PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan bagai seorang yang sedang berpijak di bumi sedang tengadah ke arah bintang-bintang di langit. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri di puncak gunung yang tinggi memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya.
Filsafat, mengikuti cara berfikir Will Durant, dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri adalah sebagai pengetahuan dan filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan.
Namun, apakah sebenarnya fisafat itu?
Tulisan kali ini masuk pada pembahasan sistematika filsafat. Dilihat dari judulnya cukup asing bagi orang yang belum mendalami mata kuliah filsafat ilmu. Dari beberapa buku kami temukan bahwa yang dinamakan sistematika filsafat terdiri dari tiga model: Ontologi (wujud/hakikat). Epistemologi (teori pengetahuan) dan Aksiologi (nilai/guna). Terkadang tiga model sistematika filsafat itu dimasukkan pula ke dalam aliran, madzhab atau cabang-cabang dalam filsafat. Digabungkan dengan metafisika, etika, logika dan lain-lain. Padahal tiga sistematika filsafat tersebut masih melahirkan cabang-cabang dalam filsafat yang akan akan kami jelaskan dalam sub tema di bawah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas, maka penulis akan membahas:
1. Apa pengertian Metafisika filsafat dan cabang-cabangnya?
2. Apa definisi Epistemologi filsafat dan aliran-alirannya?
3. Apa itu Logika filsafat?
4. Apa yang dimaksud Aksiologi filsafat dan aliran-alirannya?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan pembuatan makalah ini agar penulis dan pembaca lebih tahu akan pentingnya mengetahui Cabang-cabang Filsafat.
1. Pembaca mengetahui pengertian tentang Metafisika Filsafat dan cabang-cabangnya.
2. Pembaca tahu definisi dari Epistemologi Filsafat dan aliran-alirannya.
3. Pembaca mengetahui pengertian Logika Filsafat
4. Pembaca mengetahui definisi Aksiologi Filsafat dan aliran-alirannya.
PEMBAHASAN
CABANG-CABANG FILSAFAT
Jika kita mengamati karya-karya besar filsuf, seperti Aristoteles (384-322 SM) dan Immanuel Kant (1724-1804), ada tiga tema besar yang menjadi fokus kajian dalam karya-karya mereka, yakni kenyataan, nilai, dan pengetahuan. Ketiga tema besar tersebut masing-masing dikaji dalam tiga cabang besar filsafat. Kenyataan merupakan bidang kajian metafisika, nilai adalah bidang kajian aksiologi, dan pengetahuan merupakan bidang kajian epistemologi.[1]
Namun ada juga yang membagi cabang filsafat berdasarkan karakteristik objeknya. Berdasarkan karakteristik objeknya filsafat dibagi dua, yaitu:
1. Filsafat Umum/Murni
a. Metafisika, objeknya adalah hakikat tentang segala sesuatu yang ada.
b. Epistemologi. Objeknya adalah pengetahuan/kenyataan.
c. Logika. Merupakan studi penyusunan argumen-argumen dan penarikan kesimpulan yang valid. Namun ada juga yang memasukkan Logika ke dalam kajian epistemologi.
d. Aksiologi. Objek kajiannya adalah hakikat menilai kenyataan.
2. Filsafat Khusus/Terapan, yang lebih mengkaji pada salah satu aspek kehidupan. Seperti misalnya filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat bahasa, dan lain sebagainya.[2]
Pembagian cabang-cabang filsafat di atas tidak kaku. Seorang filsuf yang mengklaim bahwa pemikiran filsafatnya berupa kajian ontologis sering kali pula membahas masalah-masalah eksistensi manusia, kebudayaan, kondisi masyarakat, bahkan etika. Ini misalnya tampak dari filsafat Heidegger. Dalam bukunya yang terkenal, Being and Time (1979), dia menulis bahwa filsafatnya dimaksudkan untuk mencari dan memahami “ada”. Akan tetapi dia mengakui bahwa “ada” hanya dapat ditemukan pada eksistensi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, dalam bukunya itu dia membahas mengenai keotentikan, kecemasan, dan pengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari.[3]
A. Metafisika
Koestenbaum (1968) mendefinisikan metafisika sebagai studi mengenai karakteristik-karakteristik yang sangat umum dan paling dasar dari kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality). Metafisika menguji aspek-aspek kenyataan seperti ruang dan waktu, kesadaran, jiwa dan materi, ada (being), eksistensi, perubahan, substansi dan sifat, aktual dan potensial, dan lain sebagainya.
