Peran Kerajaan Demak dalam Islamisasi Nusantara



2.1 Letak dan Kondisi Geografis Demak 

Secara geografis letak kerajaan Demak saat ini berada di daerah Jawa Tengah, jaraknya lebih kurang 30 km dari bibir laut Jawa. Demak dahulu terletak di tepi laut, atau lebih tepatnya berada di tepi Selat Silugangga yang memisahkan Pulau Muria dengan Jawa Tengah. Kawasan tersebut pada waktu itu berada di dekat Sungai Tuntang yang sumbernya berasal dari Rawa Pening. Sebelumnya selat Muria cukup lebar untuk dapat dilewati sebuah kapal dagang. Sehingga ketika itu banyak kapal dagang dari Semarang melewati selat ini sebagai jalan pintas menuju Rembang.

Seperti tanah di Jawa pada umumnya yang subur, tanah di wilayah Demak juga demikian. Demak Bintoro telah menjadi gudang padi dari tlatah pertanian di tepi selat tersebut. Kota Juwana merupakan pusat seperti itu bagi tlatah tersebut pada sekitar tahun 1500. Demak Bintoro menjadi pejabat tunggal di sebelah selatan Pegunungan Muria.[1]

Sedangkan H.J. De Graaf juga menulis bahwa letak Demak cukup menguntungkan bagi kegiatan perdagangan maupun pertanian. Hal ini disebabkan karena selat yang ada di depannya cukup lebar sehingga perahu dari Semarang yang akan menuju Rembang dapat berlayar dengan bebas melalui Demak. Namun setelah abad XVII Selat Muria tidak dapat dipakai lagi sepanjang tahun karena pendangkalan. 

Di sisi lain Demak juga bekerja sama dengan Jepara dengan menjadikannya sebagai pelabuhan utama Demak Bintoro, dengan alasan Jepara mempunyai pelabuhan yang aman yang terlindungi oleh tiga pulau kecil dan letak pelabuhan Jepara yang juga sangat menguntungkan sebagai tempat transit kapal-kapal dagang dari Maluku yang akan menuju wilayah Kepulauan Nusantara di bagian barat. Dan keputusan Demak ini pada masa-masa sesudahnya terbukti sangat jitu karena Selat Muria pada akhirnya akan menjadi dangkal karena endapan lumpur. 

Selain berhubungan dengan dunia luar lewat pelabuhan Jepara, Demak juga membuka hubungan dengan wilayah lainnya yang berada di pedalaman sebelah selatan Jawa melalui sungai Serang dan sungai Lusi yang berhulu pada Pegunungan Kapur Tengah, dan tepat di sebelah selatan Pegunungan Kapur Tengah terdapat wilayah yang juga memiliki kedudukan penting waktu itu, Pajang dan Pengging. Kedua sungai tersebut bisa digunakan sebagai lalu lintas perahu-perahu kecil. Sedangkan untuk jalaur darat Demak bisa terhubung dengan daerah lainnya dengan pedati. Selain itu Demak juga bisa terhubung dengan daerah selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur lewat sungai Bengawan Solo yang airnya bermuara di daerah Surabaya. 

2.2 Sejarah Runtuhnya Majapahit dan Berdirinya Demak 

A. Keruntuhan Majapahit 

Kemunculan Demak sebagai kekuatan ekonomi, politik dan keagamaan berdiri di atas kerajaan Hindu Majapahit yang sudah tua dan keropos. Karenanya, penjelasan tentang kemunculan Demak tidak mungkin dilakukan tanpa menganalisis terlebih dahulu faktor-faktor internal yang menyebabkan kemerosotan kerajaan tua yang di masa lalu pernah begitu disegani di seantero Nusantara. 

Menurut Lombard, di masa jayanya, Majapahit ditandai oleh hubungan-hubungan sosial agraris yang bersifat terpusat, di mana raja berdiri di urutan piramida paling atas. Kekuasaan raja ini sangat kuat karena mendapat legitimasi religius dari para agamawan. Sebagai imbalannya, raja memberikan tanah garapan yang tidak dikenai pajak kerajaan. Selain itu, para agamawan juga berperan sebagai pejabat administrasi kerajaan.[2]

Adapun upaya untuk mencegah pembangkangan para penguasa lokal, raja di pusat kekuasaan menggunakan dua cara. Pertama, politik perkawinan. Para penguasa lokal tersebut dikawinkan dengan keluarga raja, atau sebaliknya raja mempersitri salah seorang keluarga dari penguasa lokal, sehingga antara penguasa pusat dan daerah terikat oleh hubungan keluarga. Kedua, para penguasa lokal diwajibkan untuk menetap di ibu kota kerajaan selama tiga bulan dalam setahun. Jika penguasa lokal tersebut kembali ke tempatnya masing-masing, maka ia harus meninggalkan salah seorang keluarga pentingnya di istana raja yang bisa dikatakan sebagai sandera. 

