Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi


“PROSEDUR DAN SISTEM PERUBAHAN KONSTITUSI” 


A. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi 

1. Pengantar 

Prof. Dr. H. R. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H., salah seorang pakar Hukum Tata Negara Indonesia, menyatakan bahwa perubahan Undang-Undang Dasar pada dasarnya merupakan suatu keniscayaan. Hal itu berpijak pada masalah dasar yang dihadapkan kepada kita adalah “dapatkah generasi yang hidup sekarang ini mengikat generasi yang akan datang ?” Perkataan “sekarang” dalam kalimat di atas dapat pula diubah menjadi “yang lalu’, sehingga persoalannya akan berbunyi “dapatkah generasi yang lalu mengikat generasi yang hidup sekarang ini?”

Bila persoalan dimaksud diterapkan pada konstitusi atau undang-undang dasar, akan timbul pertanyaan apakah “konstitusi yang disusun oleh para pendahulu kita dapat di ubah?”. Dalam suasana yang tidak memungkinkan bagi para penyelenggara negara melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 945, pada tahun 1978, Prof. Dr. H. R. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. (selanjutnya disebut dengan Penulis) telah mempunyai keberanian untuk melakukan penelitian tentang kemungkinan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang berupa constitutional amandemen. 

Hampir dua puluh delapan tahun kemudian, perubahan UUD 1945 secara formal dilakukan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Tahun 1999. Hal ini menunjukkan kepakaran Penulis dan kemampuanya berpikir jauh ke depan. Guna mempelajari pola dan landasan pikir Penulis, penyusun mencoba mengupas buku Penulis yang berjudul “Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi” berdasarkan pengetahuan Penyusun yang didapat dari sumber referensi dan bahan bacan lain. Khusus pada bagian ini, penyusun mencoba menyarikan pemikiran-pemikiran Penulis yang dituangkan dalam buku dimaksud. 


2. Undang-Undang Dasar 1945 

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai kontitusi tertulis merupakan konstitusi yang dituangkan dalam dokumen formal. Menurut sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 dirancang oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemedekaan pada tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 16 Agustus 1945, atau hanya dalam waktu 49 (empat puluh sembilan) hari kerja. Karena disusun dalam waktu yang singkat dan dalam suasana yang kurang memungkinkan, oleh penyusunnya UUD 1945 dikatakan sebagai UUD kilat. 

Hal ini seperti dinyatakan oleh Soekarno sebagai ketua PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 : “.. bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan : ini adalah Undang-Undang Dasar Kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna..” 

Sebagai undang-undang dasar atau konstitusi sebagai dokumen, pada saat ditetapkannya Undang-Undang Dasar Negara 1945 dikenal juga dengan Undang-Undang Dasar Negara Proklamasi : 

a. hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau 

b. berisi pandangan tokok-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang 

c. mengandung atau berisi suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin. 

Satu hal yang belum tercakup yang biasanya terdapat dalam konstitusi adalah “tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa”, karena belum memungkinkan untuk dapat dilaksanakan sepenuhnya. 

Pada umumnya, undang-undang dasar atau konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu : 

1. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganegara. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, hal ini diantaranya terdapat pada Pasal 27, Pasl 28, Pasal 29, Pasal 31,dan pasal 37. 

2. ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifaf fundamental. Untuk mencapai tujuan negara, sidang BUPK telah sepakat untuk menetapkan adanya enam lembaga dalam Undang-Undang Dasar. Dalam UUD 1945 juga ditetapkan bentuk pemerintahan, yaitu Republik. Materi ini diatur dalam Pasal 1, 2, 4, 6, 7, 8, 16, 17, 18, 19, 23, dan 24. 

3. adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. Pengaturan tentang pembagian dan pembatasan tugas serta wewenang ketatanegaraan terdapat dalam pasal 3, 5, 10, 11, 23, 32, 34, 37. 

Ahli-ahli hukum tata negara dan atau hukum konstitusi mengklasifikasikan kosntitusi dalam beberapa golongan. Berdasarkan klasifikasi itu, Penulis menggolongkan Undang-Undang Dasar 1945 termasuk konstitusi tertulis dalam arti dituangkan dalam sebuah dokumen (writen or documentary constitution), konstitusi derajat tinggi (supreme constitution), konstitusi kesatuan, karena Negara Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan, dan konstitusinya menganut sistem pemerintahan campuran. Undang-Undang Dasar 1945 yang dapat disebut juga dengan hukum dasar (fundamental law) juga digolongkan Penulis dalam konstitusi yang ‘rigid’ (halaman 88), yang mempunyai ciri-ciri pokok : 

a. mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain 

b. hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa 


3. Prosedur Serta Sistem Perubahan Undang-Undang Dasar 

Apabila prosedur perubahan konstitusi-konstitusi yang termasuk rijid digolong-golongkan, diperoleh empat macam cara perubahan : 

a. perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif, tetapi menurut pembatasan-pembatasan tertentu. 

b. perubahan konstitusi dilakukan oleh rakyat melelui referandum 

c. perubahan konstitusi yang dilakukan oleh sejumlah negara-negara bagian. 

d. perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lembaga-negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan. 


4. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 

Perubahan Undang-Undang Dasar diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :
(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir 

(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir 

Dari pasal tersebut, Penulis mengemukakan bahwa: pertama, bahwa wewenang untuk mengubah Undang-Undang Dasar berada di tangan MPR. MPR terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan Utusan Daerah Tingkat 1, utusan partai politik, utusan golongan karya ABRI dan Bukan ABRI. Melihat susunan MPR tersebut dapat disimpulkan bahwa lembaga negara tersebut merupakan penjelmaan rakyat Indonesia.
Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa menetapkan serta mengubah Undang-Undang Dasar berada di tangan satu lembaga-negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lembaga-negara ini menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 diberi kekuasaan melaksanakan kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dengan jelas mengatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat. Kedaulatan yang berada di tangan rakyat ini dilakukan hanya dan oleh satu badan atau lembaga-negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Itulah sebabnya, oleh Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tentang Sistem Pemerintahan Negara dikatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut merupakan penjelmaan rakyat Indonesia.
Kedua, menurut sistem ketatanegaraan seperti dianut Undang-Undang Dasar, MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat mempunyai tugas serta wewenang tertentu. Salah satu wewenangnya seperti dinyatakan dalam Ketetapan MPR-RI Nomor I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata-Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah mengubah Undang-Undang Dasar, disamping terdapat kewenangan yang lain yang tidak terdapat dalam Undang-Undang dasar 1945. Menurut pendapat Penulis, wewenang ini merupakan tambahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. (halaman 146) 