Metafisika pada asasnya meneliti perbedaan antara penampakan (appearance) dan kenyataan (reality). Ada sejumlah aliran yang mencoba mengungkap hakikat kenyataan di balik penampakan tersebut. Misalnya aliran naturalism dan materialism percaya bahwa kenyataan paling dasar pada prinsipnya sama dengan peristiwa material dan natural.[4]
Sejak zaman Yunani kuno sebagian besar filsafat diwarnai oleh pemikiran-pemikiran metafisik, kendati cukup banyak juga filsuf yang meragukan dan menolak metafisika. Para filsuf yang menolak metafisika beralasan bahwa metafisika tidak mungkin karena melampui batas-batas kemampuan indera untuk membuktikan kebenaran-kebenarannya. Kebenaran-kebenara yang dikemukakan oleh metafisika terlalu luas dan spekulatif, sehingga tidak dapat dibuktikan dan diukur kebenarannya.[5] Dalam perkembangannya, metafisika kemudian dibagi lagi menjadi tiga sub cabang, yaitu:
1) Ontology
Menurut bahasa, ontology berasal dari bahasa Yunani yaitu: On/Ontos (ada), dan Logos (ilmu). Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.[6]
Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat tentu juga akan mengalami dinamika dan perkembangan sesuai dengan dinamika dan perkembangan ilmu-ilmu yang lain, yang biasanya mengalami percabangan. Filsafat sebagai suatu disiplin ilmu telah melahirkan tiga cabang kajian. Ketiga cabang kajian itu ialah teori hakikat (ontologi), teori pengetahuan (epistemologi), dan teori nilai (aksiologi).[7]
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On (being), dan Logos (logic). Jadi, ontologi adalah The Theory of Being Qua Being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).[8]
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Membahas tentang yang ada, yang universal, dan menampilkan pemikiran semesta universal. Berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, dan menjelaskan yang ada dan yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.[9] Sedangkan Jujun S. Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu pengkajian mengenai yang “ada”.[10]
Menurut Sidi Gazalba, ontologi mempersoalkan sifat dan keadaan terakhir dari kenyataan. Karena itu, disebut ilmu hakikat yang bergantung pada pengetahuan. Dalam agama, ontologi mempersoalkan tentang Tuhan.[11] Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Agama I mengatakan ontologi berasal dari kata yang berwujud. Ontologi adalah teori/ilmu tentang wujud tentang hakikat yang ada. Ontologi tak banyak berdasar pada alam nyata tetapi berdasar pada logika semata-mata.[12]
Ø Aliran-aliran Ontologi
Dalam mempelajari ontologi muncul bebrapa pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Dimanakah yang ada itu? (What is being?)”.[13]
Apakah yang ada itu? (What is being?). Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir lima filsafat, yaitu sebagai berikut:
a. Aliran Monoisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monoisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran:
Ø Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kanyataan dan satu-satunya fakta.[14]
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokratis (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam.[15]
Ø Idealisme
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.[16] Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.[17]
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.[18]
b. Aliran Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de Ia Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerapkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitlifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716M).[19]
c. Aliran Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion di katakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua identitas.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa sustansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.
d. Aliran Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.
Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang relitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.
e. Aliran Agnotisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat rohani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda baik materi maupun rohani.
2) Kosmologi
Mengkaji persoalan-persoalan tentang alam semesta, asal-usul, dan unsur-unsur yang membentuk alam semesta.