Kondisi-kondisi sosial seperti ini kemudian sudah tidak tampak lagi menjelang keruntuhan Majapahit. Kaum agamawan sudah menjauh dari raja dan melakukan pembukaan tanah sendiri. Juga muncul kalangan “swasta“ dengan peranan sangat besar yang terdiri dari kaum pedagang, para pengerajin dan petani dengan tanah milik pribadi. Terakhir, karena posisi sudah lemah secara ekonomi dan sosial serta tidak lagi mendapatkan legitimasi religius, maka para penguasa lokal banyak yang berani untuk memisahkan diri dari kekuasaan pusat. 

Dalam kondisi seperti inilah, perebutan kekuasaan di antara keluarga kerajaan terjadi. Setelah Hayam Wuruk mangkat menyusul mangkatnya Amangkubumi Gadjah Mada, Kusumawardhani sebagai anak permaisuri diangkat sebagai penguasa. Selanjutnya, Kusumawardhani menyerahkan tahta kepada suaminya, yakni Wikramawardhana. Sebagai anak laki-laki Hayam Wuruk dari selir, Bhre Wirabumi tidak senang dengan pengangkatan Wikramawardhana tersebut, karena Bhre Wirabumi merasa lebih berhak atas tahta Majapahit. Atas alasan tersebut, terjadilah perang yang berakibat pada mersosotnya kekuatan Majapahit, baik karena banyak orang yang mati terbunuh maupun karena kegiatan produksi pertanian yang terhenti sebagai konsekuensi dari kepergian rakyat untuk ikut serta dalam peperangan sehingga persediaan pangan menjadi jauh lebih berkurang dari sebelumnya. 


Sedangkan berita tradisi menyebutkan, bahwa kerajaan Majapahit pada tahun saka 1400 (1478 M). Saat keruntuhannya itu disimpulkan dalam candrasengkala sirna-ilang-kertaning-bumi, dan disebut pula bahwa keruntuhannya disebabkan karena serangan dari kerajaan islam Demak. Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang sampai kepada kita ternyata bahwa pada saat itu kerajaan Majapahit belum runtuh dan masih berdiri untuk beberapa waktu yang cukup lama lagi. Prasati-prasasti batu yang berasal dari tahun 1486, masih menyebutkan adanya kekuasaan kerajaan Majapahit. Rajanya yang berkuasa pada waktu itu bernama Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawarddhana, bahkan ia disebutkan pula sebagai seorang Sri Paduka Maharaja Sri Wilwatikapura Jenggala Kadiri Prabhunatha.[3]

Sedangkan (M.C. Ricklefs, 2005: 55) berpendapat apa yang telah terjadi di Majapahit sejak akhir abad XV juga tidak jelas, dan apabila tidak berhasil ditemukan sumber-sumber baru, yang kemungkinan besar tidak akan pernah diketahui secara pasti. Tampaknya pada suatu waktu sebelum tahun 1486 Majapahit telah ditaklukan atau oleh negara lain yang juga belum memluk agama islam atau oleh suatu kelompok di dalam tubuh keluarga kerajaan Majapahit yang menentangnya. Pada tahun 1486 garis keturunan raja Majapahit (atau salah satu cabangnya yang telah memerintah sebelumnya) telah ditegakan kembali oleh pendahulu seorang raja yang bernama Girindrawardhana Ranawijaya (yang meninggalkan prasasti-prasasti pada tahun 1486). Suatu waktu antara tahun 1486 dan masa kehadiran Thome Pires (1512-15) pusat kerajaan Hindu-Budha dipindahkan ke Kediri karena alasan yang tidak diketahui; apakah kerajaan itu masih tetap berada di bawah wangsa Majapahit tidaklah jelas. Bagaimanapun juga, pada waktu itu kerajaan Hindu-Budha tersebut sedang di ambang kehancurannya; dikoyak-koyak oleh pertikaian di dalam negeri dan terancam oleh negara-negara baru yang bermunculan di wilayah pantai. 