Ketetapan MPR adalah salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang kedudukan dan derajatnya berada dibawah Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, Penulis berpendapat bahwa tidak tepat apabila prosedur penetapan UUD tersebut diatur dalam ketetapan MPR.
Ketiga, mengenai prosedur pengambilan keputusan tentang perubahan UUD yang tidak melalui Pasal 37 UUD. Dalam Pasal 37 UUD diatur bahwa perubahan Undang-Undang Dasar sah apabila diterima oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Namun, di dalam Ketatapan MPR-RI Nomor I/MPR/1983 juga menentukan bahwa pengambilan keputusan secara lain, yaitu mufakat disamping dengan suara terbanyak. Penulis mengemukakan bahwa suara terbanyak yang terdapat dalam Pasal 2 ayat 3 merupakan lex genaralis, sedangkan Pasal 37 merupakan lex specialis. 

Mengenai arti “perubahan” dalam pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945, Penulis mengemukakan bahwa “perubahan” yang juga disebut dengan “amandemen” tidak saja berarti “menjadi lain isi serta bunyi” ketentuan dalam undang-undang dasar, tetapi juga “mengandung sesuatu yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketentuan dalam undang-undang dasar yang sebelumnya tidak terdapat di dalamnya”. (halaman 172) 

Penulis juga mengemukakan bahwa wewenang MPR untuk mengubah Undang-Undang dasar termasuk dalam lingkup Hukum Tata Negara Indonesia dan atau Hukum Konstitusi Indonesia. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan Undang-Undang Dasar adalah masalah hukum. Namun, MPR sebagai pelaksana kekuasaan (dalam) negara dapat memaksa pihak lain untuk mematuhi keputusan-keputusannya. Dengan demikian, kekuasaan MPR untuk mengubah Undang-Undang Dasar juga merupakan bidng studi ilmu politik. Jadi, wewenang mengubah Undang-Undang Dasar adalah masalah hukum yang mengandung aspek politik. (halaman 179) 

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak terdapat ketentuan tentang pembatasan dalam mengubah undang-undang dasarnya. Namun demikian, sulit dinyatakan bahwa tanpa adanya perturan tentang pembatasan, berarti semua bagian dari konstitusi dapat diubah. Hal itu juga belum berarti dapat diubahnya bagian-bagian tertentu dari Undang-Undang Dasar 1945. Ditinjau dari segi politik, dapat diubah atau tidaknya bagian-bagian tertentu dari Undang-Undang Dasar 1945 bergantung kepada baik kekuatan-kekuatan politik yang terdapat dalam masyarakat maupun yang terdapat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat. Andaikata MPR -yang anggota-anggotanya dipilih dalam pemilihan umum- dikuasai oleh kekuatan politik tertentu yang tidak menghendaki adanya perubahan terhadap bagian manapun dari Undang-Undang Dasar, kekuatan politik yang lain tidak akan berhasil dalam usahanya untuk mengubah Undang-Undang Dasar tersebut. Sebaliknya, andaikata lebih dari 2/3 jumlah anggota MPR terdiri dari anggota-anggota kekuatan politik yang menghendaki adanya perubahan terhadap bagian atau bagian-bagian tertentu Undang-Undang Dasar 1945, hal itu dapat saja dilakukan. (halaman 183)
Pada waktu tulisan ini diketengahkan pada tahun 1978, Penulis berpendapat adanya dua macam kemungkinan jalan yang dapat ditempuh untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945 : 

1) Usul perubahan undang-undang dasar yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Apabila beberapa anggota DPR berpendapat perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar, maka mereka dapat mengajukan usul perubahan dalam sidang-sidang DPR. Usulan tersebut dibahas dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila usulan diterima, usulan disampaikan dalam bentuk memorandum ke Majelias Permusyawaratan Rakyat untuk selanjutnya disiapkan oleh Badan Pekerja MPR, dengan membentuk Panitia Negara yang bertugas mempelajari dan mempersiapkan rancangan keputusan tentang perubahan, dan hasilnya silaporkan kembali ke Badan Pekerja MPR. Laporan yang diterima dari panitia tadi kemudian dipelajari dan dibahas oleh Badan Pekerja MPR. Badan Pekerja MPR dapat menolak atau menerima memorandum DPR. Memorandum yang diterima oleh Badan Pekerja MPR disampaikan dalam Sidang Umum atau Sidang Istimewa MPR, untuk selanjutnya dibahas. Perubahan UUD 1945 sah bila disetujui oleh ¾ dari peserta rapat majelis yang memenuhi kuorum. 

2) Usul perubahan undang-undang dasar yang diajukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Anggota-anggota MPR (45 orang) mengajukan usul perubahan UUD ke Majelis Permusyawaratan Rakyat. Apabila diterima, usulan diteruskan ke Badan Pekerja MPR untuk dipersiapkan. Badan Pekerja MPR membentuk Panitia Negara guna mempelajari dan mempersiapkan rancangan keputusan, dan hasilnya dilaporkan ke badan Pekerja MPR. Usulan perubahan disampaikan dalam Sidang Umum atau Sidang Istimewa MPR, untuk selanjutnya dibahas. Perubahan UUD 1945 sah bila disetujui oleh ¾ dari peserta rapat majelis yang memenuhi kuorum. 