3) Humanologi
Mengkaji persoalan-persoalan tentang hakikat manusia, hubungan antara jiwa dan tubuh, kebebasan dan keterbatasan manusia.
4) Teologi
Mengkaji persoalan-persoalan tentang Tuhan/agama.
B. Epistemologi
Istilah “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” berarti perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya menundukan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, secara harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya. Bagi suatu ilmu pertanyaan yang mengenai definisi ilmu itu, jenis pengetahuannya, pembagian ruang lingkupnya, dan kebenaran ilmiahnya, merupakan bahan-bahan pembahasan dari epistemologinya.
Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi lebih memfokuskan kepada makna pengetahuan yang berhubungan dengan konsep, sumber, dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan, dan lain sebagainya.
Beberapa ahli yang mencoba mengungkapkan definisi dari pada epistemologi adalah P. Hardono Hadi. Menurut beliau epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Tokoh lain yang mencoba mendefinisikan epistemologi adalah D.W Hamlyin, beliau mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaian serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegas bahwa orang memiliki pengetahuan.[20]
Runes dalam kamusnya menjelaskan bahwa epistemologiy is the branch of philosophy which invetigates the origin, structure, methods and validity of knowledge. Itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F Ferrier pada tahun 1854 (Runes, 1971-1994).[21]
Ø Aliran-aliran Epistemologi
Ada beberapa aliran yang berbicara tentang ini, diantaranya:
a. Empirisme
Kata empiris berasal dari kata Yunani empieriskos yang berasal dari kata empiria, yang artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena manusia menyentuhnya, gula manis karena manusia mencicipinya.
John Locke (1632-1704) bapak aliran ini pada zaman modern mengemukakan teori tabula rusa yang secara bahasa berarti meja lilin. Maksudnya adalah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-lama sulit, lalu tersusunlah pengetahuan. Berarti, bagaimanapun kompleks (sulit) pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukan pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar.
Karena itulah metode penelitian yang menjadi tumpuan aliran ini adalah metode eksperimen. Kesimpulannya bahwa aliran empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia. Misalnya benda yang jauh kelihatan kecil, sebenarnya benda itu kecil ketika dilihat dari jauh, sedangkan kalau dilihat dari dekat benda itu besar.
b. Rasionalisme
Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek. Bapak aliran ini adalah Descartes (1596-1650). Descartes seorang filosof yang tidak puas dengan filsafat scholastik yang pandangannya bertentangan, dan tidak ada kepastian disebabkan oleh kurangnya metode berpikir yang tepat. Dan ia juga mengemukakan metode baru, yaitu metode keragu-raguan. Jika orang ragu terhadap segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu jelas ia sedang berpikir. Sebab, yang sedang berpikir itu tentu ada dan jelas ia sedang erang menderang. Cogito Ergo Sun (saya berpikir, maka saya ada).
Rasio merupakan sumber kebenaran. Hanya rasio sajalh yang dapat membawa orang kepada kebenaran. Yang benar hanya tindakan akal yang terang benderang yang disebut Ideas Claires el Distictes (pikiran yang terang benderang dan terpilah-pilah). Ide terang benderang inilah pemberian tuhan kepada seorang yang dilahirkan (idea innatae = ide bawaan). Sebagai pemberian tuhan, maka tak mungkin tak benar. Karena rasio saja yang dianggap sebagai sumber kebenaran, aliran ini disebut rasionalisme. Aliran rasionalisme ada dua macam, yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama, aliran rasionalisme adalah lawan dari otoritas dan biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Adapun dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan dari empirisme dan sering berguna dalam menyusun teori pengetahuan.
a. Positivisme
Tokoh aliran ini adalah August Compte (1798-1857). Ia menganut paham empirisme. Ia berpendapat bahwa indera itu sangat penting dalam memperoleh pengetahuan. Tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Misalnya untuk mengukur jarak kita harus menggunakan alat ukur misalnya meteran, untuk mengukur berat menggunakan neraca atau timbangan misalnya kiloan. Dan dari itulah kemajuan sains benar benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dan didukung oleh bukti empirisnya. Dan alat bantu itulah bagian dari aliran positivisme. Jadi, pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang dapat berdiri sendiri. Aliran ini menyempurnaka em[irisme dan rasionalisme.