Lebih jauh lagi, M.C. Ricklefs mengatakan pada masa pengulasan militer Demak, kerajaan Hindu-Budha (di Kediri) berhasil ditaklukan sekitar tahun 1527. Kronik-kronik istana Jawa sesudah masa itu melukiskan penaklukan itu dengan berbagai cara, tetapi kesemuanya memperlihatkan suatu kecenderungan untuk membuktikan bahwa Demak kini mewarisi legitimasi Majapahit (kronik-kronik itu mengesampingkan adanya kemungkinan bahwa akhirnya wangsa Majapahit tidak berkuasa lagi). Demak digambarkan sebagai pengganti langsung Majapahit dan ‘sultan’ Demak yang pertama, Raden Patah, disebutkan sebagai putra raja Majapahit yang terlahir dengan seorang putri berkebangsaan Cina, Putri Cina, yang telah diusir dari istana sebelum putranya lahir. Jatuhnya Majapahit dinaskah-naskah seperti itu biasanya ditempatkan pada akhir abad XIV Jawa (1400 s/1478-9 M). Pergantian abad kemudian dianggap sebagai saat biasanya terjadi penggantian wangsa atau kerajaan. Legenda-legenda semacam itu hanya dapat menceritakan sedikit tentang kejadian-kejadian yang sesungguhnya, tetapi cerita-cerita ini menceritakan banyak mengenai keinginan istana-isatan yang muncul belakangan untuk melihat kesinambungan dan legitimasi wangsa sebgai unsur-unsur yang tidak diputus oleh islamisai.[4]

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulakan bahwa setidaknya ada dua hal yang menyebabkan Majapahit mengalami kemunduran dan runtuh, pertama adalah faktor internal kerajaan Majapahit sendiri yang tidak memiliki sosok sebesar Hayam Wuruk dan Gajah Mada yang menyebabkan Majapahit terjerumus dalam perebutan kekuasaan yang akut dan kedua adalah karena adanya serangan dari Demak yang menjadi legitimasi penerus dan perngganti kekuasaan Majapahit dari kerajaan Hindu-Budha menjadi kerajaan Islam. 

B. Berdirinya Demak 

Setelah menaklukan Majapahit, target selanjunya Demak adalah menaklukan daerah-daerah di sekitarnya atau daerah-daerah yang belum mau mengakui Demak sebagai sebuah negara baru yang lebih memilih Majapahit tetap sebagai pimpinan mereka dan atau daerah-daerah yang sejak semula memang sudah melepaskan diri dari Majapahit yang sedang berusaha membangun kekuatannya. 

Usaha-usaha penaklukan yang dilakukan Demak telah memaksa tunduknya pelabuhan-pelabuhan besar lainnya, dan menjangkau banyak wilayah pedalaman Jawa Timur yang mungkin sekali belum menganut agama Islam. Sumber-sumber tidak memberikan kepastian mengenai aksi-aksi yang dilakukan Demak tersebut, tetapi tampaknya telah terjadi aksi-aksi penaklukan berikutnya. Tuban ditaklukan sekitar tahun 1527. Tuban merupakan sebuah kota pelabuhan Majapahit yang sangat tua yang telah disebutkan oleh sumber-sumber Cina sejak abad XI; meskipun sudah menganut agama Islam sebelum tahun 1527, namun Tuban tetap setia kepada penguasa Hindu-Budha di wilayah pedalaman. Madiun berhasil direbut sekitar tahun 1529-30; pada tahun 1530-an Surabaya (yang berhasil menjadi pelabuhan Islam) menguasai kekuasaan Demak, dan Pasuruan berhasil ditaklukan juga; pada tahun 1543 Gunung Penanggungan (suatu tempat yang keramat bagi penduduk Jawa Timur yang beragama Hindu) berhasil ditaklukan; pada tahun 1540-an dan 1550-an Kediri diserang lagi; dan pada tahun 1545 Malang berhasil direbut. ‘Sultan’ Trenggana tampaknya terbunuh dalam sebuah ekspedisi melawan Panarukan pada tahun 1546.[5]


Para sejarawan mencatat ada tiga Raja besar dalam sejarah Demak, yaitu Raden Patah, Adipati Unus dan Sultan Trenggono; sebelum akhirnya raja yang keempat yaitu Sunan Prawata dibunuh oleh Arya Penangsan yang menuntut balas atas kematian ayahnya, Raden Kinkin, dan atas rasa berhaknya akan tahta Demak. Setelah Arya Penangsang dibunuh oleh menantu Sultan Trenggono, Joko Tingkir, kerajaan Demak di pindah ke Pajang, dan kerajaan yang bertahan selama setengah abad itu diganti namanya dengan nama Mataram seperti nama sebuah kerajaan Hindu-Budha yang dulu pernah berkuasa di wilayah tersebut. 

