HUKUM KONSTITUSI DI INDONESIA
A. Latar Belakang
Sejak zaman Yunani Purba istilah konstitusi telah dikenal, hanya konstitusi itu masih diartikan materiil kaena konstitusi itu belum diletakkan dalam suatu naskah yang tertulis Ini dapat dibuktikan pada paham Aristoteles yang membedakan istilah Politea dan nomoi. Politiea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan nomoi adalah Undang-Undang biasa. Di antara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan yaitu bahwa politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi kekuasaan itu tidak ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus di bentuk agar supaya tidak bercerai berai.[1]
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis “constituer” yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu Negara atau menyusun dan meyatakan suatu Negara.[2] Phillips Hood and Jackson sebagaimana dikutip JimlyAsshiddiqie mengemukakan bahwa konstitusi merupakan: A body of laws, customs and conventions that define the composition and powers of the organs of the State and that regulate the relations of the various State organs to one another and to the private citizen.[3]
Baca : Hakikat Profesi Kependidikan
Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah suatu Konstitusi dalam arti positif, karena ia merupan satu-satunya keputusan politik yang tertinggi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia yang merobah nasibnya dari suatu bangsa yang dijajah menjadi bangsa yang merdeka.[4] Hakikat Negara dimaksudkan sebagai suatu penggambaran tentang sifat daripada Negara. Negara sebagai wadah daripada suatu bangsa yang diciptakan oleh Negara itu sendiri untuk mencapai cita-cita atau tujuan bangsanya. Tujuan Negara adalah merupakan kepentingan utama daripada tatanan suatu Negara.
Pada 17 Agustus 1945, dua hari setelah penyerahan Jepang kepada sekutu dalam perang Dunia II, bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan. Konstitusi Indoneisa sebagai suatu “revolusi grondwet”, telah disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sebuah naskah yang dinamakan “Undang-Undang Dasar” Negara Republik Indonesia. Dari sudut pandangan hukum, suatu revilusi yang jaya dengan sendirinya merupakan suatu kenyataan yang menciptakan hukum.[5]
Apabila suatu Konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka Konstitusi itu bukan saja berlaku dalam ari hukum (legal), tetapi juga merupakan suatu kenyataan (reality) dalam arti sepenuhnya diperlukan dan effektif. Oleh karenanya perlu diketahui bagaimana hukum Konstitusi yang berada di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis merumuskan masalahnya yaitu “ Bagaimanakah Hukum Konstitusi yang berada dan berlaku di Indonesia ?”.
C. Pembahasan
1. Norma Dasar dan Konstitusi Indonesia
Tata urutan norma hukum Indonesia jika dilihat dari teori norma hukum Hans Nawiasky menempatkan Pancasila sebagai norma fundamental atau norma dasar Negara yang merupakan norma hukum tertinggi. Pembentukan norma hukum berakhir pada suatu norma dasar yang paling tinggi sehingga menjadi norma dasar tertinggi dari keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan tata hukum.
Hans Nawiasky mengembangkan teori dari Hans Kelsen dengan mengaitkan dengan norma hukum dalam suatu Negara. Menurut Hans Nawiasky seperti yang dikutip Maria Farida Indrati S, dalam bukunya menyatakan bahwa selain norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis norma hukum suatu Negara juga berkelompok-kelompok dan pengelompokan norma hukum dalam suatu Negara itu terdiri atas empat kelompok besaryaitu:
Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara
Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara / Aturan Pokok Negara)
Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang Formal)
Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan Otonom)[6]
2. Fungsi Konstitusi dalam Pembentukan Negara Indonesia
Konstitusi dengan istilah lain Constitution atau Verfasung dibedakan dari Undang-Undang Dasar atau Grundgesetz. Herman Heller membagi Konstitusi itu dalam tiga pengertian sebagai berikut:
1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische Verfassung als gesellschaftliche Wirklichkeit) dan ia belum merupakan Konstitusi dalam arti hukum (ein Rechtsverfasssung) atau dengan perkataan lain Konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belum merupakan pengertian hukum.
2. Baru setelah orang mencari unsur-unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan sebagai suatu kesatuan kaidah hukum, maka Konstitusi itu disebut Rechtvarssung (Die verselbstandigte Rechtverfassung).