b. Intuisionisme
Henri Bergson (1859-1941) adalah tokoh aliran ini. Ia menganggap tidak hanya indera yang terbatas. Akal juga terbatas. Objek yang selalu berubah, demikian bargson. Jadi, pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap. Intelektual atau akal juga terbatas. Akal hanya dapat memahami suatu objek bila ia mengonsentrasikan dirinya pada objek itu, jadi dalam hal itu manusia tidak mengetahui keseluruhan (unique), tidak dapat memahami sifat-sifat yang tetap pada objek. Misalnya manusia mempunyai pemikiran yang berbeda-beda. Dengan menyadari kekurangan dari indera dan akal maka Bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi.[22]
c. Kritisme
Aliran ini muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru dimana seseorang ahli pemikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasioanalisme dengan empirisme. Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mencoba menyelesaikan persoalan diatas, pada awalnya, Kant mengikuti rasionalisme tetapi terpengaruh oleh aliran empirisme. Akhirnya Kant mengakui peranan akal harus dan keharusan empiris, kemudian dicoba mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal (rasionalisme) tetapi adanya pengertian timbul dari pengalaman (empirisme). Jadi, metode berpikirnya disebut metode kritis. Walaupun ia mendasarkan diri dari nilai yang tinggi dari akal, tetapi ia tidak mengingkari bahwa adanya persoalan-persoalan yang melampui akal.[23]
d. Idealisme
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu suatu yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini dimiliki oleh Plato pada filsafat modern.
Idealisme mempunyai argumen epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh yang mengajarkan bahwa materi tergantung pada spirit tidak disebut idealisme karena mereka tidak menggunakan menggunakan argumen epistemologi yang digunakan oleh idealisme. Idealisme secara umum berhubungan dengan rasionalisme. Ini adalah madzhab epistemologi yang mengajarkan bahwa pengetahuan apriori (masa bodoh) atau deduktif dapat diperoleh dari manusia dengan akalnya.[24]
C. Logika
Logika sebagai salah satu cabang filsafat pada dasarnya adalah cara untuk menarik kesimpulan yang valid. Secara luas logika dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk berfikir secara sahih. Ada banyak cara menarik kesimpulan. Namun secara garis besar, semua itu digolongkan menjadi dua cara yaitu logika induktif dan logika deduktif.
Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan logika deduktif berhubungan dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang umum menjadi kesimpulan yang bersifat khusus atau individual. Bail logika induktif maupun logika deduktif, dalam proses penalarannya mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggap benar. Ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal, yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan keputusan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah.
D. Aksiologi
Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani “axios” yang berarti bermanfaat dan “logos” berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.[25] Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang jakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran).[26]
Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu.
Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik.[27] Dengan demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu.
Berbicara mengenai nilai itu sebndiri dapat kita jumpai dalam kehidupan seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan curang. Hal itu semua mengandung penilaian karena manusia yang dengan perbuatannya berhasrat mencapai atau merealisasikan nilai.[28] Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Secara singkat dapat dikatakan, perkataan “nilai” kiranya mempunyai macam-macam makna seperti: mengandung nilai (berguna), merupakan nilai ( baik/benar/indah, mempunyai nilai (merupakan objek keinginan), mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui (mempunyai sifat nilai tertentu), memberi nilai (menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu).[29] Nilai ini terkait juga dengan etika dan nilai estetika. Nilai etika adalah teori perbuatan manusia yang ditimbang menurut baik atau buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Sedangkan nilai estetika adalah telaah manusia terhadapnya.[30] Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan karena menyangkut tanggung jawab, baik tanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadapa Tuha.
