Pada saat ini jumlah lembaga pendidikan anak usia dini di Indonesia semakin berkembang pesat. Jumlah peserta didik pun semakin banyak.. Jumlah itu berbanding lurus dengan kebutuhan guru yang berkualitas. Tuntutan mutu pendidik semakin jelas mengingat masa emas perkembangan mer mengembalikan perkembangan usia dini merupakan masa emas sehingga landasan yang baik dari guru yang berkualitas berdampak kepada keunggulan generasi bangsa Indonesia.
Untuk itu, perlu pendidik PAUD yang memahami peluang pemaksimalan tersebut sejak usia dini. Rizali, dkk (2009) menyarankan perlu ada upaya untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan untuk anak usia dini dengan cara meningkatkan kualitas para pendidik anak usia dini. Slamet Suyanto (2005) menegaskan kebutuhan pendidik PAUD yang profesional.
Profesionalisme sendiri ternyata belum dipahami oleh para PAUD. Profesionalisme bukanlah sebatas niat maupun keinginan, kesungguhannya harus tercermin dalam tindakan. Penelitian Christanti (2012) menjelaskan ada kesenjangan terhadap pemahaman tersebut diantara guru PAUD. Ia menjelaskan Tahun 2010 peserta pendidikan dan dan latihan profesi guru (PLPG) di UNY Yogyakarta sejumlah 197 peserta. Jumlah tersebut meningkat sebanyak 2,84 persen yaitu sejumlah 560 peserta pada tahun 2011. Tahun 2012 meningkat 1 persen dari tahun sebelumnya yaitu sejumlah 1036 peserta. Peningkatan peserta PLPG di Yogyakarta menunjukkan bahwa guru PAUD memiliki keinginan untuk mengembangkan profesinya melalui pendidikan latihan profesi guru dengan kata lain memiliki profesionalisme sebagai pendidik anak usia dini. Data tersebut tidak dapat menunjukkan perubahan tersebut secara nyata karena Banyak peserta tersebut yang tidak lulus pelatihan.
Di sisi lain, undang-undang guru dan dosen pasal 1 ayat 1 tahun 2005, telah menyatakan guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing atau mengarah, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, dasar dan menengah. Dengan demikian guru diharapkan melaksanakan tugas kependidikan yang tidak semua orang dapat melakukannya, artinya hanya mereka yang memang khusus telah bersekolah untuk menjadi guru yang dapat menjadi guru profesional. Sementara itu dalam Perpu 19 tahun 2005 dikatakan bahwa seorang guru haruslah memiliki 4 kompetensi, Yakni kompetensi pedagogi, kepribadian, sosial, dan profesional yang diberikan dengan sertifikat pendidikan yang diperoleh melalui sertifikasi Adapun untuk kompetensi guru PAUD di Indonesia sudah dibuatkan standar tersendiri. guru PAUD perlu memiliki rasa seni (sense of art) dan berbagai bentuk disiplin agar dapat mengenali pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak. Ia pun diharapkan memiliki pemahaman teori perkembangan dan implikasinya secara praktis. guru PAUD bahkan harus memahami bahwa anak belajar dalam bermain. (Utami: 2013)
B. Profesionalisme Guru
Profesi diukur berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang dimiliki. Dalam dunia keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu: profesi, semi profesi, terampil, tidak terampil, dan quasi profesi. Gilley dan Eggland (1989) mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat. Definisi ini meliputi aspek yaitu :
a. Ilmu pengetahuan tertentu
b. Aplikasi kemampuan/kecakapan, dan
c. Berkaitan dengan kepentingan umum
Aspek-aspek yang terkandung dalam profesi tersebut juga merupakan standar pengukuran profesi guru. Proses profesional adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi dan sistemastis untuk mengembangkan profesi ke arah status professional (peningkatan status). Secara teoritis menurut Gilley dan Eggland (1989) pengertian professional dapat didekati dengan empat prespektif pendekatan yaitu orientasi filosofis, perkembangan bertahap, orientasi karakteristik, dan orientasi non-tradisonal. Yaitu:
Pertama, Orientasi Filosofi. Ada tiga pendekatan dalam orientasi filosofi, yaitu pertama lambang keprofesionalan adalah adanya sertifikat, lissensi, dan akreditasi. Akan tetapi penggunaan lambang ini tidak diminati karena berkaitan dengan aturan-aturan formal. Pendekatan kedua yang digunakan untuk tingkat keprofesionalan adalah pendekatan sikap individu, yaitu pengembangan sikap individual, kebebasan personal, pelayanan umum dan aturan yang bersifat pribadi. Yang penting bahwa layanan individu pemegang profesi diakui oleh dan bermanfaat bagi penggunanya. Pendekatan ketiga: electic, yaitu pendekatan yang menggunakan prosedur, teknik, metode dan konsep dari berbagai sumber, sistim, dan pemikiran akademis. Proses profesionalisasi dianggap merupakan kesatuan dari kemampuan, hasil kesepakatan dan standar tertentu. Pendekatan ini berpandangan bahwa pandangan individu tidak akan lebih baik dari pandangan kolektif yang disepakati bersama. Sertifikasi profesi memang diperlukan, tetapi tergantung pada tuntutan penggunanya.