Tugas untuk menetapkan UUD serta wewenang untuk mengubah UUD berada dalam satu lembaga, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Walaupun demkian, dengan dicantumkannya tugas untuk menetapkan UUD dalam satu pasal, dan bab tersendiri mempunyai arti bahwa penetapan Undang-Undang dasar hanya dapat dilakukan satu kali saja, kecuali apabila Undang-Undang Dasar yang sedang berlaku diganti dengan yang baru. Dengan demikian, MPR menetapkan Undang-Undang Dasar dalam kedudukannya sebagai Konstituante atau Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar dan bukan Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, Pasal 37 dan Pasal 3 berisi dua kekuasaan MPR yang terpisah. Tugas MPR adalah untuk menetapkan UUD dan wewenang MPR untuk mengubah UUD. Menetapkan UUD dalam Pasal 3 tersebut berarti juga membuat Undang-Undang dasar yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar yang berlaku. Oleh karena itu, perubahan Undang-Undang Dasar tidak mungkin diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai bentuk Undang-Undang Dasar. Ini berarti bahwa dalam Negara republik Indonesia hanya dimungkinkan adanya satu Undang-Undang Dasar. (halaman 234) 

Di samping itu, perubahan undang-undang dasar tidak dapat dituangkan atau diatur dalam Ketetapan MPR karena Ketetapan MPR merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat/ditetapkan oleh MPR yang derajatnya lebih rendah dari Undang-Undang Dasar.
Selanjutnya, Penulis berpendapat agar perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 merupakan “lampiran” daripadanya. Dengan demikian, Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 tetap seperti yang dirumuskan pada tanggal 18 Agustus 1945. Perubahan undang-undang dasar yang tercantumsebagai”lampiran” merupakan satu kesatuan dengan pembukaan dan Undang-Undang Dasarnya dan tidak dapat dipisahkan.
Dikarenakan baik bentuk Undang-Undang Dasar maupun Ketetapan MPR tidak mungkin dipergunakan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan untuk menuangkan perubahan Undag-Undang dasar, maka harus diciptakan ‘bentuk baru” atau “tidak diberi bentuk sama sekali”. Dalam hubungan ini dapat dipikirkan ‘bentuk baru’ dengan nama : Perubahan atau Amandeman. Dengan demikian, apabila Undang-Undang dasar 1945 diubah, maka perubahan tersebut merupakan ‘lampiran’ daripadanya dan dapat diberi nama Perubahan/Amandeman Pertama, Perubahan/Amandemen Kedua, Perubahan/Amandemen Ketiga, dan seterusnya. Dalam hubungan ini Penulis cenderaung menggunakan istilah amandeman. 

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak diatur keharusan untuk mengumumkan keputusan-keputusan MPR, termasuk amandemen. Namun, agar keputusan-keputusan MPR dapat segera diketahui rakyat Indonedia, maka seharusnya amandeman setelah diumumkan dalam Lembaran Negara, secara serentak diumumkan melalui media masa. Karena belum ada atruannya, perlu diadakan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut. (halaman 252) 

Sehubungan dengan pelaksanaan wewenang mengubah Undang-Undang Dasar, Penulis berpendapat bahwa pembicaraan tentang perubahan undang-undang dasar harus dilakukan dalam sidang-sidang dengan acara khusus untuk itu agar memberi kesempatan kepada para anggota MPR untuk mempelajari pikiran-pikiran yang hidup di kalangan masyarakat. Dengan kata lain, segala hal yang dikemukakan dalam sidang-sidang MPR akan mempunyai landasan yang cukup kuat. (halaman 256). Sebaliknya, Keputusan MPR yang ditetapkan tanpa prosedur khusus dimaksud harus dinyatakan tidak sah karena usul perubahan undang-undang dasar tersebut tidak diberitahukan lebih dahulu kepada para anggota MPR sehingga tidak mendapat cukup kesempatan untuk mempelajari masak-masak usul tersebut. 


B. PEMBAHASAN 


1. Penetapan UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia 

Dalam sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 resmi disahkan berlaku sebagai konstitusi negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Namun demikian, Undang-Undang Dasar 1945 ini tidak langsung dijadikan referensi dalam setiap pengambilan keputusan kenegaraan dan pemerintahan[1]. Padahal, apabila kita mengkaji asal-usul konstitusi, secara praktis konstitusi disusun dan diadopsi karena rakyat ingin membuat permulaan yang baru, sejauh berkaitan dengan sistem pemerintahan mereka[2]. Pada saat itu, Undang-Undang Dasar 1945 pada pokoknya benar-benar dijadikan alat saja untuk sesegera mungkin membentuk negara merdeka yang bernama Republik Indonesia. Atau dengan kata lain, Undang-Undang Dasar 1945 hanya ditempatkan sebagai alat kelengkapan suatu negara yang baru saja menyatakan kemerdekaanya, oleh karena itu Undang-Undang Dasar 1945 dikenal juga dengan Undang-Undang Dasar Proklamasi. Hal ini juga bisa terlihat dari pernyataan kemerdekaan Bangsa Indonesia sebagai hasil perjuangann politik di masa lampau yang termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara 1945. 

Seperti telah sebutkan di atas, Penulis mengemukakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya memang dimaksudkan sebagai Undang-Undang sementara yang menurut istilah Ir. Soekarno, sebagai Ketua PPKI, merupakan ‘revolutie-grondwet’ atau Undang-Undang Dasar Kilat, yang memang harus diganti dengan yang baru apabila negara merdeka sudah berdiri dan keadaan sudah memungkinkan. Pernyataan “kesementaraan” ini juga dicantumkan pula dengan tegas dalam ketentuan asli Pasal I dan II Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945 sendiri yang berbunyi [3]:

(1) Dalam enam bulan sesudah ahirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini
(2) Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan undang-undang dasar. 

Adanya ketentuan Pasal II Aturan Tambahan ini juga menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang bersifat tetap barulah akan ada setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkannya secara resmi[4]. Akan tetapi, sampai Undang-Undang Dasar 1945 diubah pertama kali pada tahun 1999, Majelis Permusyawaratan Rakyat yang ada berdasarkan Undag-Undang Dasar 1945 belum pernah sekalipun menetapkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Prof. Dr. Harun Alrasid, S.H., sebagai seorang guru besar hukum tata negara yang dikenal sangat kritis, terus menerus menyampaikan pendapatnya bahwa Undang-Undang Dasar 1945 harus lebih dulu ditetapkan menurut ketentuan pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945, barulah kemudian diubah sesuai ketentuan Pasal 37[5].