Ilmu pengetahuan pun mendapatkan pedoman untuk bersikap penuh tanggung jawab, baik tanggung jawab ilmiah maupun tanggung jawab moral.[31] Tanggung jawab ilniah adalah sejauh mana ilmu pengetahuan melalui pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk memperoleh pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk memperoleh kebenaran objektif, baik secara koheren-idealistik, koresponden realistis maupun secara pragmatis-empirik. Jadi, berdasarkan tanggung jawab ini, ilmu pengetahuan tidak dibenarkan untuk mengejarkan kebohongan, dan hal-hal negatif lainnya.
Berdasar dari apa yang telah diuraikan dipahami ilmu pengetahuan mengandung nilai, dan kebenaran nilai ilmu pengetahuan yang dikandungnya bukan untuk kebesaran ilmu pengetahuan semata yang berdiri hanya mengejar kebenaran objektif yang bebas nilai melainkan selalu terikat dengan kemungkinan terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.
Ø Aksiologi dalam Pandangan Aliran-aliran Filsafat
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni:
1. Pandangan Aksiologi Progresivisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910), Hans Vahinger, Ferdinant Sciller, Georger Santayana, dan Jhom Dewey.[32] Menurut progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. Dengan demikian, adanya pergaulan dalam masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu. Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.
2. Pandangan Aksiologi Essensialisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah Desiderius Erasmus, John Amos Comenius (1592-1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-1827), John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanth (1776-1841), dan William T. Horris (1835-1909).[33] Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan tersebut.
a. Teori Nilai Menurut Idealisme
Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.
b. Teori Nilai Menurut Realisme
Menurut realisme, sumber semua penegtahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya kedaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan seseorang adalah hasil perapduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan idealisme dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung tinggi asa otoriter atau nilai-nilai, namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri.[34]
3. Pandangan Aksiologi Perenialisme
Tokoh utama ini diantaranya Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas. Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang menpunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membtutuhkab usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang lain.[35] Sedangkan menyangkut nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas “supernatural”, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya ontologi, dan epistemologi yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi, hakikat manusia terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya.
4. Pandangan Aksiologi Rekonstruksionisme
Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang memandang bahwa kedaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.
Ø Nilai yang menjadi kajian aksiologi ada dua, itu sebabnya aksiologi dibagi menjadi dua sub cabang yaitu:
1. Etika.
Kajian filsafat mengenai baik dan buruk, lebih kepada bagaimana seharusnya manusia bersikap dan bertingkah laku, apa makna etika atau moralitas dalam kehidupan manusia.
2. Estetika.
Nilai yang berhubungan dengan keindahan (indah dan buruk). Mengkaji mengenai keindahan, kesenian, kesenangan yang disebabkan oleh keindahan.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Filsafat terlahir pada awalnya adalah dikarenakan oleh keingintahuan manusia akan hakikat kehidupannya dan hakikat suatu kebenara. Filsafat menelaah segala masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia. Oleh karena itu filsafat dikenal juga sebagai induk dari semua ilmu “the mother of the sciences” Hal ini sesuai dengan arti filsafat secara bahasa yaitu cinta akan hikmat.
Dalam mencari hakikat kebenaran tersebut setiap filsuf belum tentu menitikberatkan pada satu kajian yang sama. Dan berdasarkan objek kajian tersebut, filsafat dibagi dalam beberapa cabang, yakni:
1. Metafisika, yaitu dibagi menjadi:
· Ontology
· Kosmologi
· Humanologi
· Teologi
2. Epistemologi
3. Logika
4. Aksiologi, terbagi menjadi dua, yaitu:
· Etika
· Estetika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia
Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajariasal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan.
Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu.
Baca : Hakikat Profesi Kependidikan
Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers. Mudyaharjo, Redja. 2008. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung.
Amsal Bakhtiar. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy).
Idi, Abdullah dan Jalaluddin. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suriasumantri, Jujun S. 1985. Pengantar Ilmu dalam Perspektif Islam. Jakarta: Gramedia.