Kedua, Orientasi Perkembangan menekankan pada enam langkah pengembangan profesionalisasi, yaitu:
a. Dimulai dari adanya asosiasi informal individu-individu yang memiliki minat terhadap profesi.
b. Identifikasi dan adopsi pengetahuan tertentu.
c. Para praktisi biasanya lalu terorganisasi secara formal pada suatu lembaga.
d. Penyepakatan adanya persyaratan profesi berdasarkan pengalaman atau kualifikasi tertentu.
e. Penetuan kode etik.
f. Revisi persyaratan berdasarkan kualifikasi tertentu (termasuk syarat akademis) dan pengalaman di lapangan.
Ketiga, Orientasi Karakteristik. Profesionalisasi juga dapat ditinjau dari karakteristik profesi/pekerjaan. Ada delapan karakteristik pengembangan profesionalisasi, satu dengan yang lain saling terkait:
a. Kode etik
b. Pengetahuan yang terorganisir
c. Keahlian dan kompetensi yang bersifat khusus
d. Tingkat pendidikan minimal yang dipersyaratkan
e. Sertifikat keahlian
f. Proses tertentu sebelum memangku profesi untuk bisa memangku tugas dan tanggung jawab
g. Kesempatan untuk penyebarluasan dan pertukaran ide di antara anggota profesi
h. Adanya tindakan disiplin dan batasan tertentu jika terjadi malpraktek oleh anggota profesi
Keempat. Orientasi Non-Tradisional. Perspektif pendekatan yang keempat yaitu prespektif non-tradisonal yang menyatakan bahwa seseorang dengan bidang ilmu tertentu diharapkan mampu melihat dan merumuskan karakteristik yang unik dan kebutuhan dari sebuah profesi. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi elemen-elemen penting untuk sebuah profesi, misalnya termasuk pentingnya sertifikasi profesional dan perlunya standarisasi profesi untuk menguji kelayakannya dengan kebutuhan lapangan. Tentu saja, pekerjaan guru tidak diragukan untuk dapat dikatakan sebagai profesi pendidikan dan pengajaran. Namun, hingga kini “pekerjaan untuk melakukan pendidikan dan pengajaran” ini masih sering dianggap dapat dilakukan oleh siapa saja. Inilah tantangan bagi profesi guru. Paling tidak hal ini masih sering terjadi di lapangan. Profesionalisme guru perlu didukung oleh suatu kode etik guru yang berfungsi sebagai norma hukum dan sekaligus sebagai norma kemasyarakatan. Kelembagaan profesi guru sangat diperlukan untuk menghindari terkotak-kotaknya guru karena alasan struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu.
Sedangkan menurut Syafruddin Nurdin, kata profesional berasal dari profesi yang diartikan sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut di dalam science dan teknologi yang digunakan sebagai prangkat dasar untuk di implementasikan dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat.(Nurdin:2002,16) Sedang persyaratannya menurut Uzer Usman adalah:
· Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
· Menemukan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
· Menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai.
· Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan.
· Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
· Memiliki kode etik sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
· Memiliki klien/objek layanan ysng tetap, seperti guru dengan muridnya.
