang belakangan. 


Agama yang telah mengajarkan tentang tata cara atau aturan untuk hidup yang lebih baik yang menuju ke arah damai dijadikan sebuah kedok untuk menjalankan aksi-aksi teror yang sekarang ini marak-maraknya terjadi. Dari segi arti agama mempunyai tujuan yang mulia, contohnya agama Islam yang mengajarkan keselamatan, agama Kritsten yang mengajarkan kasih sayang dan agama-agama lainnya yang mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat kebaikan. Dalam setiap agama mempunyai aturan-aturan tersendiri yang mengharuskan para penganut agama masing-masing berbuat kebaikan dan menjalankan kebenaran. Terjadinya perkembangan sains atau modernisasi yang menyebabkan berubahnya aturan dalam suatu agama. Dari sinilah kaum fundamentalisme lahir untuk menstabilkan aturan-aturan agama yang telah terkontaminasi oleh modernisasi. 

Seiring dengan perkembangan kapitalisme ke arah kapitalisme lanjut, struktur masyarakatpun kembali mengalami perubahan. Dari masyarakat primitif, masyarakat borjuis-feodal kemasyarakat sekular. Dengan industrialisasi dan urbanisasi serta perkembangan teknologi, secara perlahan-lahan terjadi proses tranformasi sosial. Perubahan ini didorong oleh, di satu sisi, perkembangan teknologi dan peningkatan populasi penduduk di kota-kota besar yang menyebabkan perubahan pola hidup masyarakat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. 

Di sisi lain, sebagai akibat perubahan tersebut, terjadi erosi dan kegoncangan struktur nilai sosial masyarakat, luruhnya ikatan sosial dalam komunitas pedesaan, turunnya status agama dan merebaknya proses sekularisasi serta diabaikannya nilai-nilai moral. Dari sinilah muncul istilah fundamentalisme. 

D. Prinsip Dasar Fundamentalisme 

”Karakteristik fundamentalisme adalah skripturalisme, yakni keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan yang dianggap tanpa kesalahan. Dengan keyakinan itu dikembangkan gagasan dasar bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk literal dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan.” Demikianlah apa yang telah dipaparkan oleh Hamim Ilyas yang mengatakan bahwa fundamentalisme selalu identik dengan penafsiran kitab suci yang secara rigid. Dalam hal ini, Azumardi azra mengklarifikasikan prinsip dasar dari fundamentalisme menjadi 4 ragam prinsip dasar. 

1. Opposionalisme (paham perlawanan), Fundamentalisme dalam agama mana pun mengambil bentuk perlawanan yang bukannya tak sering bersifat radikal terhadap ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama, baik yang berbentuk modernitas, sekularisasi maupun tata nilai Barat. Acuan atau tolok ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tentu saja adalah kitab suci, yang dalam fundamentalisme Islam adalah Al-Quran dan pada batas-batas tertentu juga hadits Nabi. 

2. Penolakan terhadap hermeneutika, Kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal sebagaimana bunyinya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari teks kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam ”kompromi” dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut. 

3. Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme, Bagi kaum fundamentalis, pluralisme merupakan pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. 

4. Penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis, Kaum fundamentalis berpandangan bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Karena itulah, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis ; dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat ”ideal” (seperti pada zaman kaum salaf) yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna. 

Bentuk ideal keagamaan masyarakat dijawab dengan nostalgia sejarah melalui ajakan untuk selalu kembali ke masa lalu. Corak-corak dasar inilah yang membentuk sikap, pola pikir, serta perilaku keberagamaan seseorang. Ajaran agama harus senantiasa menjadi fundamen, dan setiap agama tentulah mensyaratkan hal itu. 

Dalam bahasa Abid al-Jabiri mengatakan ketika upaya kebebasan (Ijtihad) dibekukan dan klaim kebenaran telah final dipetakan, saat itulah fundamentalisme lahir dengan keperkasaan yang dipaksakan. Oleh sebab itu, fundamentalisme yang pada dasarnya bersifat positif lalu bergerak liar secara negative dan destruktif. Ruh agama tak lagi dijadikan kekuatan pembebas yang menjunjung nilai luhur kemanusiaan (humanisme) dalam porsi yang pantas sebaliknya ia justru dijadikan kekuatan penebas yang memenggal paham dan pemikiran yag berbeda dan tak selaras. 

Tepat di arah inilah sebenarnya urat nadi persoalan fundamentalisme agama terterakan. Ketika upaya kebebasan dibekukan dan klaim kebenaran telah final dipetakan, saat itulah fundamentalisme lahir dengan keperkasaan yang dipaksakan. Karakteristik fundamentalisme yang telah mengakar membawa konskuensi logis munculnya doktrin-doktrin yang justru mengekang, menyiksa diri dan membatasi ruang gerak, bukannya membebaskan. Doktrin sentral fundamentalisme adalah Islam kaffah. Dalam doktrin ini Islam tidak hanya diajarkan sebagai sistem agama, tetapi sebagai sistem yang secara total mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. 

Ditambahkan lagi, bahwa ”Akar fundamentalisme yang berasal dari kesalahan menafsirkan teks suci al-Qur’an ternyata benar-benar mencoreng nama Tuhan. Fundamentalisme merupakan gejala tiap agama dan kepercayaan untuk mempresetasikan pemberontakan terhadap moderntas seperti yang dikatakan oleh Karen Amstrong. 