3. Kemudian orang mulai menulisnya dalam suatu naskah sebagai Undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu Negara.[7]
Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan PPKI sehari setelah Proklamasi kemerdekaan merupakan revolutie grondwet yang menentukan kehadiran Indonesia sebagai Negara berdaulat. Dalam pengertian tersebut, UUD 1945 menurut Wirjono Prodjodikoro merupakan permulaan dari segala macam peraturan yang pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yang bernama Negara Indonesia.[8]
Baca : Organisasi dan Profesi Guru
Sejalan dengan itu, UUD 1945 menggunakan pendekatan stufenbau teori Hans Kelsen merupakan Staatfundamentalnorm dan rechtidee yang di dalamnya termuat pernyataan politik dan moral bangsa, juga cita serta tujuan Indonesia berbangsa dan bernegara.[9]
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia adalah suatu naskah yang singkat. Ia hanya berisi prinsip-prinsip umum serta menyerahkan pengaturan selanjutnya kepada perundang-undangan yang lebih rendah. Banyak hal-hal yang sangat penting mengenai pemerintahan yang tidak disuratkan ataupun tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahkan hal-hal yang dicantumkan di dalamnya seringkali dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat berarti dua macam. Keadaan ini bukan saja dapat dimengerti, bila orang mengetahui dalam suasana apa pembuatan naskah Undang-Undang Dasar itu terjadi.[10]
Kedudukan konstitusi merupakan elemen esensial dalam sebuah negara. Tidak saja karena konstitusi memberikan penegasan atas kedudukan dan relasi yang amat kuat antara rakyat dan penguasa. Menurut Steenbeek, sebagaimana dikutip oleh Sri Soemnatri, UUD berisi tiga pokok materi muatan, yakni pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganegara ; kedua ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.[11]
3. Perubahan Konstitusi dan Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Dalam perubahan suatu konstitusi digolongkan menjadi dua, yakni flexible atau rigid yang merupakan sifat siatu Konstitusi, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan luwes atau kaku. Yang menentukan suatu Konstitusi bersifat flexible atau rigid dapat dipakai ukuran sebagai berikut:
1. cara merubah konstitusi;
2. apakah Konstitusi itu mudah atau tidak mengikuti perkembangan zaman.
Setiap konstitusi yang tertulis mencantumkan pasalnya tentang perubahan. Inilah yang disebut konstitusi bersifat flexible. Sebaliknya ada pula Konstitusi yang menetapkan syarat perubahan dengan cara istimewa, umpamanya perubahan itu harus disetujui lebih dahulu oleh kedua perwakilannya, Tidak dituangkan secara tertulis kedalam konstitusi cara perbuahan konstitusi tersebut, Konstitusi inilah yang bersifat rigid.[12]
C.F. Strong menjelaskan bahwa perubahan konstitusi dapat digolongkan sebagai berikut:
1. oleh kekuasaan legislative, tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu;
2. oleh rakyat melalui suatu referendum;
3. oleh sejumlah Negara bagian – khusus untuk Negara serikat
4. dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh suatu lemabag Negara yang khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan[13]
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ada empat macam Konstitusi (Undang-Undang Dasar) yang pernah berlaku, yaitu:
1. UUD 1945, yang berlaku pada 17 Agustus 1945- 27 Desember 1949
2. Konstitusi RIS, yang berlaku pada 27 Desember 1949- 17 Agustus 1950
3. UUDS 1950, yang berlaku pada 17 Agustus 1950- 5 Juli 1959, dan
4. UUD 1945 yang berlaku setelah adanya Dekrti Presiden 5 Juli 1959 sampai sekarang.[14]
Ketika masih pembahasan naskah persiapan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno sebagai Ketua menyebutkan bahwa:
“… Undang-Undang Dasar Sementara yang buat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.
Tuan-tuan mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutie grondwet.[15]
4. Sistem Dasar Penyelenggaraan Negara
Di dalam konstitusi dinayatakan dengan tegas pemisahan antara kekuasaan legislative dan kekuasaan eksekutif, yang satu sama lain tidak dapat mempengaruhi. Dalam system pemerintahan presidensial pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada presiden, sedangkan kekuasaan kehakiman/pengadilan menjadi tanggungjawab Mahkamah Agung. Kekuasaan membuatu Undang-undang berada pada DPR.
Dalam system praktek ini ada yang mengembangkan ajaran Trian Politica Monteswuieu secara murni dengan separation of power, seperti di Amerika. Praktek bertujuan agara diantara ketiga kekuasaan tersebut selalu terdapat keseimbangan dalam keadaan tertentu. Secara presidensial diterapkan di Indonesia tidak murni menganut Trias Politica karena selain kekuasaan tersebut masih ditambah keuasaan konstitutif (MPR), eksaminatif/inspektif (BPK), konsultatif (DPA) dengan system pembagian kekuasaan.
Baca : Kompetensi Guru
Sistem pemerintahan presidensil mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
a. dikepalai seorang presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif (kepala pemerintahan sekaligus kepala Negara)
b. kekuasaan eksekutif presiden dijalankan berdasarkan kedaulatan rakyat yang dipilih rakyat dengan atau tanpa badan perwakilan.
c. Presiden mempunyai hak prerogative untuk mengangkat dan memberhentikan para meneteri yang memimpin departemen/ non departemen.