1) Raden Patah 

Raden Patah adalah pendiri dan sultan pertama dari kerajaan Demak yang memerintah tahun 1500-1518 (Muljana: 2005). Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra prabu Brawijaya raja terakhir. Di ceritakan prabu Brawijaya selain kawin dengan Ni Endang Sasmitapura, juga kawin dengan putri cina dan putri campa. Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, prabu Brawijaya terpaksa memberikan putri Cina kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, setelah itu putri Cina dinikahi Arya Damar, dan melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Kusen. Demikianlah Raden Patah dan Raden Kusen adalah saudara sekandung berlainan bapak.( Muljana: 2005). Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po Kong, nama panggilan waktu Raden Patah masih muda adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) atau disebut juga prabu Brawijaya V dari selir Cina. 

Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah dan Raden Kusen menolak untuk menuruti kehendak orang tuanya untuk menggantikan ayahnya sebagai adipati di Palembang. Mereka lolos dari keraton menuju Jawa dengan menumpang kapal dagang. Mereka berdua mendarat di Surabaya, lalu menjadi santri pada Sunan Ngampel.( Muljana: 2005). Raden Patah tetap tinggal di Ngampel Denta, kemudian dipungut sebagai menantu Sunan Ngampel, dikawinkan dengan cucu perempuan, anak sulung Nyai Gede Waloka. Raden Kusen kemudian mengabdi pada prabu Brawijaya di Majapahit. Raden Kusen diangkat menjadi adipati Terung, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah, di situ ia membuka hutan Glagahwangi atau hutan Bintara menjadi sebuah pesantren dan Raden Patah menjadi ulama di Bintara dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk sekitarnya. Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Prabu Brawijaya di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah. Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara. 

Menurut kronik Cina, Jin Bun alias Raden Patah pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo atau Bintara ( Muljana: 2005). 

Dalam waktu yang singkat, di bawah kepemimpinan Raden Patah, lebih-lebih oleh karena jatuhnya Malaka ke tangan portugis dalam tahun 1511, Demak mencapai puncak kejayaannya. Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang, diantaranya adalah perluasan dan pertahanan kerajaan, pengembangan islam dan pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (penguasa). ( Muljana: 2005 ). Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia menaklukkan Girindra Wardhana yang merebut tahkta Majapahit (1478), hingga dapat menggambil alih kekuasaan majapahit. Selain itu, Raden Patah juga mengadakan perlawan terhada portugis, yang telah menduduki malaka dan ingin mengganggu demak. Ia mengutus pasukan di bawah pimpinan putranya, Pati Unus atau Adipati Yunus atau Pangeran Sabrang Lor (1511), meski akhirnya gagal. Perjuangan Raden Patah kemudian dilanjutkan oleh Pati Unus yang menggantikan ayahnya pada tahun 1518. Dalam bidang dakwah islam dan pengembangannya, Raden patah mencoba menerapkan hukum islam dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu, ia juga membangun istana dan mendirikan masjid (1479) yang sampai sekarang terkenal dengan masjid Agung Demak. Pendirian masjid itu dibantu sepenuhnya oleh walisanga. 

2) Adipati Unus 

Pada tahun 1518 Raden Patah wafat kemudian digantikan putranya yaitu Pati Unus. Pati Unus terkenal sebagai panglima perang yang gagah berani dan pernah memimpin perlawanan terhadap Portugis di Malaka. Karena keberaniannya itulah ia mendapatkan julukan Pangeran Sabrang lor. ( Soekmono: 1973). Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental menceritakan asal-usul dan pengalaman Pate Unus. Dikatakan bahwa nenek Pate Unus berasal dari Kalimantan Barat Daya. Ia merantau ke Malaka dan kawin dengan wanita Melayu. Dari perkawinan itu lahir ayah Pate Unus, ayah Pate Unus kemudian kembali ke Jawa dan menjadi penguasa di Jepara. ( Muljana: 2005 ). Setelah dewasa beliau diambil mantu oleh Raden Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri Raden Patah, Adipati Unus resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat kelahiran beliau sendiri). Karena ayahanda beliau (Raden Yunus) lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Yunus (atau putra Yunus). Kemudian hari banyak orang memanggil beliau dengan yang lebih mudah Pati Unus. 