E. Landasan Teologis Fundamentalisme Dalam Islam 

Satu ciri keunikan Islam adalah bahwa semua kelompok yang sangat berbeda sekalipun masing-masing tidak pernah lari dari sumber ajaran Islam (Al Qur’an dan Hadits). Bukan hanya Islam fundamentalis yang mencari rujukan Al Qur’an, tapi juga Islam liberal, bahkan kaum sekuler Islam pun mengklaim punya landasan dalam Al- Qur’an itu sendiri. Tidak sulit menemukan ayat-ayat provokatif yang ada dalam Al- Qur’an yang seakan-akan melegitimasi gerakan fundamentalisme. 


DAFTAR PUSTAKA 

Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992. 

Abdul Muis Naharong, Fundamentalisme Islam, Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No.1 Juli 2005.. 

Oliver Roy, The Failure of Political Islam, The Brown Journal of World Affair, 1999.

Samuel P. Huntington, Authoritarian Politics In Modern Society, Gramedia Pustaka, Jakarta, 1996. 

Yudhie Haryono, Melawan dengan Teks, Yogyakarta ; Resist Book, 2005.
M.‘Âbid al-Jabiri, Dlarurah al-Bahts ‘an Niqath al-Iltiqa li Muwajahah al-Mashir al-Musytarak, dalam Hassan Hanafi & M. ‘Abid Al-Jabiri, Hiwar aL-Masyriq wa al-Maghrib, (Beirut: Muassasah Al-Arabiyyah), 1990. 

Karen Amstrong, The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam. New York: Ballantine, 2000. 

Depag RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Surabaya, al-Hidayah Surabaya, 1998.
Pengantar Studi Islam. IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008. 

Menurut bahasa 

Secara etimologi fundamentalisme berasal dari kata fundamentalis yang artinya hal hal yang mendasar atau asas asas. Sebagai penganut gerakan keagamaan, fundamentalis di artikan sebagai penganut gerakan keagamaan yang kolot dan reaksioner yang memiliki doktrin untuk kembali kepada ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab suci. (latar belakang) 

ð Menurut pendapat para ahli 

Dalam pandangan Gellner, gagasan dasar fundamentasis adalah bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk literal (harfiah) dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan , reinterpretasi dan tanpa pengurangan. Hal senada juga dikemukakan oleh David Ray Griffin, dalam bukunya “god and religion in the modern world”, bahwa fundamentalisme adalah sebuah aliran atau paham yang berpegang teguh pada dasar dasar agama secara ketat melalui penafsiran terhadap kitab suci secara rigid dan literalis. 

Dalam pandangan Habernas fundamentalis adalah sebagai gerakan keagamaan yang memberikan porsi sangat terbatas terhadap akal dan pikiran (rasio) ketika memberikan interpretasi dalam pemahaman terhadap teks teks keagamaan. 

ð Secara historis 

Fundamentalis merupakan atribut yang di berikan kepada sekte protestan yang menganggap injil bersifat absolute dan sempurna dalam arti literal sehingga mempertanyakan satu kata yang ada dalam injil di anggap dosa besar dan tidak terampuni. Fundamentalisme selalu muncul dalam setiap agama besar di dunia. Bahkan menurut Garaudy, fundamentalis tidak hanya sebatas pada agama, tetapi juga pada politik, sosial budaya. Karena baginya fundamentalis adalah suatu pandangan yang di tegakkan atas keyakinan baik bersifat agama, politik, maupun budaya yang di anut pendiri yang menanamkan ajaran ajarannyapada saat paham atau pandangan tersebut menjadi rujukan. (isi) 

Dengan demikian, fundamentalisme dapat disebut sebuah gerakan dalam sebuah aliran atau paham keagamaan yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas. Selain dalam persoalan agama, fundamentalisme terjadi juga pada bidang yang lainnya, seperti fundamentalisme politik, ekonomi dan lainnya. Hanya saja, belakangan, istilah fundamentalisme lebih banyak dan sangat populer dilekatkan pada persoalan keagamaan. Dalam konteks ini, fundamentalis sering diidentikkan kepada mereka yang memahami dasar-dasar keagamaan, dengan orientasi penafsiran yang rigid dan literal. 

Sementara itu, ‘radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada kata “akar” atau mengakar. Perubahan radikal berarti perubahan yang mengakar, karena hal itu menyangkut penggantian dasar-dasar yang berubah tadi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikal diartikan sebagai secara menyeluruh, habis-habisan, amat keras menuntut perubahan, dan maju dalam berpikir atau bertindak. Islam radikal mengandung makna kelompok Islam yang memiliki keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung. (latar belakang) 

Dengan demikian, radikalisme dapat dipahami sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar, fanatik keagamaanya cukup tinggi, tidak jarang penganut paham ini menggunakan kekerasan dalam mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan diyakininya. Kaum radikalis menginginkan adanya perubahan atau pembaruan sosial-keagamaan secara mendasar dengan sistem atau tata nilai baru yang diyakininya. Radikalisme tidak saja berupa paham atau ideologi keagamaan yang bersifat wacana dan pemikiran, pada batas-batas tertentu paham ini dapat menjelma dalam bentuk gerakan dan aksi-aksi di lapangan. 