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat Pengantar kepada Teori Pengetahuan. Jakarta: Bulan Bintang.
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Zainuddin, M. 2006. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Lintar Pustaka Publisher.
Sunarto. 1983. Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.
Suriasumantri, Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nasution, H. 1982. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Zuhairini. 1991. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara.
Tafsir, Ahmad. 2009. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Asmoro, Achmad. 2012. Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hakim, MA dan Drs. Bani Ahmad Saebani, M. Si. Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi. (Bandung: Pustaka Setia).
Kattsoff, Louis O. 1992. Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sarwan, HB. 1994. Filsafat Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Drijakarta SJ, N. 1981. Percikan Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan.
Idi, Abd dan Jalaluddin. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Baya Madya Pratama.
Suhartono, S. 2004. Dasar-dasar Filsafat. Yogyakarta: Al-Russ.
Indar, D. 1994. Filsafat Pendidikan. Surabaya: Karya Abdi Tama.
Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset.
Kuliahdoktoralunairs3.files.wordpress.com/2012/10/filsafat2.pptx. (29 September 2014).
[1] Dr. Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Hlm. 24.
[2] Dr. Redja Mudyaharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, (Bandung, 2008), Hlm. 7
[3] Dr. Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Hlm. 26
[4] Ibid, Hlm. 57-58.
[5] Ibid, Hlm. 64.
[6] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
[7] Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006). Hlm. 47
[8] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007). Hlm.13
[9] Jalaluddin, Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013). Hlm. 5
[10] Jujun S. Suriasumantri, Pengantar Ilmu dalam Perspektif Islam, cet. VI. (Jakarta: Gramedia, 1985). Hlm. 5
[11] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat Pengantar kepada Teori Pengetahuan, buku II, cet. I. (Jakarta: Bulan Bintang). Hlm. 106.
[12]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama I, cet. I. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). Hlm. 169.
[13] Muhammad Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. (Jakarta: Lintar Pustaka Publisher, 2006). Hlm. 25
[14] Sunarto, Pemikran tentang Kefilsafatan Indonesia, (Yogyakarta: Andi Offset, 1983). Hlm. 70
[15] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), Hlm. 64.
[16] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), Hlm. 138.
[17] Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006), Hlm. 48.
[18] H Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), Hlm. 53.
[19] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), Hlm. 142.
[20] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1991), Hlm. 8
[21] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), Hlm. 23
[22] Ibid, Hlm. 24-28.
[23] Achmadi Asmoro, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), Hlm. 118-119.
[24] Hakim, M. A dan Drs. Bani Ahmad Saebani, M. Si, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),Hlm. 206.
[25] Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat, (Cet. V, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), Hlm. 327.
[26] Sarwan H.B, Filsafat Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), Hlm. 22.
[27] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Baya Madya Pratama, 1997), Hlm. 69.
[28] N. Drijakarta SJ, Percikan Filsafat, (Cet. IV, Jakarta: PT. Pembangunan, 1981), Hlm. 36.
[29] Louis O. Kattsoff, op. Cit, Hlm. 332.
[30] Lihat kembali uraiannya lebih lanjut dalam ibid, 327. Bandingkan dengan Ali Mudhafir , Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Cet. I, Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997), Hlm. 19.
[31] Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, (Cet. I, Yogyakarta: Al-Russ, 2004), Hlm. 164.
[32] Jalaluddin dan Abdullah Idi, op. cit, Hlm. 70-71.
[33] Djuberansyah Indar, Filsafat Pendidikan, (Surabaya: Karya Abdi Tama, 1994), Hlm. 136.
[34] Jalaluddin dan Abdullah Idi, op. cit, Hlm. 87.
[35] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi Offset, 1990), Hlm. 15.
[36] Sumber: kuliahdoktoralunairs3.files.wordpress.com/2012/10/filsafat2.pptx. (29 September 2014).
0 Response to "Cabang-cabang Filsafat"
Post a Comment