Tahun 1512 giliran Samudra Pasai yang jatuh ke tangan Portugis ( Muljana: 2005 ). Hal ini membuat tugas Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam tanah jawa semakin mendesak untuk segera dilaksanakan. Maka tahun 1513 dikirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng Portugis di Malaka gagal dan balik kembali ke tanah Jawa. Kegagalan ini karena kurang persiapan menjadi pelajaran berharga untuk membuat persiapan yang lebih baik. Maka direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal. Di tahun 1518 Raden Patah, Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah mangkat, beliau berwasiat supaya mantu beliau Pati Unus diangkat menjadi Sultan Demak berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus atau Raden Abdul Qadir bin Yunus. 


Armada perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar untuk ukuran dulu bahkan sekarang. Dipimpin langsung oleh Pati Unus bergelar Senapati Sarjawala yang telah menjadi Sultan Demak II. Dari sini sejarah keluarga beliau akan berubah, sejarah kesultanan Demak akan berubah dan sejarah tanah Jawa akan berubah.Kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam ketika akan menurunkan perahu untuk merapat ke pantai. Ia gugur sebagai Syahid karena kewajiban membela sesama Muslim yang tertindas penjajah (Portugis) yang bernafsu memonopoli perdagangan rempah-rempah. 

Sedangkan Pati Unus, Sultan Demak II yang gugur kemudian disebut masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran (yang gugur) di seberang utara. Pimpinan Armada Gabungan Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon segera diambil alih oleh Fadhlullah Khan yang oleh Portugis disebut Falthehan, dan belakangan disebut Fatahillah setelah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa 1527. Di ambil alih oleh Fadhlullah Khan adalah atas inisiatif Sunan Gunung Jati yang sekaligus menjadi mertua karena putri beliau yang menjadi janda Sabrang Lor dinikahkan dengan Fadhlullah Khan. 

3) Sultan Trenggono 

Sultan Trenggono adalah Sultan Demak yang ketiga, beliau memerintah Demak dari tahun 1521-1546 M. ( Badrika: 2006 ). Sultan Trenggono adalah putra Raden Patah pendiri Demak yang lahir dari permaisuri Ratu Asyikah putri Sunan Ampel ( Muljana: 2005 ). Menurut Suma Oriental, ia dilahirkan sekitar tahun 1483. Ia merupakan adik kandung Pangeran Sabrang Lor, raja Demak sebelumnya (versi Serat Kanda). Sultan Trenggono memiliki beberapa orang putra dan putri. Diantaranya yang paling terkenal ialah Sunan Prawoto yang menjadi raja penggantinya, Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara, Ratu Mas Cempaka yang menjadi istri Sultan Hadiwijaya, dan Pangeran Timur yang berkuasa sebagai adipati di wilayah Madiun dengan gelar Rangga Jumena. 

Sultan Trenggana Wafat / Mangkat Berita Sultan Trenggono wafat ditemukan dalam catatan seorang Portugis bernama Fernandez Mendez Pinto. Pada tahun 1546 Sultan Trenggono menyerang Panarukan, Situbondo yang saat itu dikuasai Blambangan. Sunan Gunung Jati membantu dengan mengirimkan gabungan prajurit Cirebon, Banten, dan Jayakarta sebanyak 7.000 orang yang dipimpin Fatahillah. Mendez Pinto bersama 40 orang temannya saat itu ikut serta dalam pasukan Banten. Pasukan Demak sudah mengepung Panarukan selama tiga bulan, tapi belum juga dapat merebut kota itu. Suatu ketika Sultan Trenggono bermusyawarah bersama para adipati untuk melancarkan serangan selanjutnya. Putra bupati Surabaya yang berusia 10 tahun menjadi pelayannya. Anak kecil itu tertarik pada jalannya rapat sehingga tidak mendengar perintah Trenggono. Trenggono marah dan memukulnya. Anak itu secara spontan membalas menusuk dada Trenggono memakai pisau. Sultan Demak itu pun tewas seketika dan segera dibawa pulang meninggalkan Panarukan. 

Sultan Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawah Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana. Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. 

4) Sunan Prawoto 

Sunan Prawata adalah nama lahirnya (Raden Mukmin) adalah raja keempat Kesultanan Demak, yang memerintah tahun 1546-1549. Ia lebih cenderung sebagai seorang ahli agama daripada ahli politik. Pada masa kekuasaannya, daerah bawahan Demak seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas tanpa mampu dihalanginya. Menurut Babad Tanah Jawi, ia tewas dibunuh oleh orang suruhan bupati Jipang Arya Penangsang, yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Setelah kematiannya, Hadiwijaya memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan Kesultanan Demak pun berakhir. 