Berdasarkan uraian di atas dapat disebutkan bahwa fundamentalisme lebih merupakan sebuah keyakinan untuk kembali pada fondasi dan dasar-dasar agama. Hal yang sama dilekatkan pula pada istilah radikalisme. Maknanya bisa positif atau negatif. Ekses negatif yang diakibatkan dari pandangan yang fundamentalis adalah sikap kekerasan dan anarkis. Penyandingan kekerasan dengan radikalisme disebabkan, gejala dalam realitas sosial yang sering nampak. Kelompok radikal sering menggunakan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan-tujuan mereka. Kendati kelompok radikal tidak identik dengan kekerasan. Oleh karena, radikalisme tidak semata-mata pada gerakan atau aksi-aksi, tetapi ia dapat pula dalam bentuk pemikiran atau keyakinan terhadap suatu ideologi. Dalam konteks tertentu, dapat disebutkan bahwa fundamentalisme merupakan spirit pemikiran dan gerakan bagi radikalisme agama. 


Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Istilah fundamentalisme atau radikalisme Islam dalam kajian akademik dapat dipahami sebagai sebuah kesatuan dari berbagai fenomena sosial dan keagamaan. Istilah tersebut lebih tepat digunakan sebagai sebuah titik tolak ketimbang sebagai sebuah julukan atau labelisasi terhadap suatu fenomena keagamaan. Hal ini disebabkan pendefinisian tentang fundamentalisme-radikalisme tidak tunggal dan monolitik, dan pada batas-batas tertentu tidak menggambarkan secara utuh terhadap fenomena yang beragam atas pemikiran dan gerakan-gerakan tersebut. 

Untuk memudahkan identifikasi dan kategorisasi, penyebutan fundamentalis dan radikalisme, pada batas-batas tertentu memungkinkan untuk dintegrasikan. Penyebutan kedua istilah tersebut bisa dilakukan dengan term fundamentalisme-radikalisme. Hal ini karena keduanya memiliki orientasi ideologi yang sama (latar belakang). Kalaupun kemudian ada pembedaan, hal tersebut hanya sebatas bagaimana cara-cara mengaktualisasikan orientasi pemikiran dan ideologinya tersebut. Bahkan dalam Ensiklopedi Tematik dunia Islam, term fundamenalisme dan radikalisme memiliki makna yang sama atau kedua istilah tersebut identik, istilah lainnya yang semakna adalah term islamis. Istilah lainnya yang sering diidentikan dengan fundamentalisme dan terutama radikalisme adalah militanisme dan ekstrimisme. Kedua istilah yang disebutkan terakhir tampaknya lebih tepat dipahami sebagai salah satu ragam dari bentuk fundamentalisme-radikalisme. 

Referensi Makalah

Kepustakaan: 

Longman, Dictionary of Contemporary English, England: Tp.: 1998. Tim Penyusun KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Dikutip Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996. John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Vol. 2, New York: Oxford University Press, 1995. David Ray Griffin, God and Religion in the Modern World, Albany: State University of New York Press, 1989. Jurgen Habermas, Religion and Rasionalty, Massachusetts: The MIT Press, 2002. Roger Schmidt (dkk), Patterns of Religion, United States of America: Wadsworth Publishing Company, 1999. Dawam Raharjo, dalam Muhammad Wahyu Nafis, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Jakarta: Paramadina, 1996. R. Garaudy, Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya, Bandung: Pustaka, 1993. http://oase.trunojoyo.ac.id/index.php/world-overview/35-admin/142-fundamentalisme. Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Taufik Abdullah (et.al), Ensiklopedi Tematik Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005 

Menangkal Fundamentalisme Agama 

Selasa, 21 Mei 2013 | 10:40 

Diskursus seputar fundamentalisme berkedok agama marak terjadi dua dekade terakhir di pelbagai belahan dunia. Fundamentalisme telah menimbulkan kecemasan, bahkan ketakutan, pada hampir tiap orang, lantaran ia dapat menghunus eksistensi individu dan mengusik kehidupan bersama warga, juga masyarakat Indonesia. (latar belakang) 

Sejatinya, istilah fundamentalisme lahir berawal dari konteks reaksioner Kristen Protestan di Amerika Serikat terhadap modernisme pada abad ke-19. Modernisme dipandang membawa dampak negatif bagi penghayatan iman jemaat Kristen Protestan. Karena itu, upaya menangkal ekspansi modernisme dilakukan melalui jalan kembali kepada fundamen (ad fontes) agama, yakni Alkitab dan kebenaran iman. James Barr (1994: 1) menyebutkan tiga karakteristik fundamentalisme Protestan. Pertama, percaya akan ketidaksalahan (inerrancy) Alkitab. Kedua, adanya kebencian yang mendalam terhadap teologi modern serta, metode, hasil, dan dampak studi kritik modern terhadap Alkitab. Ketiga, jaminan kepastian bahwa orang yang tidak menganut pandangan keagamaan mereka sama-sekali bukanlah "Kristen Sejati". 

Senada dengan Barr, Abdul-Rahman Momin (1987) menambahkan bahwa kala itu gereja Kristen Protestan terbelah ke dalam dua kelompok, yakni modernis dan fundamentalis. Kelompok modernis tidak melihat modernisme sebagai hal yang membahayakan. Kelompok ini berusaha mengasimilasikan modernitas ke dalam kitab suci. Di pihak lain, kaum fundamentalis memandang modernitas sebagai kondisi yang mengancam keberadaan agamanya. Kelompok ini berusaha mempertahankan apa yang dianggap sebagai “the total infallibility of the Bible in all matters of faith and doctrine”. 

Fundamentalisme agama telah bersifat transreligions dan transnational (bdk. Armstrong, 2002). Meski tak satu agama pun mengajarkan kekerasaan, praksis fundamentalisme dapat dijumpai pada umat beragama, dan bahkan menyebar di berbagai negara. 