Prof. Dr. H. R. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H., dalam bukunya tersebut tidak mengemukakan prosedur untuk menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebelum diadakan perubahan. Untuk permasalahan ini, Penyusun memilih berpendapat untuk setuju dengan pendapat Prof. Dr. Harun Alrasid, S.H. dan pendapat di kalangan akademis yang menyatakan bahwa sebelum Undang-Undang Dasar 1945 dapat diadakan perubahan, terlebih dulu harus ditetapkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 


2. Undang-Undang 1945 Sebagai Konstitusi Yang Luwes 

Setiap negara yang ada di dunia mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Apabila semua konstitusi-konsitusi semua negara diperbandingkan satu dengan yang lain, dapat dilakukan penggolongan atau klasifikasi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Ahli-ahli hukum tata negara dan atau hukum konstitusi berusaha mengadakan klasifikasi yang menurut anggapan mereka dapat dipertanggungjawabkan. 

Salah satu metode pengklasifikasian konstitusi dimaksud adalah klasifikasi menurut metode yang dengannya konstitusi dapat diamandemen. Metode pengklasifikasian ini biasanya digambarkan sebagai pengklasifikasian ke dalam konstitusi yang fleksibel dan konstitusi yang kaku (rigid), sebuah pengklasifikasian yang berasal dari Lord Bryce dan dijelaskan dalam bukunya Studies in History of Jurisprudence. Ketika tidak ada proses khusus yang diperlukan untuk mengandemen Konstitusi, maka konstitusi itu disebut fleksibel, namun sebaliknya, apabila dalam mengandemen konstitusi diperlukan proses khusus maka konstitusi itu disebut kaku[6].
Berbeda dengan pendapat Penulis yang menggolongkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam konstitusi yang rigid, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengemukakan bahwa secara teoritis dan normatif Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dapat disebut sebagai konstitusi yang bersifat ‘fleksibel’ atau tidak ‘rigid’ [7]. Undang-Undang Dasar 1945 hanya memuat ketentuan yang bersifat umum, maka kosntitusi itu kadang-kadang disebut ‘soepel’ dalam arti lentur dalam penafsirannya. Makin ringkas susunan suatu Undang-Undang Dasar, maka makin ‘soepel’ dan ‘fleksibel’ penafsiran Undang-Undang Dasar itu sebagai hukum dasar.
Dalam kaitan ini, Penyusun sependapat dengan pendapat terakhir. Empat perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945, yaitu ada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang dilaksanakan ‘tanpa’ proses khusus menambah keyakinan Penyusun bahwa Undang-Undang Dasar 1945 termasuk dalam klasifikasi konstitusi yang flexible atau tidak kaku (rigid). 


3. Kelemahan Undang-Undang Dasar 1945 

Terlepas dari persoalan apakah Undang-Undang Dasar 1945 masih bersifat sementara ataukah dianggap sebagai Undang-Undang Dasar tetap, Undang-Undang Dasar 1945 memiliki berbagai kelemahan yang melekat di dalamnya. Berbagai kelemahan itu menyebabkan kegagalan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai penjaga dasar pelaksanaan prisnsip demokrasi dan negara berdasar atas hukum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia [8]:
a. Struktur Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang sangat besar terhadap Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Presiden tidak hanya sebagai pemegang dan menjalankan kekuasaan pemerintahan, tetapi juga menjalankan kekuasaan untuk membentuk undang-undang, disamping hak konstitusioal khusus (hak prerogratif)
b. Struktur Undang-Undang Dasar 1945 tidak cukup memuat sistem check and balances antar cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak melampaui wewenang. 

c. Terdapat berbagai ketentuan yang tidak jelas yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan konstitusi, misalnya tentang pemilihan kembali presiden, “kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” yang dapat memandang Dewan Perwakilan Rakyat tidak melakukan kedaulatan rakyat, dan ketentuan lainnya.
d. Sruktur Undang-Undang Dasar 1945 banyak mengatur ketentuan organik (undang-undang organik) tanpa disertai arahan tertentu materi muatan yang harus dipedomani. Akibatnya, dapat terjadi perbedaan-perbedaan antara undang-undang organik yang serupa atau obyek yang sama, meskipun sama-sama dibuat atas dasar Undang-Undang Dasar 1945. 

e. Tidak ada kelaziman Undang-Udang Dasar memiliki penjelasan yang resmi. Apalagi kemudian, baik secara hukum atau kenyataan, Penjelasan diperlakukan dan mempunyai kekuatan hukum seperti Batang Tubuh Undang-Undang Dasar. Padahal, Penjelasan Undang-Undang 1945 bukan hasil kerja badan yang menyusun dan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 (BPUPKI dan PPKI), melainkan hasil kerja pribadi Supomo. 

Disamping itu, dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga dijumpai beberapa kekosongan : muatan tentang hak asasi manusia yang sangat terbatas, tidak ada ketentuan yang mengatur pembatasan kembali sebagai presiden, tidak ada aturan pembatasan waktu pengesahan RUU yang telah disetujuai DPR. Sebagai akibat dari berbagai kelemahan tersebut, pengalaman praktis politik selama orde lama dan orde baru, Undang-Undang dasar 1945 telah menjadi instrumen politik yang ampuh untuk membenarkan berkembangnya otoritarianisme yang menyuburkan praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. 


4. Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat 

Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pada saat Penulis menyusun buku berkenaan, Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Kepada lembaga inilah presiden, sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan bertunduk dan bertanggung jawab. Dalam lembaga ini pula kedaulatan rakyat Indonesia telah terjelma seluruhnya, dan lembaga ini pula yang dianggap sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Dari lembaga tertinggi MPR inilah, mandat kekuasaan kenegaraan dibagi-bagi kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya sesuai prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. 