Sepeninggal Sultan Trenggana yang memerintah Kesultanan Demak tahun 1521-1546, Raden Mukmin selaku putra tertua naik tahta. Ia berambisi untuk melanjutkan usaha ayahnya menaklukkan Pulau Jawa. Namun, keterampilan berpolitiknya tidak begitu baik, dan ia lebih suka hidup sebagai ulama daripada sebagai raja. Raden Mukmin memindahkan pusat pemerintahan dari kota Bintoro menuju bukit Prawoto. Lokasinya saat ini kira-kira adalah desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Oleh karena itu, Raden Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto. 

Pemerintahan Sunan Prawoto juga terdapat dalam catatan seorang Portugis bernama Manuel Pinto. Pada tahun 1548, Manuel Pinto singgah ke Jawa sepulang mengantar surat untuk uskup agung Pastor Vicente Viegas di Makassar. Ia sempat bertemu Sunan Prawoto dan mendengar rencananya untuk mengislamkan seluruh Jawa, serta ingin berkuasa seperti sultan Turki. Sunan Prawoto juga berniat menutup jalur beras ke Malaka dan menaklukkan Makassar. Akan tetapi, rencana itu berhasil dibatalkan oleh bujukan Manuel Pinto. 

Cita-cita Sunan Prawoto pada kenyataannya tidak pernah terlaksana. Ia lebih sibuk sebagai ahli agama dari pada mempertahankan kekuasaannya. Satu per satu daerah bawahan, seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas; sedangkan Demak tidak mampu menghalanginya. 

C. Runtuhnya Kerajaan Demak 

Setelah Sultan Trenggono, terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan Demak, antara Pangeran Seda ing Lepen dan Sunan Prawoto (putra Sultan Trenggana). Pangeran Sekar Sedo Lepen yang seharusnya menggantikan Sultan Trenggono dibunuh oleh Sunan Prawoto dengan harapan ia dapat mewarisi tahta kerajaan. Putra Pangeran Sedo Lepen yang bernama Arya Penangsang dari Jipang menuntut balas kematian ayahnya dangan membunuh Sunan Prawoto. Selain Sunan Prawoto, Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri ( suami Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto). Pangeran Hadiri dianggap sebagai penghalang Arya Penangsang untuk menjadi sultan Demak. Setelah berhasil membunuh Sunan Prawoto dan beberapa pendukungnya. Naiknya Arya Penangsang ke tahta kerajaan tidak disenangi oleh Pangeran Adiwijoyo atau Joko Tingkir , menantu Sultan Trenggono. Arya Penangsang dapat dikalahkan oleh Jako Tingkir yang selanjutnya memindahkan pusat kerajaan ke Pajang. 

Selain itu, Raden Patah kurang pandai menarik simpati orang – orang pedalaman, bekas rakyat Kerajaan Majapahit. Raden Patah juga terlalu banyak menyandarkan kekuataannya kepada masyarakat Tionghoa Islam. Beliau berkeinginan keras untuk membentuk negara Islam Maritim. Sehingga mengakibatkan, perhatiannya lebih dicurahkan untuk pembuatan kapal-kapal di kota-kota pelabuhan demi pembentukan armada yang kuat. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan kerajaan Demak pada tahun 1568. (Muljana: 2005) 

2.3 Peran Demak Dalam Bidang Sosial-Budaya, Ekonomi, dan Politik 

A. Peran Dalam Bidang Sosial-Budaya 

Berdirinya kerajaan Demak banyak didorong oleh latar belakang untuk mengembangkan dakwah Islam. Oleh karena itu tidak heran jika Demak gigih melawan daerah-daerah yang ada dibawah pengaruh asing. Berkat dukungan Wali Songo, Demak berhasil menjadikan diri sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa yang memiliki pengaruh cukup luas. Untuk mendukung dakwah pengembangan agama Islam, dibangun Masjid Agung Demak sebagai pusatnya. Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Demak lebih berdasarkan pada agama dan budaya Islam karena pada dasarnya Demak adalah pusat penyebaran Islam di pulau Jawa, maka peran Demak sangat besar dalam menghapuskan sistem kasta di Nusantara. Selain itu sebagai pusat penyebaran Islam Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Bonar. 

Para wali tersebut memiliki peranan yang penting pada masa perkembangan kerajaan Demak bahkan para wali tersebut menjadi penasehat bagi raja Demak. Dengan demikian terjalin hubungan yang erat antara raja atau bangsawan dan para wali atau ulama dengan rakyat. Hubungan yang erat tersebut, tercipta melalui pembinaan masyarakat yang diselenggarakan di Masjid maupun Pondok Pesantren. Sehingga tercipta kebersamaan atau Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan di antara orang-orang Islam). 