Kini, gerakan fundamentalisme agama mengalami perluasan makna dan dipahami dalam beberapa hal (Jainuri, dkk., 2003: 51-52). Pertama, memiliki prinsip hermeneutika yang berlawanan dengan tradisi yang sedang berlangsung. Mereka melakukan perlawanan secara aktif terhadap kelompok lain yang punya penafsiran berbeda melalui kritik dan protes baik dengan pendekataan persuasif maupun represif. 

Kedua, dari perbedaan hermeneutika tersebut, kaum fundamentalis lantas bersikap eksklusif serta mencurigai eksistensi pihak lain, meski di sisi lain, mereka cukup terbuka berdialog dengan individu atau kelompok lain guna menguji kebenaran pemahamannya. 

Ketiga, kaum fundamentalis meyakini secara sungguh kebenaran yang diimaninya serta berpegang teguh pada kebenaran itu. Keyakinan tersebut disebarkan kepada pihak lain secara masif-agresif, sembari merekrut anggota baru untuk menambah jumlah keanggotaan dan memperkuat barisan fundamentalis. 

Keempat, kaum fundamentalis percaya bahwa jihad merupakan sarana memperoleh keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Karena itu mereka mempertahankan keyakinan secara militan, serta menyelaraskan tindakan seturut keyakinan sempitnya. 

Kelompok Sosial dan Negara
Di Indonesia, gerakan fundamentalisme berkedok agama dipraktikkan secara terbuka oleh kelompok sosial (massa), bahkan negara yang hadir dalam state apparatus-nya. Kelompok sosial tertentu menghalangi pembangunan tempat ibadah, membatasi kebebasan warga dalam mengekspresikan keyakinan dan perusakan sejumlah tempat ibadah. Pengusiran terhadap warga Ahmadiyah, baik di NTB maupun di Cikeusik, Jawa Barat, adalah bentuk konkret ekstremisme warga yang juga merupakan ekspresi kesempitan paradigma berpikir, tafsiran literer biblis yang rigid, sikap ekslusif yang berlebihan, serta berorientasi kepentingan ekonomi-politiknya. Ironisnya, aksi massa mendapat justifikasi oleh para pemegang otoritas agama (Lay, 2009). 

Selain massa, negara melalui para aparaturnya melakukan kekerasan atas warga. Kebijakan-kebijakan negara bersifat diskriminasi terhadap kelompok sosial-agama tertentu. Aparatur negara, entah sadar atau tidak, telah mencederai hak dan martabat warga. Negara terlibat dalam mendiskreditkan eksistensi warga melalui stigmatisasi "sesat" (Ibid.). Terlebih lagi, berhadapan dengan aksi kekerasan massa, negara hanya bersikap netral dan menjadi penonton, tanpa ada keberpihakan tegas pada yang didiskriminasi. Netralitas seperti ini adalah suatu bentuk kejahatan permisif negara atas warganya sendiri yang seharusnya dijaga dan dilindungi. 

Dari “To Have a Religion” Menuju “Being Religious”
YB Mangunwijaya dalam Sastra dan Religiositas (1982: 11-12) menarik demarkasi yang tegas antara agama dan religius. Ia menulis,“Pada awal mula, segala sastra adalah religius." Menarik untuk disimak bahwa dari kutipan tersebut, Mangunwijaya dengan sengaja tidak memakai istilah agama atau religi, tetapi religius atau religiositas. 

Agama bagi Mangunwijaya lebih merujuk pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan, atau kepada “Dunia Atas”. Agama tampil dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan, hukum-hukum, serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab, dan lain-lain, yang mencakup segi-segi kemasyarakatan. Religiositas, di pihak lain, baginya, lebih menunjuk pada aspek lubuk hati, hati nurani pribadi, serta sikap personal yang menampakkan intimitas jiwa. Religiositas mengatasi, atau lebih tinggi tingkatannya daripada agama yang tampak formal. Religiositas bergerak dalam tata paguyuban (gemeinschaft) yang sifatnya lebih intim (Ibid.). 

Dalam terang pemikiran Mangunwijaya, umat beriman tidak bisa berhenti hanya pada memeluk agama. Yang terpenting adalah menjadi religius atau menghidupi religiositas. Aspek yang terakhir itu, hemat Mangunwijaya (Sarapung, Ena, Agoeng, 2004: 14) dirasakan sebagai paling urgen, sehingga pantas untuk didialogkan dan diusahakan di dunia. 

Pengalaman kekerasan atas nama agama di Tanah Air boleh jadi disebabkan karena orang berhenti pada “to have a religion”. Ketika seseorang berhenti pada “to have a religion”, ia hanya bertahan pada aturan-aturan agama yang rigid, melihat agama sebagai organisasi dan bergulat dengan aturan atau hukum agama. Tafsiran terhadap kitab suci pun akhirnya bersifat literer, persis seperti yang dilakukan kaum fundamentalis. 

Karena itu paradigma “to have a religion” harus beralih menuju “being religious”. Ada semangat passing over dalam beriman. Mangunwijaya menekankan pentingnya transformasi mendalam dari manusia agamawan menjadi manusia religius. Manusia religius adalah manusia yang beriman, bertakwa, berpengharapan, manusia yang menghayati cinta kasih, saling menolong, menjunjung tinggi solidaritas, saling menjaga perdamaian di tengah dialektika konflik, dan yang membawa dunia ke arah yang lebih baik (Ibid., hlm. 17). 