· Diakui oleh masyarakat, karena memang jasanya perlu dimasyarakatkan. (Usman: 2002, 15)
Dari pengertian di atas, bahwa profesi adalah suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut, profesi juga memerlukan keterampilan melalui ilmu pengetahuan yang mendalam, ada jenjang pendidikan khusus yang mesti dilalui sebagai sebuah persyaratan. Jika disandangkan kata professional kepada guru, maka menurut Danim (1994,53), “Guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan persyaratan yang dituntut oleh profesi keguruan”
Kalau begitu guru profesional adalah guru yang senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan dalam interaksi belajar mengajar, serta senantiasa mengembangkannya kemampuannya secara berkelanjutan, baik dalam segi ilmu yang dimilikinya maupun pengalamannya. Dengan cara demikian menurut Uzer Usman “Dia akan memperkaya diri dengan berbagai ilmu pengetahuan untuk melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dalam intraksi belajar mengajar sehingga dengan kemampuannya baik dalam hal metode mengajar, gaya mengajar ataupun penyampaian materi pelajaraan bias menyukseskan intraksi belajar mengajar atau pun proses belajar mengajar”. (Usman: 2002,9)
Pendidik (guru) adalah tenaga profesional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 39 ayat 2, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 2 ayat 1, UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Pasal 28 ayat (1) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Mengacu pada landasan yuridis dan kebijakan tersebut, secara tegas menunjukkan adanya keseriusan dan komitmen yang tinggi pihak Pemerintah dalam upaya meningkatkan profesionalisme dan penghargaan kepada guru yang muara akhirnya pada peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Sesuai dengan arah kebijakan di atas, Pasal 42 UU RI No. 20 Tahun 2003 mempersyaratkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 28 ayat (1) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; dan Pasal 8 UU RI No 14, 2005 yang mengamanatkan bahwa guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal D4/S1 dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, yang meliputi kompetensi kepribadian, pedagogis, profesional, dan sosial. Kompetensi guru sebagai agen pembelajaran secara formal dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Kualifikasi akademik minimum diperoleh melalui pendidikan tinggi, dan sertifikat kompetensi pendidik diperoleh setelah lulus ujian sertifikasi.(Djamarah: 2002,74)
C. Sertifikasi Sebagai Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru AUD
Utami, dkk (2013) menjelaskan, sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru yang telah memenuhi prasyarat. Sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilakukan oleh LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan pemerintah. Berdasarkan peraturan pemerintah RI nomor 74 tahun 2009 tentang guru, pelaksanaan sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilakukan dengan dua cara yaitu uji kompetensi melalui penilaian portofolio dan pemberian sertifikat pendidik secara langsung bagi guru dalam jabatan dilakukan dengan dua cara yaitu uji kompetensi melalui penilaian portofolio dan pemberian sertifikat pendidik secara langsung bagi guru yang memenuhi persyaratan.
Peserta sertifikasi melalui penilaian portofolio yang belum mencapai skor minimal kelulusan, diharuskan (a) untuk melengkapi portofolio, atau (b) mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG) yang diakhiri dengan ujian. Untuk menjamin standarisasi mutu proses dan hasil PLPG. Modul bahan ajar PLPG ini digunakan sebagai sumber acuan bagi instruktur dan peserta dalam proses belajar mengajar selama kegiatan PLPG.
Dorongan pemerintah ini sangat positif untuk mengembalikan kesasdaran bahwa Maka, guru harus beratanggung jawab terhadap profesionalisme dirinya sendiri. Semua itu terpulang dan ditentukan oleh para guru itu sendiri serta harus dimulai sejak awal guru mengabdikan diri di PAUD. Dengan adanya tuntutan untuk peningkatan kualitas profesionalisme guru, maka guru harus selalu berusaha melakukan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, memahami tuntutan standar profesi yang ada, yaitu guru berupaya memahami tuntutan standarprofesi yang ada dan ditempatkan sebagai prioritas utama jika guru ingin meningkatkanprofesionalismenya. Hal ini didasarkan kepada beberapa alasan, yaitu [1] persaingan global sekarang memungkinkan adanya mobilitas guru secara lintas negara, [2] sebagaiprofesional seorang guru harus mengikuti tuntutan perkembangan profesi secara global,dan tuntutan masyarakat yang menghendaki pelayanan vang lebih baik, [3] untuk memenuhi standar profesi ini, guru harus belaiar secara terus menerus sepanjanghayat, [4] guru harus membuka diri, mau mendengar dan melihat perkembangan baru di bidangnya.
Kedua mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan, artinya upaya untukmencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan bagi guru.Maka, dengan dipenuhinya kualifikasi dan kompetensi yang memadai, guru memiliki posisi tawar yang kuat dan memenuhi syarat yang dibutuhkan.
Ketiga, membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas termasuk lewat organisasi profesi. Upayamembangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas dapat dilakukan guru denganmembina jaringan kerja atau networking. Guru harus berusaha mengetahui apa yang telah dilakukan oleh sejawatnya yang sukses.Sehingga bisa belajar untuk mencapai sukses yang sama atau bahkan bisa lebih baik lagi. Melalui networking inilah guru memperoleh akses terhadap inovasi- inovasi di bidang profesinya dan akses sosial yang lainnya.
Keempat, mengembangkan etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelayanan bermutu tinggi kepada pengguna pendidikan, merupakan suatu keharusan di era reformasi pendidikan sekarang ini. Artinya, semua sektor dan bidang dituntut memberikan pelayanan prima kepada kastemer atau pengguna. Maka, Guru pun harus memberikan pelayanan prima kepada pengguna yaitu siswa, orangtua dan sekolah sebagai stakeholder. Terlebih lagi pelayanan pendidikan adalah termasuk pelayanan publik vang didanai, diadakan, dikontrol oleh dan untuk kepentingan publik. Dengan demikian, guru harus mempertanggung-jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik.