Demikian pula dalam bidang budaya banyak hal yang menarik yang merupakan peninggalan dari kerajaan Demak. Salah satunya adalah Masjid Demak, di mana salah satu tiang utamanya terbuat dari pecahan-pecahan kayu yang disebut Soko Tatal. Masjid Demak dibangun atas pimpinan Sunan Kalijaga. Di serambi depan Masjid (pendopo) itulah Sunan Kalijaga menciptakan dasar-dasar perayaan Sekaten (Maulud Nabi Muhammad saw) yang sampai sekarang masih berlangsung di Yogyakarta dan Cirebon. 

Salah satu peninggalan berharga kerajaan Demak adalah bangunan Masjid Demak yang terletak di sebelah barat alun-alun Demak. Masjid Agung Demak memiliki ciri khas yakni salah satu tiang utamanya terbuat dari tatal ( potongan kayu), atap tumpang, dan di belakangnya terdapat makam raja-raja Demak. Dilihat dari arsitekturnya, Masjid Agung Demak seperti yang tampak pada gambar 10 tersebut memperlihatkan adanya wujud akulturasi kebudayaan Indonesia Hindu dengan kebudayaan Islam. 

Sedangkan menurut Sartono Kartodirdjo (1988: 30) penyebaran kebudayaan islam-jawa terjadi karena proses ekspansi yang dilakukan Demak. Ekspansi Demak ke Jawa Barat dimulai dengan ekspedisi Syeh Nurullah atau yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, yang berhasil berturut-turut mendirikan kerajaan Cirebon dan Banten. Bersama dengan ekspansi itu terjadilah proses islamisasi daerah-daerah tersebut serta pengembangan kebudayaan Jawa. 

B. Peran Dalam Bidang Ekonomi 



Seperti yang telah dijelaskan bahwa letak Demak sangat strategis di jalur perdagangan nusantara memungkinkan Demak berkembang sebagai kerajaan maritim. Dalam kegiatan perdagangan, Demak berperan sebagai penghubung antara daerah penghasil rempah di Indonesia bagian Timur dan penghasil rempah-rempah Indonesia bagian barat. Dengan demikian perdagangan Demak semakin berkembang. Dan hal ini juga didukung oleh penguasaan Demak terhadap pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir pantai pulau Jawa. 

Sebagai kerajaan Islam yang memiliki wilayah di pedalaman, maka Demak juga memperhatikan masalah pertanian, sehingga beras merupakan salah satu hasil pertanian yang menjadi komoditi dagang. Dengan demikian kegiatan perdagangannya ditunjang oleh hasil pertanian, mengakibatkan Demak memperoleh keuntungan di bidang ekonomi. Letak kerajaan Demak yang strategis , sangat membantu Demak sebagai kerajaan Maritim. Lagi pula letaknya yang ada di muara sungai Demak mendorong aktivitas perdagangan cepat berkembang. Di samping dari perdagangan, Demak juga hidup dari agraris. Pertanian di Demak tumbuh dengan baik karena aliran sungai Demak lewat pelabuhan Bergota dan Jepara. Demak bisa menjual produksi andalannya seperti beras, garam dan kayu jati. 

C. Peran Dalam Bidang Politik 

peran Demak dalam bidang politik tidak lepas dari pengaruh atau bimbingan Wali Songo yang memang dijadikan sebagai penasehat dalam berbagai hal raja-raja Demak. Sebagai contoh penyebaran Islam di Jawa Barat berpangkal kepada Demak dengan tokoh sentral Sunan Gunung Jati. Dalam melakukan islamisasi, Sunan Gunung Jati selalu menggunakan bahasa dan kebudayaan Jawa, maka tidak mengherankan jika kebudayaan Cirebon sebagai pusat islamisasi di Jawa Barat saat ini sedujur banyak sama dengan kebudayaan Jawa. 

Selain itu Demak merupakan embrio awal sebuah kerajaan Islam di Jawa. Nantinya setelah Demak runtuh, akan berdiri kerajaan-kerajaan Islam lainnya seperti Banten, Cirebon, dan Mataram; yang semuanya meniru dan melanjutkan sistem kerajaan Demak. Sedangkan untuk wilayah timur Jawa, Demak mengangkat para pejabat dari kalangan Islam sebagai pengontrol proses islamisasi selain berfungsi juga sebagai pengawas wilayah jajahan atau kekuasaan. 