Yang religius adalah yang berpihak pada orang lain dalam terang cinta kasih dan solidaritas. Seseorang yang religius tidak memandang sesama sebagai musuh yang harus dijauhi dan patut diwaspadai. Ia merangkul semua orang dengan segala kekuatan dan kelemahan, kemudahan dan kesulitan, keberhasilan dan kegagalan, serta kekayaan dan kemiskinan. Yang religius adalah yang berjuang bersama orang lain untuk membuat dunia menjadi hunian yang layak; yang berjuang mengurangi permusuhan dan kekerasan; yang menciptakan perdamaian diantara umat manusia; yang menjamin kebebasan ekspresi bagi pihak lain. 

Paradigma Pluralis-Dialogal
Selain being religious, paradigma pluralis-dialogal merupakan suatu paradigma ideal bagi kerukunan umat beragama di tengah radikalisme agama. Ia mengakui realitas pluralisme iman dan agama. Paradigma ini berada di antara paradigma inklusifis dan pluralis-indiferen, tapi bedanya bahwa ia tidak indiferen. Sebab, kekhasan tiap agama dan iman mendapat pengakuan yang signifikan (JB Banawiratma, dalam Th. Sumartana, St Sunardi, Farid Wajidi (ed.), 1993: 14-17). 

Pendekatan pluralis-dialogal membuka ruang bagi sumbangan kolaboratif tiap umat beragama terhadap umat beragama lain. Ada upaya saling "berbagi" dan mendengarkan serta membiarkan diri disapa oleh iman dan kehidupan sesama umat beragama. Di dalam dialog kita tidak membuat perbandingan dan evaluasi mana yang paling benar dan mana yang salah. Dialog dalam perspektif ini mengantar kita untuk menempatkan umat beragama dan beriman lain dari perspektif agama dan iman kita. Di dalamnya kita juga menghormati jati diri mereka, tanpa mereduksi mereka pada agama dan iman kita, serta tanpa peleburan yang menghancurkan identitas satu sama lain. Paradigma ini bermanfaat bukan hanya untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama dan beriman, tetapi juga membentuk penghayatan agama dan iman yang lebih mendalam dan bertanggungjawab (Ibid.). 

Dialog ditujukan kepada dua entitas fundamentalis. Pertama, dialog dengan kelompok-kelompok sosial. Tiap umat beragama dan kaum beriman harus keluar dari kerangkeng ketertutupan diri hanya pada agama dan keyakinannya. Ia berusaha membangun dialog dengan agama dan keyakinan orang lain yang berbeda darinya. 

Umat Katolik membangun dialog dengan umat Muslim. Umat Islam membangun komunikasi intens dengan umat Kristen Protestan. Jemaat Protestan meningkatkan dialog dengan Hindu dan Buddha, demikian pula sebaliknya. Semua umat beragama ini pun membangun dialog dengan kelompok yang beraliran kepercayaan berbeda yang tidak diakomodasi oleh negara sebagai agama resmi. 

Selain terhadap kelompok sosial, dialog dilakukan juga terhadap negara. Negara menjadi bagian dari spiral fundamentalisme (ekstremisme) terhadap umat beriman di Tanah Air. Karena itu, perjuangan menolak fundamentalisme negara menjadi proyek bersama seluruh warga negara. Dengan kedua paradigma: being religious dan pluralis-dialogal, diharapkan agar fundamentalisme agama di Indonesia dan ekses-eksesnya dapat diminimalisasi, sehingga Indonesia menjadi hunian yang layak bagi semua warga negara. 

Konteks Historis Fundamentalisme Islam di Indonesia : 

Sejak orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto tumbang oleh gerakan mahasiswa pada tahun 1998, mempunyai pengaruh yang signifikan pada kehidupan beragama di Indonesia. Salah satu perubahan yang tengah mendapatkan perhatian khalayak umum adalah mengenai semakin maraknya gerakan agama yang diindikasikan sebagai gerakan fundamentalis. Perkembangan fundamentalisme Islam di Indonesia telah meruntuhkan pandangan yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo yang menyebutkan bahwa gerakan Islam sudah meninggalkan periode Ideologi sejak tahun 1985. Kaum fundamentalisme yang berkembang di Indonesia mencoba untuk menawarkan Islam sebagai ideology alternative, dan mencoba mengusung semua label Islam dalam setiap tindakan dan aksinya. 

Islam di Indonesia dapat dikategorikan sebagai Islam pinggiran secara geografis. Dengan pemeluk agama terbesar, Islam akhirnya mempunyai pengaruh yang sangat besar didalam setiap kehidupan masyarakat dan negara. Dalam perkembangannya pula, variasi Islam muncul seiring dengan penggunaan budaya sebagai alat penyebarannya. Proses perkembangan yang berjalan seiring dengan perkembangan budaya tidak dapat dihindarkan bersamaan dengan proses modernisasi. Seringkali proses-proses perkembangan Islam dalam masyarakat memunculkan konflik dan pertarungan wacana untuk dapat memperebutkan pengaruh dalam penyebaran ide dari variasi Islam yang beragam. Proses ini pula yang telah melahirkan organisasi keagamaan dikalangan umat Islam pada abad ke-20 seperti Muhammadiyah, Persis, NU, Al-Irsyad dan munculnya kelompok-kelmpok fundamentalis[1]. 