Sekarang, dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah Perubahan Kempat, Organ MPR juga tidak dapat lagi dipahami sebagai lembaga yang lebih tinggi kedudukannya daripada lembaga negara yang lain atau yang biasa dikenal dengan sebutan lembaga tertinggi negara[9]. Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga yang sederajad levelnya dengan lembaga-lembaga lain seperti DPR, DPD, Priseden/Wakil Presiden, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan dalam fungsinya, organ MPR dapat dikatakan bukanlah organ yang yang pekerjaannya bersifat rutin. Meskipun di atas kertas, MPR sebagai lembaga negara memang harus ada, tetap dalam arti yang aktual atau nyata, organ MPR itu sendiri sebenarnya baru dapat dikatakan ada pada saat kewenangan atau fungsinya sedang dilaksanakan. Kewenangan itu adalah mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, memberhentikan priseden atau wakil presiden untuk mengisi lowongan jabatan presiden, dan melantik presiden dan/atau wakil presiden. 

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ketentuan mengenai MPR dirumuskan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Dengan demikian, MPR tidak dikatakan terdiri dari atas DPR dan DPD, melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Dengan demikian, MPR merupakan lembaga yang tidak terpisah dari institusi DPR dan DPD.[10]
Kewenangan MPR tersebut di atas tidak tercakup dan terkait dengan kewenangan DPR atau DPD, sehingga sidang MPR untuk mengambil menganai keempat hal tersebut sama sekali bukanlah sidang gabungan antara DPR dan DPD, melainkan sidang MPR sebagai lembaga tersendiri[11].


5. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 

Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali. Hal ini membuktikan bahwa bangsa dan negara Indonesia, pada akhirnya, dapat menerima gagasan yang disuarakan oleh Penulis bahwa perubahan Undang-Undang Dasar merupakan suatu keniscayaan. 

Faktor utama yang menentukan pembaharuan Undang-Undang Dasar adalah berbagai (pembaharuan) keadaan di masyarakat[12]. Dorongan demokratisasi, pelaksanaan paham negara kesejahteraan, perubahan pola dan sistem ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi pendorong utama pembaharuan Undang-Undang dasar. Demikian pula peranan Undang-Undang Dasar itu sendiri juga sangat tergantung pada masyarakatnya. Hanya masyarakat yang berkehendak dan mempunyai tradisi menghormati dan menjunjung tinggi Undang-Undang Dasar (konstitusi pada umumnya), yang akan mennetukan Undang-Undang dasar tersebut akan dijalankan sebagaimana mestinya. 

Pada dasarnya, perubahan konstitusi atau undang-undang dasar harus berlandaskan pada nilai-nilai paradigmatik yang timbul dari tuntutan perubahan itu sendiri[13]. Paradigma itu mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip penting yang mendasar atau jiwa perubahan konstitusi. Kemana perubahan Undang-Undang Dasar mau dibawa, sangat tergantung pada paragdima yang dominan saat itu.

Pembaharuan Undang-Undang Dasar dimanapaun di dunia ini terutama tidak ditentukan oleh tata cara resmi (formal) yang harus dilalui. Pembaharuan Undang-Undang Dasar dapat terjadi dengan berbagai cara, selain dengan tata cara formal, pembaharuan UUD dapat terjadi melalui hukum adat, konvensi, putusan hakim-atau peraturan perundang-undangan biasa, seperti ketetapan MPR atau undang-undang[14]. Tata cara resmi Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dalam Pasal 37.

Guru Besar Fakultas Hukum UII dan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam acara yang membahas perubahan UUD 1945 di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (15/4) menyampaikan bahwa jika ingin mengubah UUD 1945 secara komprehensif yang harus dilakukan adalah merubah pasal 37 UUD 1945. Menurut Mahfud dalam pasal 37 UUD 1945 ayat (1) dan (2) menentukan bahwa perubahan hanya dilakukan pada pasal-pasal yang dianggap perlu diubah dan tidak secara satu paket yang komprehensif[15].

Selanjutnya, perubahan pasal 37 UUD 1945 dimaksud diarahkan pada dua alternatif yakni : pertama, perubahan UUD ditetapkan oleh MPR tetapi naskahnya disiapkan oleh sebuah komisi negara yang khusus dibentuk untuk menyiapkan rancangan UUD. MPR tinggal melakukan pemungutan suara tanpa membahas lagi rancangan yang telah disiapkan oleh komisi negara tersebut. Komisi negara ini, harus terdiri dari negarawan atau tokoh-tokoh yang integritasnya dikenal luas serta tidak partisan. Komisi negara dapat dibentuk oleh MPR yang anggotanya dapat diusulkan oleh presiden, masyarakat, dan lembaga-lembaga lainnya. Kedua, perubahan UUD dapat dilakukan secara referendum atas rancangan perubahan yang disiapkan oleh komisi negara yang dibentuk oleh presidenm. MPR harus mengesahkan hasil referendum tanpa pemungutan suara lagi. Jika alternatif ini yang dipilih maka bersamaan dengan perubahan atas pasal 37 harus pula diubah ketentuan pasal 2 ayat (3) yang menentukan bahwa segala keputusan MPR ditetapkan berdasarkan suara yang terbanyak agar terbuka kemungkinan untuk MPR langsung menyetujui hasil referendum. 


C. KESIMPULAN 

Generasi yang hidup sekarang tidak dapat mengikat generasi yang akan datang. Demikianlah masalah dasar yang merupakan titik tolak Prof. Dr. H. R. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. dalam melakukan penelitian dan pembahasan yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi” Dengan alasan itulah, sebuah konstitusi atau undang-undang dasar sebaiknya mencantumkan kententuan untuk memungkinkan perubahan atasnya di kemudian hari. 

Demikian pula dengan Undang-Udang Dasar Tahun 1945. Perubahan terhadap UUD 1945 dimungkinkan berdasarkan Pasal 37 UUD itu sendiri. Dalam suasana yang tidak memungkinkan melakukan perubahan terhadap UUD 1945, Penulis telah berani untuk melakukan penelitian tentang kemungkinan perubahan terhadap UUD 1945. Dan terbukti, dua puluh tahun kemudian, pendapat Penulis dipakai dalam melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. 