Untuk pulau lain di Nusantara, kekuatan ekonomi dan letak Demak yang strategis dalam jalur perdagangan antara Nusantara bagian barat dan timur berperan lebih banyak dalam proses ekspansi Demak. Sejak awal berdirinya Demak memang sudah digadang-gadang sebagai negara maritim, maka tidak mengherankan jika raja-raja Demak memfokuskan perhatiannya kepada pembuatan kapal-kapal dari pada memperhatikan daerah pedalaman wilayah kerajaannya. Hal inilah yang juga membuat pengaruh dan kekuatan Demak sangat besar di kepulauan Nusantara. Sebagai contoh, Demak dalam memperlebar pengaruhnya di wilayah pesisir selatan Kalimantan bekerjasama dengan Banjarmasin. Hubungan yang intens akhirnya terjadi dan meciptakan hubungan politik yang kuat antara Banjarmasin dan Demak. Bahkan pernah calon raja Banjar meminta Demak menjadi penengah dalam sengketa penobatan raja baru Banjar.


3.1 Kesimpulan 

Secara geografis letak kerajaan Demak saat ini berada di daerah Jawa Tengah, jaraknya lebih kurang 30 km dari bibir laut Jawa. Demak dahulu terletak di tepi laut, atau lebih tepatnya berada di tepi Selat Silugangga yang memisahkan Pulau Muria dengan Jawa Tengah. Kawasan tersebut pada waktu itu berada di dekat Sungai Tuntang yang sumbernya berasal dari Rawa Pening. Sebelumnya selat Muria cukup lebar untuk dapat dilewati sebuah kapal dagang. Sehingga ketika itu banyak kapal dagang dari Semarang melewati selat ini sebagai jalan pintas menuju Rembang. 

Seperti tanah di Jawa pada umumnya yang subur, tanah di wilayah Demak juga demikian. Demak Bintoro telah menjadi gudang padi dari tlatah pertanian di tepi selat tersebut. Kota Juwana merupakan pusat seperti itu bagi tlatah tersebut pada sekitar tahun 1500. Demak Bintoro menjadi pejabat tunggal di sebelah selatan Pegunungan Muria. 

Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan Majapahit mengalami kemunduran dan runtuh, pertama adalah faktor internal kerajaan Majapahit sendiri yang tidak memiliki sosok sebesar Hayam Wuruk dan Gajah Mada yang menyebabkan Majapahit terjerumus dalam perebutan kekuasaan yang akut dan kedua adalah karena adanya serangan dari Demak yang menjadi legitimasi penerus dan perngganti kekuasaan Majapahit dari kerajaan Hindu-Budha menjadi kerajaan Islam. 

Raja-raja Demak yang pernah memimpin antara lain, Raden Fatah, Pati Unus, Sultan Trenggono, dan Sunan Prawoto. Demak runtuh karena perbutan kekuasaan antara keturuanan Raden Fatah dan ambisi Raden Fatah akan negara maritim sehingga tidak dapat menarik hati rakyat di wilayah pedalaman. 

Dalam bidang Sosial-Budaya, Demak berhasil mendirikan sebuah negara Islam dengan hukum-hukum islam sebagai dasar negara dan menghapuskan sitem kasta yang telah mengakar di Jawa selama berabad-abad. Sedangkan dalam bidang budaya, Demak dengan bantuan para wali berhasil menciptakan media dakwah dan kebudayaan Islam yang berlandaskan kepada kebudayaan Jawa. 

Dalam bidang ekonomi, Demak berperan sebagai pusat perdagangan di kepulauan Nusantara. Demak berperan aktif dalam masalah pertanian, sehingga beras merupakan salah satu hasil pertanian yang menjadi komoditi dagang utama Demak waktu itu. 

Dalam bidang politik, Demak menjadi acuan dalam sistem pemerintahan negara Islam seperti Banten, Cirebon, dan Mataram. Sedangkan di kepulauan Nusantara Demak memiliki peran yang sentral sebagai penguasa perdagangan di laut Jawa dan kepulauan Nusantara. 



[1] Purwadi dan Maharsi, Babad Demak (Yogyakarta: Tunas Harapan, 2005), hlm. 33. 
[2] Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jilid III): Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 16. 
[3] Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 448-449. 
[4] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2005), hlm. 55. 
[5] Ibid, hlm. 56.

0 Response to "Peran Kerajaan Demak dalam Islamisasi Nusantara"

Post a Comment