Munculnya beberapa gerakan fundamentalisme dapat dilihat dari penelitian Yusril Ihza Mahendra yang bertitik tolak pada perspektif sosiologis mengenai fundamentalisme[2]. Dalam penelitian tersebut digambarkan mengenai institusi politik yang menjadi pengaruh fundamentalisme dan modernisme yaitu Masyumi di Indonesia dan Jama’ati Islam di Pakistan. Dengan menggunakan prespektif bahwa fundamentalisme dan modernisme bukan sekedar sebagai aliran keagamaan namun juga sebagai aliran politik. 

Perubahan iklim politik di Indonesia pada tahun 1998 sangat berpengaruh terhadap munculnya organisasi keagamaan lain selain NU dan Muhammadiyah. Terdapat dua fenomena yang sangat mencolok; pertama, semakin menguatnya identitas dan gerakan kelompok keagamaan di luar mainstream kelompok keagamaan dalam masyarakat Islam di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah. Kedua, ditandai dengan munculnya sejumlah parpol keagamaan.[3] . 

Pada masa Orde baru upaya penciptaan stabilitas dalam proses pembangunan telah mempengaruhi kehidupan beragama. Sikap pemerintah yang otoriter telah memberangus semua kegiatan beragama dan tidak memberikan celah sedikitpun untuk menunjukkan peran kelompok beragama dalam masyarakat. Setelah runtuhnya orde baru kesempatan untuk mengembangkan ide dan menerapkannya dalam bentuk gerakan mulai ditunjukkan. Fenomena Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan Sweeping terhadap minuman keras dan kegiatan yang mereka pandang sebagai kegiatan orang jahiliyah (Minum-minuman keras, judi, Pelacuran) dapat dilakukan. Selain itu juga muncul dan berkembang kegiatan keagamaan lain seperti laskar jihad, HAMMAS, Hizb-Al Tahrir Indonesia dan lainnya. 

Dalam wilayah politik, runtuhnya orde baru semakin memperkuat identitas keagamaan dengan munculnya banyak partai politik Islam seperti; Partai kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 

Di tengah-tengah berlangsungnya perubahan politik, masyarakat Islam merupakan salah satu kelompok yang artikulatif dengan munculnya berbagai macam variasi partai politik Islam yang menggunakan identitas keagamaan. Keterlibatan umat Islam dalam politik tidaklah mengejutkan karena dalam pola berpikir kelompok mayoritas di Indonesia ini melekat kuat keyakinan mengenai Islam sebagai agama public (public Religion yang menempatkan agama dalam wilayah politik, disamping keyakinan sebagai agama privat (privat Religion)[4]. Dengan keyakinan seperti itu akhirnya sebagian umat Islam kemudian berhati-hati terhadap adanya sekularisasi. 

Sekuler Dalam Beberapa Perspektif : 

Dalam bukunya yang berjudul “Menentang Negara Sekuler: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius”, Jurgensmeyer menggambarkan adanya sebuah kebangkitan Islam. Dalam penelitiannya mengenai negara Sri lanka, India, Mesir, Israel dan Mongolia, dimana gerakan-gerakan nasionalisme muncul dan mencoba untuk mengembangkan diri. Kebangkitan Nasionalisme religius atau yang dinamakan dengan etno-religius dilator belakangi oleh adanya kegagalan nasionalisme sekuler yang di ambil dari negara Barat sebagai paradigma dalam politik yang berupaya untuk memisahkan agama dengan politik sehingga dapat menghapuskan adanya loyalitas-loyalitas keagamaan untuk tujuan politik tertentu. Dengan cara demikian, maka loyalitas yang terbangun melalui landasan keagmaan tergantikan dengan loyalitas individu sebagai loyalitas tertinggi kepada negara-bangsa. Dengan demikian kekuatan politik yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan komunitas tradisional memudar. Ikatan-ikatan emosional yang terbangun berdasarkan kesamaan agama digantikan dengan ikatan emosional yang berdasarkan pada wilayah suatu negara-bangsa. Dalam pandangan Jurgensmeyer mengenai nasionalisme sekuler, agama sengaja direduksi dengan pertimbangan untuk mengurangi peran agama dalam hal ini loyalitas agama dalam wilayah politik. 

Dibeberapa negara yang diteliti oleh Jurgensmeyer tidak semuanya melaksanakan nasionalisme religius, salah satu kelompok yang menentang adalah tokoh agama. Bagi kalangan ini nasionalisme-sekuler dipandang betanggungjawab terhadap terjadinya kemerosotan moral dinegara mereka. Sri lanka merupakan negara yang merasakan akibat buruknya penerapan nasionalisme-sekuler . Setelah penerapan konsep nasionalisme sekuler tindakan dan praktik a-moral seperti perjudian, minum-minuman alcohol dan penyembelihan hewan semakin marak. Dikawasan Irak, nasionalisme-sekuler dipandang sebagai konspirasi Barat untuk menentang agama. Ketidak puasan terhadap nasionalisme sekuler telah membangkitkan semangat untuk menggunakan agama sebagai ideology politik di beberapa negara di dunia ketiga. Gerakan seperti ini dapat dinamakan sebagai fundamentalisme atau radikalisme. Pemahaman dari gerakan keagamaan seperti ini lebih didasarkan pada teks agama dengan menolak segala penafsiran yang bersifat rasional (aqliyah) yang dipandang dapat mengurangi kemutlakan yang ada dalam teks tersebut. 