Sejatinya, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan undang-undang dasar yang oleh penyusunnya dimaksudkan sebagai Undang-Undang Dasar Sementara, dengan harapan setelah suasana kenegaraan memungkinkan dan Majelis Permusyawaratan Rakyat terbentuk, MPR segera menetapkan Undang-Undang yang definitif. Namun dalam perkembangannya, Undang-Undang dimaksud tidak pernah ditetapkan sampai dengan ditetapkannya Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999. 

Seiring dengan semangat reformasi, wacana untuk memperbaharui Undang-Undang Dasar pun bergulir. Undang-Undang Dasar 1945 dipandang mengandung berbagai kelemahan, disamping terdapat kekosongan hukum di dalamnya yang telah menjadi instrumen politik yang ampuh untuk membenarkan berkembangnya otoritarianisme yang menyuburkan praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Akhirnya, sampai saat ini Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali menuju ke arah ketatanegaraan yang lebih baik.
Perubahan yang dilakukan dengan jalan memberikan naskah tambahan menurut sistem amandemen seperti halnya yang berlaku di negara Amerika Serikat. Bentuk peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah Perubahan Undang-Undang Dasar yang mempunyai kedudukan sederajat dengan Undang-Undang Dasar. 

Berdasarkan Perubahan Keempat UUD 1945, usulan perubahan Pasal-Pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah MPR, dan putusannya dapat dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangya 50% ditambah satu dari seluruh anggota yang MPR dalam sidang yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Perubahan berdasarkan usulan dari anggota MPR ini bila dilihat ke belakang, sesuai dengan pendapat Penulis.Pembatasan ini dimaksudkan agar Perubahan Undang-Undang dasar tidak dilakukan secara serampangan untuk kepentingan kelompok / golongan tertentu dan demi untuk menjaga kedudukannya sebagai hukum dasar. 

Akhirnya, untuk lebih menjamin Perubahan Undang-Undang Dasar itu didasari oleh nilai-nilai paradigmatik kebangsaan dan kesejahteraan rakyat, perlu dibentuk sebuah komisi negara yang anggotanya terdiri dari negarawan atau tokoh-tokoh yang integritasnya dikenal luas serta tidak partisan untuk mempelajari dan mengupas secara mendalam setiap usulan Perubahan Undang-Undang Dasar disinergikan dengan mekanisme perubahan Undang-Undang secara formal oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. 

Pada perkuliahan Teori Hukum Konstitusi, kita telah mengetahui fungsi konstitusi pada suatu Negara sangat penting. Kontitusi merupakan sumber hukum yang menjadi pokok aturan dan dasar jalannya pemerintahan suatu Negara. Bukan hanya di Negara kita, di Negara yang sudah berdaulat pasti memiliki konstitusi. Reformasi politik dan ekonomi yang bersifat menyeluruh tidak mungkin dilakukan tanpa diiringi oleh reformasi hukum. Namun reformasi hukum yang menyeluruh juga tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh agenda reformasi ketatanegaraan yang mendasar, dan itu berarti diperlukan adanya constitutional reform yang tidak setengah hati. 

Perubahan konstitusi dipengaruhi oleh seberapa besar badan yang diberikan otoritas melakukan perubahan memahami tuntutan perubahan dan seberapa jauh kemauan anggota badan itu melakukan perubahan. Perubahan konstitusi tidak hanya bergantung pada norma perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh kelompok elite politik yang memengang suara mayoritas di lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan konstitusi. Lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan harus berhasil membaca arah perubahan yang dikendaki oleh masyarakat yang diatur secara kenegaraan. 


Perubahan konstitusi harus didasarkan pada paradigma perubahan agar perubahan terarah sesuai dengan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Paradigma ini digali dari kelemahan sistem bangunan konstitusi lama, dan dengan argumentasi diciptakan landasan agar dapat menghasilkan sistem yang menjamin stabilitas pemerintahan dan memajukan kesejahteraan rakyat. Paradigma ini mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip penting dan mendasar atau jiwa(gheist) perubahan konstitusi. Nilai dan prinsip itu dapat digunakan untuk menyusun telaah kritis terhadap konstitusi lama dan sekaligus menjadi dasar bagi perubahan konstitusi atau penyusunan konstitusi baru. 

Di samping persoalan paradigma dalam perubahan konstitusi, juga perlu diperhatikan aspek teoritik dalam perubahan konstitusi yang akan mencakup masalah prosedur perubahan, mekanisme yang dilakukan, sistem perubahan yang dianut, dan substansi yang akan diubah. Setiap konstitusi tertulis lazimnya selalu memuat adanya klausul perubahan di dalam naskahnya, sebab betapapun selalu disadari akan ketidaksempurnaan hasil pekerjaan manusia membuat dan menyusun UUD. Selain itu, konstitusi sebagai acuan utama dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu kontrak sosial yang merefleksikan hubungan-hubunganan kepentingan dari seluruh komponen bangsa dan sifatnya sangat dinamis. Dengan demikian, konstitusi memerlukan peremajaan secara periodik karena dinamika lingkungan global akan secara langsung atau tidak langsung menimbulkan pergeseran aspirasi masyarakat. 


A. Perubahan Konstitusi Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi 

1. UUD 1945 periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 

Pada saat proklamasi kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945, Negara Republik Indonesia belum memiliki konstitusi atau UUD, namun sehari kemudian tepatnya, 18 Agustus 1945, Panitia Pesiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang pertama yang salah satu keputusanya adalah mengesahkan UUD yang kemudian disebut UUD 1945. Mengapa UUD 1945 tidak disahkan oleh MPR sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 UUD 1945? sebab, saat itu MPR belum dibentuk. 

Naskah UUD yang disahkan oleh PPKI tersebut disertai penjelasanya dimuat dalam Berita Rebuplik Indonesia No. 7 tahun II 1945 tersebut terdiri atas tiga bagian yaitu Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Perlu dikemukakan bahwa Batang Tubuh terdiri atas 16 bab yang terbagi menjadi 37 pasal, serta 4 Pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan. 

Bagaimana sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 saat itu? 

Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui antara lain tentang bentuk Negara, kedaulatan, dan sistem pemerintahan. 

