2.1 Kerajaan jeumpa
Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya. Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang paling jelas adalah Bireuen, yang artinya kemenangan, sama dengan makna Jayakarta, asal nama Jakarta yang didirikan Fatahillah, yang dalam bahasa Arab semakna, Fath mubin, kemenangan yang nyata.
Karena letak gegrafisnya yang sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab. Hadirnya pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan seperti Barus, Fansur, Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan telah melambungkan wilayah asalnya dalam jejaran kota pertumbuhan peradaban dunia. ”Kafur Barus”, ”Kafur Fansur”, ”Kafur Barus min Fansur” yang telah menjadi idiom kemewahan para Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia dan lainnya.
Hadirnya komuditas unggulan ini telah melahirkan berbagai teknologi pengolahan dalam penangannya. Tentu hal ini mengakibatkan hadirnya para pakar ke kota penghasil kafur dan membuat komunitas baru sesuai dengan peran masing-masing. Itulah sebabnya wajah orang Aceh berbeda dengan wajah orang Jawa, Makassar ataupun Melayu. Wajah mereka lebih kosmopolit yang merupakan perpaduan dari keturunan Arab, Cina, India, Parsi dan tentunya Eropa. Dan perpaduan ini telah berjalan berabad-abad sebelum kedatangan Islam di wilayah ini.
Baca : Kerajaan Mataram Kuno
Sehubungan dengan penyebaran Islam, tentu perkampungan para keturunan Arab lebih dominan, relatif lebih mudah dalam menerima kedatangan Islam, dengan beberapa alasan, dengan demikian, tidak diragukan bahwa Islam telah tumbuh berkembang di Aceh, terutama di pesisirnya bersamaan dengan perkembangannya di semenanjung Arabia dan Parsia. Penyiaran ini utamanya dilakukan para pedagang Muslim asal Aceh yang bergagang ke Arab, ataupun pedagang Arab, Persia, India, Cina atau lainnya yang memang telah hilir mudik antara Dunia Arab Mesir sampai ke Tiongkok Cina melalui sebuah daerah yang oleh Claudius Ptolemaeus, disebut bernama ”Barousai”, yang tidak diragukan maksudnya adalah Barus di dekat Lamuri wilayah Aceh.
Penyebaran Islam juga dilakukan oleh para diplomat yang di utus para Khalifah yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad, terutama di zaman Khalifah Umar bin Khattab yang terbukti telah mengutus beberapa orang shahabat ke Cina yang meninggal di sana. Cina menjadi salah satu tujuan dakwah Islam, karena pada masa itu Cina sudah menjadi salah satu Kerajaan besar. Tentu sebelum sampai ke Cina, para diplomat itu akan singgah di sekitar pesisir pantai Sumatra dan mencari perkampungan Arab dengan komunitasnya.
Bukti-bukti ilmiah telah ditemukan bahwa perdagangan antara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat atau ”jalur sutra” (silk road), terbentang dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur menghubungkan Cina, India, Persia, Arab dengan Eropa, adalah jalur tertua yang di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Nusantara, melalui Selat Malaka (Fansur) ke India; selanjutnya ke Laut Tengah dan Eropa, ada pula jalur yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Fansur (Sumatra) sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi.
Gangguan-gangguan keamanan sering terjadi pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka/Fansur) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya, pedagang-pedagang Fansur atau Nusantara telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina, dan pantai timur Afrika.
Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.
Maka berdasarkan fakta sejarah ini pulalah, keberadaan Kerajaan Jeumpa Aceh yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Masehi dan berada disekitar Kabupaten Bireuen sekarang menjadi sangat logis. Sebagaimana kerajaan-kerajaan purba pra-Islam yang banyak terdapat di sekitar pulau Sumatra, Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin banyak akibat ramainya perdagangan dan memiliki daya tarik bagi kota persinggahan. Melihat topografinya, Kuala Jeumpa sebagai kota pelabuhan memang tempat yang indah dan sesuai untuk peristirahatan setelah melalui perjalanan panjang.
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar).
Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.
Menurut legenda yang berkembang di sekitar Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya. Sekitar awal abad ke 8 Masehi datanglah seorang pemuda tampan bernama Abdullah yang memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang (Parsi ?) untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan puteri Raja, dan Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama ”Champia”, yang artinya harum, wangi dan semerbak.
Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi. Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam.
saat ini, belum ditemukan silsilah keturunan Pengeran Salman ke atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw atau murni keturunan raja-raja Parsia yang telah memeluk Islam. Karena di silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu tidak disebutkan asal keturunannya. Namun menurut pengamatan pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, beliau adalah termasuk keturunan Sayyidina Husein ra.
Terlepas dari perbedaan nama Raja pertama dari Kerajaan Islam Jeumpa tersebut, apakah Raja Abdullah atau Raja Salman, atau memang beliau menggunakan dua nama akibat menghindar dari kejaran para Penguasa Parsia yang sedang memburu pelarian keturunan Nabi, atau memang Pangeran Salman adalah bapak daripada Raja Abdullah, namun yang penting disepakati bahwa Islam telah bertapak di Kerajaan Jeumpa yang dipimpin oleh seorang Raja Muslim dan memiliki rakyat yang Muslim juga. Ini artinya Islam sudah mulai tersebar pada awal abad ke 8 atau sekitar tahun 150an Hijriah di wilayah Aceh dan memiliki hubungan dengan wilayah Islam lainnya. Hal ini jelas bertentangan dengan teori yang berkembang selama ini bahwa Islam masuk ke Aceh pada abad ke 12 Masehi dan Kerajaan Pasai adalah Kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang pesat menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan dan pengalaman Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di Kerajaan maju dan besar seperti Persia yang telah mendapat pendidikan khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam, tentu telah mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra.
Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri lainnya, terutama Arab dan Cina. Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang paling jelas adalah Bireuen, yang artinya kemenangan, sama dengan makna Jayakarta, asal nama Jakarta yang didirikan Fatahillah, yang dalam bahasa Arab semakna, Fath mubin, kemenangan yang nyata.
Namun dalam perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang. Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, cicit kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Melalui jalur perkawinan ini, hubungan erat terbina antara Kerajaan Islam Jeumpa dengan Kerajaan Islam Perlak. Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.
Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit misalnya. Di kisahkan bahwa Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut pendapat Raffless berada di wilayah Aceh dan bukan di Kamboja sebagaimana difahami selama ini.
Puteri cantik jelita yang terkenal dengan nama Puteri Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah seorang Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan dari pemimpin para Wali di Jawa, Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim. Mereka adalah para Wali keturunan Nabi Muhammad yang dilahirkan, dibesarkan dan dididik di wilayah Aceh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah, Pattani dan sekitarnya. Dan merekalah konseptor penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan gerakannya yang terkenal dengan sebutan Wali Songo atau Wali Sembilan. Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Aceh dengan Raja terakhir Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan dibesarkan oleh para Wali, yang selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada Kerajaan Islam Demak, yang ketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kehadiran Kerajaan Islam Demak inilah yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantara pun berpindah ke wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.
2.2 Kerajaan Parlak
Perlak merupakan sebuah daerah di pesisir timur daerah Aceh. Sebagaimana yang disebutkan dalam banyak sumber, bahwa Raja dan rakyat daerah negeri Perlak adalah keturunan dari Meurah Perlak Syahir Nuwi dan keturunan pasukan-pasukan pengikutnya. Naskah-naskah tua yang dijadikan sebagai rujukan tentag keberadaan Kerajaan Perlak ada tiga yaitu, Mamlakatil Ferlah wal Fasi karangan Abu Ishaq Makarani Al Fasy, Kitab Tazkirah Thabakat Jummu Sulthan as Shalatin karangan Syekh Syamsul, dan Silsilah Raja-Raja Perlak dan Pasai karanga Bahri Abdullah as Asyi. Selain itu, ditemukan juga dalam catatan Marcopolo. Buku Zhufan Zhi yang ditulis Zhao Rugua tahun 1225 mengutip catatan seorang ahli geografi Chou Ku-fei bahwa ada negeri orang Islam yag jaraknya hanya lima hari pelayaran dari Jawa. Dan ada kepastian bahwa negeri yang dimaksud oleh Chou Ku-fei itu adalah Perlak. Ini karena dia menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunei memakan waktu 15 hari.