Kebangkitan Islam di Indonesia dimulai dengan bangkitnya Islam liberal (neo intelektualisme Islam) yang dimotori oleh kaum intelektual muda Islam salah satu pelopornya adalah Nurcholis Madjid. Nurcholis Madjid merekomendasikan tiga pemikiran Islam antara lain: Sekulerisasi: dalam hal ini Nurcholis Madjid membedakan antara sekulerisme dengan sekulerisasi. Sekulerisme adalah nama ideology yang tertutup. Sedangkan Sekulerisasi merupakan bentuk menduniawikan nilai-nilai yang semestinya berifat duniawi,dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya. Sehingga sekulerisasi menurut pandangan Nurcholis Madjid lebih sebagai upaya untuk memantapkan tugas manusia sebagai khalifah allah di bumi[5]. Hal penting kedua yaitu Kebebasan berfikir; Yang dimaksud dengan kebebasan berfikir disini adalah kesediaan umat islam untuk mengkritik pemikiran lama dan berupaya untuk memperbaharuinya agar sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang. Yang ketiga adalah sikap terbuka; Kesedian mendengar dan menerima ide-ide kemanusiaan dengan spectrum seluas mungkin, kemudian memilih mana yang menurut ukuran –ukuran obyektif mengandung kebenaran[6]. 

Adanya gagasan yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid telah membuktikan bahwa telah muncul pembaharuan Islam melalui intelektual. Disamping gerakan intelektualitas, muncul juga gerakan radikal yang mengatas namakan agama dan melakukan kegiatan oposisi terhadap pemerintah serta melakukan tindakan aksi kekerasan. Fenomena ini mengakibatkan pemerintah lebih bersifat represif terhadap semua kegiatan keagamaan dengan slogan untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara. Pola inilah yang mengakibatkan umat Islam trauma dan sakit hati serta terpinggirkan dalam arena politik. Hubungan antara negara dan umat Islam justru semakin berkembang dan memunculkan sikap kritis sejak rezim Soeharto Jatuh. Seiring dengan itu berkembang pula kelompok keagamaan yang bersifat fundamentalis. 

Agama Sebagai Ideologi 

Pada dasarnya ideology menjadi sebuah pertanyaan penting bagi setiap perubahan yang ada dalam masyarakat disebabkan karena adanya pengaruh ataupun kepercayaan satu pihak ke pihak lain dalam dimensi waktu dan tempat tertentu. Dan hampir pada setiap kehidupan masyarakat modern, akan dipengaruhi oleh ideology. Ideologi berkaitan pula dengan bagaimana seseorang merespon pengaruh pihak lain melalui emosi dan intelektualitasnya[7]. Cara yang paling jelas dalam mengidentifikasi suatu ideology adalah dengan cara penggunaan bahasa secara umum atau melalui penggunaan kata-kata khusus[8]. 

Permasalahan yang menjadi isu penting dalam membahas ideology adalah sejauh mana ideology dapat berpengaruh dalam kenyataan praktis. Hal yang sangat mungkin muncul dalam praktek politik sehari-hari adalah ketika ideology ini digunakan sebagai alat bagi pengabsahan dari pimpinan-pimpinan partai atau politisi pada umumnya dalam memperkuat posisi dalam tindakan-tindakannya dimata lingkungan politiknya[9]. 

Dalam gerakan social keagamaan jelas membutuhkan adanya ideology. Dalam konteks agama Islam secara nyata telah menempatkan ideology sebagai sebuah kebutuhan dan sebagai implikasi untuk meneguhkan identitas. Ideologi juga digunakan sebagai titik tolak untuk melakukan perubahan. Ada empat ketegori ideology yang dikemukakan oleh Dekmejian ; pertama; Gradual adaptasionis, yang berorientasi pada Ihkwanul Muslimin dengan memiliki cara-cara bertahap yang mendorong pelaksanaan syariat islam oleh negara. Kedua; Syi’ah revolusioner, yang merujuk pada keberhasilan syi’ah di Iran yang berhasil menggerakkan revolusi untuk menggulingkan shah Iran karena kekuatan militernya. Namun pola ini dipandang oleh kelompok agama telah memunculkan sekulerisasi. Ketiga; Sunni Revolusioner, Yang dirintis oleh imam-imam besar dari golongan Sunni yang mempunyai komitmen terhadap pembaharuan umat dengan kembali keakar-akar Islam. Keempat; mesianis primitive; gerakan yang lebih puritan dengan mencontohkan kehidupan Nabi dan bentuk kehidupan komunitas Islam pertama serta menentang berbagai macam bentuk inovasi dan usaha-usaha untuk beradaptasi dengan kondisi-kondisi modern[10]


Fundamentalisme Agama 

Fenomena terorisme pada tanggal 11 September 2001 yang telah mengahancurkan WTC (World Trade Center) di New York, Amerika Serikat dan fenomena Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 di Bali serta JW. Marriot telah memunculkan kembali fundamentalisme sebagai wacana public. Fundamentalisme bukanlah fenomena yang berkembang hanya pada komunitas agama tertentu dalam hal ini Islam. Keberadaan fundamentalisme telah berkembang dalam bentuk trans nasional karena telah banyak dijumpai dibeberapa negara. Ciri yang paling menonjol dari gerakan fundamentalisme adalah pemahaman yang tekstual terhadap teks-teks agama dan pandangan yang negative terhadap kemajuan (modern). Segala bentuk penafsiran terhadap teks-teks agama dipandang dapat mereduksi ajaran fundamental agama. 