Mengenai bentuk Negara diatur dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara kesatuan berbentuk republik”. Sebagai Negara kesatuan, maka di Negara republik Indonesia hanya ada satu kekuasaan pemerintahan Negara, yaitu di tanggan pemerintah pusat. Di sini tidak ada pemerintah Negara bagian sebagiamana yang berlaku dinegara yang berbentuk serikat (federasi). Sebagai Negara yang berbentuk republik, maka kepala Negara dijabat oleh presiden. Presiden diangkat melalui suatu pemilihan, bukan berdasarkan keturunan. 

Mengenai kedaulatan diatur dalam pasal 1 ayat (2) yang menyatakan “kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawatan Rakyat” atas dasar itu, maka Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) adalah sebagai lembaga tertinggi Negara. Kedudukan lembaga-lembaga tinggi Negara yang lain berada dibawah MPR. 

Mengenai sistem pemerintahan Negara diatur dalam pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal tersebut menunjukan bahwa sistem pemerintahan menganut sistem presidensial. Dalam sistem ini, presiden selain sebagai kepala Negara juga sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri sebagai pelaksana tugas pemerintahan adalah pembantu presiden yang bertanggung jawab kepada presiden, bukan Kepala Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Perlu kalian ketahui, lembaga tertinggi dalam lembaga-lembaga tinggi Negara menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah: 

a. Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) 

b. Presiden 

c. Dewan Perrtimbangan agung (DPA) 

d. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 

e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 

f. Mahkamah Agung (MA) 

2. Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 

Perjalanan Negara baru Republik Indonesia tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan menjajah kembali Indonesia. Belanda berusaha memecah-belah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negara “boneka” seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam Negara Republik Indonesia. 

Bahkan Belanda kemudian melakukan agresi atau pendudukan terhadap ibu kota Jakarta, yang dikenal dengan Agresi Militer I pada tahun 1947 dan Agresi MIliter II atas kota Yogyakarta pada tahun 1948. Untuk menyelesaikan pertikaian Belanda denga Republik Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dengan menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda) tanggal 23 Agustus-2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari rebuplik Indonesia, BFO yaitu gabungan dari Negara-Negara boneka yang dibentuk oleh Belanda dan Belanda serta sebuah Komisi PBB untuk Indonesia. 

KMB tersebut menghasilkan tiga buah persetujuan pokok yaitu : 

1. Didirikan Negara Republik Indonesia Serikat 

2. Penyerahan kedaulatan kepada republik Indonesia serikat dan 

3. Didirikan Uni antara RIS dengan Kerajaan Inggris 

Perubaham bentuk Negara dari Negara kesatuan menjadi Negara serikat mengharuskan adanya pergantian UUD. Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD Rebublik Indonesia Serikat. Rencangan UUD tersebut oleh gelegasi RI dan delegasi BFO pada Konferensi Meja Bundar. 

Seteleh kedua belah pihak menyetujui rancangan tersebut, maka mulai 27 desember 1949 diberlakuakan suatu UUND yang diberi nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi tersebut terdiri diatas Mukadimah yang berisi 4 alenia, Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197 pasal, serta sebuah lampiran. 

Mengenal bentuk Negara dinyatakan dalam pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS yang berbunyi “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat adalah Negara hukum yang demokratis dan bentuk federasi”. Dengan berubah menjadi Negara serikat, maka di dalam RIS terdapat beberapa Negara bagian. Masing-masing memiliki kekuasaan pemerintahan di wilayah Negara bagianya. Negara-Negara bagian itu adalah: Negara republik Indonesia, Indonesia Timur, Pasundan, Jawa timur, Madura, Sumatera Selatan. Selain itu terdapat pula satuan-satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu: Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur. 

Selama berlakunya Konstitusi RIS 1949, UUD 1945 tatap berlaku tetapi hanya untuk Negara Republik Indonesia. Wilayah Negara bagian itu meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota di Yogyakarta. 

Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa berlakunya Konstitusi RIS adalah sistem Parlementer. Hal itu sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat 1 dan 2 Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa “Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Artinya, presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala Negara, tetapi bukan kepala pemerintahan. Kalau demikian, siapakah yang menjalankan dan bertanggung jawab atas tugas pemerintah? pada pasal 118 ayat (2) ditegaskan bahwa “menteri-menteri bertangungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagianya sendiri-sendiri”. Dengan demikian, yang melaksanakan dan mempertangungjawabkan tugas-tugas pemerintahan adalah menteri-menteri. Dalam sistem ini, kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri. Lalu, kepada siapakah pemerintah bertangungjawab kepada parlemen (DPR). 

3. Periode Berlakunya UUDS 1950 

Pada awal mei 1950 terjadinya penggabungan Negara-Negara bagian dalam Negara RIS, sehingga hanya tinggal tiga Negara bagian yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur. Perkembangan berikutnya adalah munculnya kesepakatan RIS yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Sumatera Timur dengan republik Indonesia untuk kembali kebentuk Kesatuan. Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950. Untuk mengubah Negara serikat menjadi Negara kesatuan diperlukan suatu UUD Negara Kesatuan. UUD tersebut akan diperoleh dengan cara memasukan isi UUD 1945 ditambah bagian-bagian yang baik dari Konstitusi RIS. 

Pada tanggal 15 Agustus 1950 ditetapkan Undang-Undang Federal No.7 tahun 1950 tentang Undang-Undang dasar sementara (UUDS) 1950, yang berlaku sejak tabggal 17 agustur 1950. Dengan demikian, sejak tanggal tersebut Konstitusi RIS 1949 diganti dengan UUDS 1950. Dan terbentukalah kembali Negara Kesatuan republik Indonesia. Undang-Undang dasar sementara 1950 terdiri atas Mukadimah, batang tubuh, yang meliputi 6 bab dan 146 pasal. 

Mengenai dianutnya bentuk Negara kesatuan dinyatakan dalam pasal 1 ayat (10 UUDS 1950 yang berbunyi “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”. 

Sistem pemerintahan yang dianut pada masa berlakunya UUDS 1950 adalah sistem pemerintahan Parlemanter. Dalam pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 ditegaskan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa “Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan, baik bersama- sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagianya sendiri-sendiri’. Hal ini berarti yang bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan adalah menteri menteri. Menteri menteri tersebut bertanggungjawab kepada parlemen (DPR). 