d. Menteri hanya bertanggung jawab kepada Presiden, bukan kepada DPR
e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Karena, antara presiden dan DPR tidak dapat saling menjatuhkan dan membubarkan.[16]
5. Negara Hukum dan Demokrasi
Negara hukum selalu dihubungkan dengan Negara demokrasi (democrative rech staat). Ciri pokok dalam Negara demokrasi yang berdasarkan hukum, bukan Negara hukum yang demokratis. Ciri-ciri utama dari Negara demokrasi yang berdasarkan hukum adalah:
1. Kekuasaan tertinggi bersumber dari rakyat: yang dengan sendirinya menimbulkan pemerintahan oleh rakyat,
2. Negara berdasarkan asas demokrasi,
3. Adanya lembaga perwakilan.
Paham yang menghadirkan unsur hukum dalam menjaga akses pelaksanaan demokrasi tersebut adalah konstitusionalisme. Negara Indoneisa adalah demokrasi berdasarkan hukum.[17]
Negara hukum adalah suatu Negara yang bekerja berlandaskan pada Undang-Undang Dasar (UUD) atau konstitusi dan berdasarkan tata tertib hukum yang sesuai dengan pendapat, kehendak dan kepentingan umum. Hans Kelsen mengatakan bahwa Negara itu suatu ketertiban kaedah (norma-ordering), ketertiban Negara (staatsorde) adalah personifikasi dari ketertiban hukum (rechtsorde), karena itu Negara dan hukum adalah dua pengertian yang identik[18]
Bila kita bicara tentang cita hukum dari Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945, suatu republic kerakyatan (demokratis) yang didirikan oleh pejuang-pejuang bangsa dengan semboyan “… dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Cita-cita ini dirumuskan secara singkat bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum. Cita hukum Negara Republik Indonesia didirikan tidak saja untuk mengakhiri penjajahan, tetapi juga untuk mencegah terulangnya penderitaan masyarakat terjajah yang dicirikan oleh eksploitasi manusia, penindasan dan penyalahgunaan kekuasaan.[19]
Yang pertama adalah bahwa dalam Negara hukum, kekuasaan itu tidak tanpa batas, artinya kekuasaan itu tunduk pada hukum. Secara popular dikatakan bahwa Negara hukum adalah Negara berdasarkan atas hukum, dan kekuasaan harus tunduk pada hukum. Kedua, dalam Negara hukum semua orang sama di hadapan hukum. Berarti bahwa hukum memperlakukan semua orang sama tanpa perbedaan yang didasarkan atas ras (kerutunan), agama, keududkan sosial dan kekayaan.[20]
Perumusan hak dan kedudukan warga Negara di hadapan hukum ini merupakan penjelmaan dari salah satu sila Negara Republik Indoneisa yakni sila keadilan sosial. Dengan demikian, kedudukan seorang warga Negara dalam hukum di Indoneisa yang merupakan republic yang demokratis berlainan sekali dengan Negara yang berdasar supremasi rasial, maupun berdasarkan kapitalis.[21]
Pengertian demokrasi adalah suatu pemerintahan di mana rakyat ikut serta memerintah (mederegeren), baik secara langsung yang terdapat pada masyrakat-masyarakat yang masih sederhana (demokrasi langsung), maupun secara tidak langsung karena rakyat diwakilkan (demokrasi tidak langsung) yang terdapat dalam negara-negara modern termasuk Negara Indonesia. Azas demokrasi yang hidup di Indonesia ialah kekeluargaan untuk mengabdi kepentingan bersama dalam mencapai tujuan yang sama.[22] Model demokrasi Indonesia adalah permusyawaratan untuk mencapai mufakat bukan perhitungan suara sebagaimana model demokrasi barat.[23]
Sehingga demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Menurut Franz Magnis Suseno, “Demokrasi yang bukan Negara hukum bukan demokrasi dalam arti sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan control atas Negara hukum”.[24]
[1] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, 1986, hlm. 62.
[2] Dahlan Thaib dkk, Teori Hukum dan Konstitusi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 6.
[3] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Jakarta: Konpress, 2005, hlm. 16-17.
[4] Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.cit., Hlm. 71.
[5] Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru, 1981, hlm. 13.
[6] Maria Farida Indarti, Hukum Perundang-Undangan, hlm. 45
[7] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.cit., hlm, 65.
[8] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1977, hlm. 10
[9] Armen Yasir, Hukum Perundang-undangan, Bandar Lampung: Penerbit Uniiversitas Lampung, 2007, hlm. 75
[10] Ismael, Op.cit., hlm. 13
[11] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Medan: Kencana, 2005, hlm. 93.
[12] Moh. Kusnardi, Op.cit., hlm. 77.
[13] Sri Soemantri , Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni, 1979, hlm. 69.
[14] Majda El-Muhtaj, Op.cit.
[15] Muhtadi, “Menuntaskan Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945”, Jurnal Konstitusi, Vol III, No 2, November 2011, hlm. 28
[16] Yulia Neta, Hukum Ilmu Negara, Bandar Lampung: Lembaga Penelitian Universitas Lampung, 2011, hlm. 110
[17] Yulia Neta, Op.cit., hlm. 89.
[18] Ibid, hlm. 123.
[19] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan: Kumpulan Karya Tulis, Bandung: PT Alumni, 2006, hlm. 179.
[20] Ibid
[21] Ibid.
[22] Moh. Kusnardi, Op, cit., hlm. 19
[23] Ismaeil Suny, Op.cit.,hlm. 223-224
[24] Franz Magis Suseno , Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, Jakarta: Gramedia, 1997, hlm. 58
0 Response to "Hukum Konstitusi di Indonesia"
Post a Comment