Dalam gerakan yang bersifat fundamentalis ditandai oleh lima Jenis perlawanan ; Pertama: melawan kembali kelompok-kelompok yang mengancam keberadaan dan identitas. Kedua, Berjuang untuk menegakkan cita-cita yang mencakup persoalan hidup secara umum seperti keluarga atau institusi social lain. Ketiga, berjuang dengan kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu maupun kosntruksi baru. Keempat, berjuang melawan musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata social keagamaan yang dipandang menyimpang. Kelima, Berjuang atas nama Tuhan atau ide-ide lain[11]. Karakteristik fundamentalis tersebut telah memunculkan ketakutan masyarakat. Karena adanya kecenderungan kuat pada gerakan fundamentalis untuk menggunakan cara-cara kekerasan dalam mencapai target. 

Dari sisi sosiologi, fundamentalisme dapat dipahami sebagai gerakan social yang muncul berdasarkan ideology tertentu yang dipakai oleh kelompok untuk melaksanakan tindakan dan mencapai target yang diinginkan. Gerakan fundamentalisme mempunyai ideology yang mencakup dua hal; 1) sejarah penyelamatan dan 2) kritik social[12]. Sebagai gerakan social, kritik merupakan alat bagi mereka untuk menentang hal-hal ataupun tindakan yang mereka pandang tidak sesuai dengan teks agama, sehingga kelompok fundamentalis cenderung memberikan solusi yang bersifat ideal berdasarkan pengalaman sejarah keagamaan pada masa lalu. 

Fundamentalisme Islam muncul bukan tanpa sebab, secara sosiologis factor struktur social, psikologi social mempunyai peran yang sangat menentukan. Faktor struktur social terkait dengan permasalahan ekonomi, keluarga ataupun kelompok kecil. Sedangkan factor psikologis social berkaitan dengan nilai-nilai sebagai suatu kebutuhan dalam diri seseorang serta motivasi pribadi yang membangun karakter seseorang dan mendorongnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu. 

Dengan karakteristik dan sebab kemunculannya, maka kelompok fundamentalis cenderung berupaya untuk menentang semua ide-ide yang mereka pandang tidak mencerminkan keidealan seperti yang tertuang dalam teks agama, khususnya Islam. Permasalahan fundamentalisme di Indonesia sebagai contoh dapat dilihat dari gerakan Hizb-Al tahrir. HTI merupakan contoh kelompok fundamentalisme yang ada di Indonesia. Secara histories HT di didrikan oleh An-Nabhani di negara Jerussalem pada tahun 1953 dengan mendirikan partai politik yang diberi nama Hizb Al-Tahrir al- Islami. Al-Nabhani menawarkan ideology Islam sebagai satu-satunya yang membangun partai HT. Ideologi Islam dalam hal ini juga dipahami sebagai pemikiran Islam atau (Fikrah Islam). HT mendasarkan partainya pada sumber legitimasi Islam. Dimana Islam dipahami tidak hanya sebagai agama yang mengurusi masalah spiritual namun juga masalah-masalah social. Sehingga memunculkan pernyataan bahwa Islam adalah agama dan Ideologi. 

Dari pemaparan diatas telah jelas bahwa gerakan-gerakan fundamentalis yang dicontohkan dengan HTI tersebut akan menolak paham sekuler yang mencoba untuk memisahkan kehidupan agama dan negara. Uraian penyatuan Islam sebagai agama dan ideology mempertegas tidak adanya ruang ataupun toleransi bagi penterjemahan sekuler dalam makna kehidupan beragama. Apapun yang menjadi alasan pemberlakuan sekuler, baik sebagai paham maupun sebaagai proses tidak akan mendapatkan tempat bagi kaum fundamentalis. 


DAFTAR PUSTAKA 

Arifin, Syamsul, Ideologi dan Praksis Gerakan social Kaum Fundamentalis, Malang, UMM Press,2005. 

Jurgensmeyer, Menentang Negara Sekuler: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius, bandung,Mizan, 1998 

Kuntowijowo,Dr, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung, Mizan, 1994 

Yusanto, Ismail, Islam Ideologi,Bangil, Al-Izzah, 1998 


[1] Kelompok Fundamentalis dapat dimaknai sebagai kelompok Islam yang mempunyai ideology dan pengaruh yang sinifikan . 

[2] Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi(Indonesia) dan Partai Jama’ati Islam (Pakistan) Jakarta: Paramadina, 1999 

[3] Ideologi dan praksis, Gerakan Islam Fundamentalis; Pengalaman Hizb- Al Tahrir Indonesia, UUM Press, 2005 

[4] Loc cit hal.19 

[5] Fngsi sebagai khalifah Allah yaitu dengan membe 

rikan ruang bagi kebebasan manusia untuk memilih tindakan dan cara-caranya sendiri didalam meningkatkan hidupnya di dunia dan memberikan pembenaran atas tanggungjawab manusia atas perbuatan-perbuatannya dihadapan Allah. 

[6] Ibid. Hal. 33 

[7] Deden Faturrahman, Pengantar Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang press, 2002. 

[8] Ibid, hal 45 

[9] Ibid, hal 49 

[10] Loc.cit. hal 50 

[11] Ibid. hal. 56 

[12] Pandangan Martin Risebort dalam buku Syamsul Arifin: Ideologi dan Praksisi gerakan kaum fundamentalis 

0 Response to "Fundamentalisme Dalam Islam"

Post a Comment