Menurut buku Gerak Kebangkitan Aceh karangan M. Junus Jamil, agama Islam yang mula-mula masuk ke Aceh adalah Islam yang beraliran Syiah. Setelah Islam berkembang, berdirilah sebuah kerajaan Islam di daerah ini sekitar tahun 840 M. Kerajaan yang telah didirikan itu hidup subur da menjalar luas melalui dinasti raja-rajanya. Pada hari peresmian berdirinya Kerajaan Islam itu, Bandar Perlak ditukar namanya menjadi Bandar Khalifah.
Raja pertama Perlak bernama Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah menganut aliran Syiah. Pada masa Sultan ketiga Sultan Sayyid Maulana Abbas Syah aliran Ahlus Sunnah masuk ke Perlak. Hal ini menyebabkan terjadinya perang saudara antara Syiah dan Sunni, sehingga dalam jangka waktu dua tahun, Kerajaan Perlak tidak memiliki Sultan. Karena golongan Syiah mengalami kekalahan, maka yang menjadi sultan selanjutnya berasal dari golongan Sunni.
Adapun kemudian, pada masa pemerintahan Sultan yang ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, kerajaan Perlak terbagi dua, bagia pesisir didomisili oleh golongan Syiah dan bagian pedalaman didomisili oleh golongan Sunni. Hal ini tidak bertahan lama, karena pada sultan yang selanjutnya kerajaan Perlak kembali di bawah satu pemerintahan yaitu dari golongan Sunni. Penyebab utamannya karena pada saat ini Sriwijaya menyerang kerajaan Perlak sehingga sultan mangkat. Selanjutnya, pemerintahan kerajaan Perlak berjalan damai sampai akhirya pada masa Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat kerajaan Perlak berakhir dan bersatu dengan kerajaan Samudera Pasai sekitar tahun 1295.
Adapun Raja-Raja yang memerintah di Kerajaan Perlak adalah:
A. Dinasti Saiyyid Maulana
1. Sultan Alaiddin Saiyyid Maulana Abdul Aziz Syah (840-864)
2. Sultan Alaiddin Saiyyid Maulana Abdur Rahim Syah (864-888)
3. Sultan Alaiddin Saiyyid Maulana Abbas Syah (888-913)
4. Sultan Alaiddin Saiyyid Maulana Ali Mughayah Syah (915-918)
B. Dinasti Makhdum Johan Berdaulat
1. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat (918-922)
2. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (922-946)
3. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Joha Berdaulat (946-973)
4. a. Sultan Alaiddin Saiyyid Maulana Mahmud Syah (976-988)
b. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (976 1012)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat (1012-1059)
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat (1059-1078)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat (1078-1108)
8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat (1108-1134)
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah II Johan Berdaulat (1134- 1158)
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Syah Johan Berdaulat (1158-1170)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah Johan Berdaulat (1170- 1196)
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Jalil Syah Johan Berdaulat (1196- 1225)
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Amin Syah II Johan Berdaulat (1225-1263)
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (1263-1292)
2.3 Kerajaan Samudra Pasai
Secara geografis, letak Samudera Pasai berada di daerah timur Pulau Sumatera bagian utara yang berdekatan dengan jalur perdagangan-perdagangan internasional, Selat Malaka. Berdasarkan hikayat Raja-Raja Pasai, diceritkan tentang pendirian Pasai oleh Meurah Silu, setelah sebelumnya ia menyingkirkan seorang Raja yang bernama Sultan Malik al Nasser. Meurah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dega Samerlanga kemudian setelah naik tahta, beliau bergelar Sultan Malikul Saleh. Dia mangkat pada tahun 1297 M.
Dalam hikayat Raja-Raja Pasai maupun Sulalatus Salatin, nama Pasai da Samudera dipisahkan merujuk pada dua kawasan berbeda, namun dalam catatan Tiongkok, nama-nama itu tidak dipisahkan sama sekali. Sementara Marcopolo dalam lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).
Baca : Sejarah Kerajaan Makassar
Pemerintahan Sultan Malikul Saleh kemudian dilajutkan oleh putraya Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uag telah diperkenalkan di pasai. Setelah dia mangkat, dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik az-Zahirndan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya inilah Pasai dikunjungi oleh seorang pengembara dari Timur Tengah Ibnu Batuttah yang kemudia menceritkan sultan dari negeri Samatrah (Samudera) menyambutya dengan ramah dan mayoritas penduduk disana menganut mazhab Syafi’i.
0 Response to "Hubungan Kerajaan Jeumpa dan Parlak dengan Samudra Pasai"
Post a Comment