Kelima, mengadopsi inovasi atau mengembangkan kreativitas dalam pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi mutakhir agar guru senantiasa tidak ketinggalan tidak “gaptek” [gagap teknologi] dalam kemampuannya mengelola pembelajaran. Guru dapat memanfaatkan media dan ide-ide baru bidang teknologi pendidikan seperti media presentasi dengan menggunakan LCD dan komputer [hard technologies] dan juga pendekatan-pendekatan baru bidang teknologi pendidikan, menggunakan internet sebagai media pembelajaran. Sebab, perkembangan teknologi “informasi dan internet” merupakan faktor pendukung utama percepatan yang memungkinkan tembusanya batas-batas dimensi ruang dan waktu yang tentu juga akan berpengaruh pada paradigm pendidikan termasuk profesi guru dalam menjalankan tugasnya. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta perubahan masyarakat yang lebih demokratis, terbuka dan era reformasi pendidikan akan menghasilkan suatu tekanan atau pressure dan tuntutan terhadap profesionalisme guru dalam mendayagunakan teknologi komunikasi informasi tersebut, termasuk dalam hal pertanggungjawaban atau akuntabilitasnya profesinya, sebab profesi guru termasuk profesi yang kompetitif. Dengan demikian, guru harus siap dan bersedia untuk diuji kompetensinya secara berkala untuk menjamin agar kinerjanya tetap memenuhi syarat profesional yang terus berkembang. Sebab, di masa depan dapat dipastikan bahwa profil kelayakan guru akan ditekankan kepada aspek-aspek kemampuan membelajarkan siswa yang dimulai dari merencanakan atau merancang, menganalisis, mengembangkan, mengimplementasikan dan menilai pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan.
D. Penutup
Sumber permasalahan profesionalisme pendidik AUD di Indonesia memang kompleks. perhatian pemerintah dan masyarakat, dana, kurikulum, metologi, manajemen, pimpinan sekolah yang memiliki kemampuan profesional dan integritas dalam mengelola pendidikan, adalah bagian kompleksitas persoalan tersebut. Namun, sertifikasi memberikan makna positif agar guru PAUD tetap konsisten meningkatkan profesionalisme dirinya sendiri melalui stimulan sertifikasi guru PAUD.
Rendahnya kualitas tenaga kependidikan, merupakan masalah pokok yang dihadapi PGPAUD di Indonesia. Dampaknya, tuntutan terhadap lulusan dan layanan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja di bidang PAUD dindonesia. Ancaman semakin nyata di era globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang memungkinkan peluang lembaga pendidikan asing membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan antar lembaga penyelenggara pendidikan dan pasar kerja akan semakin berat.
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan kecuali hanya mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan.
Daftar Pustaka
Ade Dwi Utami dkk. 2013. Modul PLPG Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Konsorsium Sertifikasi Guru
Ahmad Zain Sarnoto. 2012. Profesionalisme Guru Dan Peningkatan Mutu Pendidikan, dalam Proceeding Seminar Nasional Pendidikan “Penilaian Kinerja Guru dalam Era Sertifikasi” Yogyakarta, 14 Juni 2012.
Mulyasa. 2002. Manajemen berbasis Sekolah, Konsep Strategi dan Implementasi. Bandung:, Remaja Rosdakarya
Jerry W Gilley dan Steven A. Eggland. 1989. Principles of Human Resources Development. New York: Addison Wesley Pub. Company. Inc
Martha Christianti. 2012. Profesionalisme Pendidik Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak, Volume 1, Edisi 1, Juni 2012, h. 112-122.
Muhammad Uzer Usman. 2002. Menjadi Guru Profesional. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Sallis, Edward. 1993. Total Quality Management in Education. London: Kogam Page.
Sudarman Danim. 1994. Media Komunikasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. Syafruddin Nurdin. 2002. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Jakarta:
Ciputat Pers.
Syaiful Bahri Djamarah. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Syamsidah. 2014. Menyiasati Penilaian Kinerja Guru dengan Etos Kerja, Jurnal
Pendidikan Anak. Volume 3, Edisi 1, Juni 2014, h. 414-419.
Umaedi. 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Ditjen Dikdasmen Depdiknas
Wen, Sayling. 2003. Future of Education (Masa Depan Pendidikan). alih bahasa Arvin Saputra, Batam: Lucky Publisher
0 Response to "Profesionalisme Pendidik Anak Usia Dini"
Post a Comment