Perlu kalian ketahui bahwa lembaga-lembaga Negara menurut UUDS 1950 adalah : 

a. Presiden dan wakil Presiden 

b. Menteri menteri 

c. Dewan Perwakialan Rakyat 

d. Mahkamah Agung 

e. Dewan Perwakilan Keuangan 

Sesuai dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara. Sifat kesementaraan ini nampak dalam rumusan pasal 134 yang menyatakan bahwa “Konstituante (Lembaga Pembuat UUD) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini”. Anggota Konstituante dipilh melalui pemilihan umum bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10 November 1956 di Bandung. 

Sekalipun kostituante telah bekerja kurang lebih selama dua setengah tahun, namun lembaga ini masih belum berhasil menyelesaikan sebuan UUD. Faktor penyebab ketidakberhasilan tersebut adalah adanya pertentangan pendapat di antara partai-partai politik di badan konstituante dan juga di DPR serta badan-badan pemerintahan. 

Pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali ke UUD 1945. Pada dasarnya, saran untuk kembali pada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh para anggota Konstituante tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda. Oleh karena tidak memperoleh kata sepakat, maka diadakan pemungutan suara. Sekalipun sudah diadakan tiga kali pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung anjuran presiden tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang hadir. 

Atas dasar tersebut demi untuk menyelematkan bangsa dan negara, pada tanggal 05 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit presiden yang isinya adalah: 

1. Menetapkan pembubaran konstituante 

2. Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD 1950 

3. Pembentukan MPRS dan DPRS 

Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 berlaku kembali sebagai landasan konstitusiona dalam menyelenggarakan pemerintahan Republik Indonesia. 

4. UUD 1945 Periode 5 Juli 1959-19 Oktober 1999 

Praktik penyelenggaraan negara pada masa berlakunya UUD 1945 sejak 5 Juli 1959-19 Oktober 1999 ternyata mengalami berbagai pergeseran bahkan terjadinya beberapa penyimpangan. Oleh karena itu, pelaksanaan UUD 1945 selama kurun waktu tersebut dapat dipilah menjadi 2 periode yaitu periode orde lama (1959-1966), dan periode orde baru (1966-1999). 

Pada masa pemerintahan orde lama, kehidupan politik dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh Presiden dan juga MPRS yang justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Artinya, pelaksanaan UUD 1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan lemahnya kontrol yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan presiden. 


Selain itu muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanan dan kehidupan ekonomi semakin memburuk. Puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G-30-S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan negara. 

Mengingat keadaan semakin membahayakan, Ir.Soekarno selaku presiden RI memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanan, ketertiban, dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa orde baru. 

Semboyan orde baru pada masa itu adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dilihat dari prinsip demokrasi, prinsip negara hukum, dan keadilan sosial ternyata masih terdapat banyak hal yang jauh dari harapan. Hampir sama dengan masa orde lama, sangat dominannya kekuasaan Presiden dan lemahnya kontrol DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden/Pemerintah. 

Selain itu, kelemahan tersebut terletak pada UUD 1945 itu sendiri, yang sifatnya singkat dan luwes (fleksibel), sehingga memungkinkan munculnya berbagai penyimpangan. Tuntutan untuk merubah dan menyempurnakan UUD 1945 tidak memperoleh tanggapan, bahkan pemerintahan orde baru bertekad untuk mempertahankan dan tidak merubah UUD 1945. 

5. UUD 1945 Periode 19 Oktober 1999- Sekarang 

Seiring dengan tuntutan reformasi dan setelah lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa orde baru, maka sejak tahun 1999 dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. UUD 1945 sudah mengalami empat tahap perubahan, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Penyebutan UUD setelah perubahan menjadi lengkap, yaitu: Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Melalui empat tahap perubahan tersebut, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan itu menyangkut kelembagaan Negara, pemilihan umum, pembatasan kekuasaan presiden dan wakil presiden, memperkuat kedudukan DPR, pemerintahan daerah, dan ketentuan yang terinci tentang hak-hak asasi manusia. Setelah perubahan UUD 1945, ada beberapa praktik ketatanegaraan yang melibatkan rakyat secara langsung. Misalnya dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, dan pemilihan kepala daerah (Gubernur dan Bupati/ Walikota). Hal-hal tersebut tentu lebih mempertegas prinsip kedaulatan rakyat yang dianut Negara kita. 

Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945 sesudah amandemen adalah: 

a. Presiden 

b. Majelis Permusyawaratan Rakyat 

c. Dewan Perwakilan Rakyat 

d. Dewan Perwakilan Daerah 

e. Badan Pemeriksa Keuangan 

f. Mahkamah Agung 

g. Mahkamah Konstitusi 

h. Komisi Yudisial 

B. Metode Perubahan Konstitusi 

Pembaharuan konstitusi dimanapun didunia ini terutama tidak ditentukan oleh tata catra resmi (formal) yang harus dilalui. Tata cara formal (fleksibel) tidak serta merta memudahkan terjadinya perubahan UUD. Begitu pula sebaliknya, tata cara formal yang dipersukar (rigid) tidak berarti perubahan UUD tidak akan atau akan jarang terjadi. Faktor utama yang menentukan perubahan UUD adalah berbagai (pembaharuan) keadaan dimasyarakat. Dorongan demokratisasi, pelaksanaan paham negara kesejahteraan (welfare state), perubahan pola dan sistem ekonomi akibat industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi kekuatan (forces) pendorong pembaharuan. 

Jadi, masyarakatlah yang menjadi pendorong utama pembaharuan UUD. Demikian pula peranan UUD itu sendiri. Hanya masyarakat yang berkehendak dan mempunyai tradisi menghormati dan menjunjung tinggi UUD (konstitusi pada umumnya), yang akan menentukan UUD tersebut akan dijalankan sebagaimana mestinya. KC Wheare pernah mengingatkan, mengapa konstitusi perlu ditentukan pada kedudukan yang tinggi (supreme), supaya ada semacam jaminan bahwa konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi tidak akan dirusak dan diubah begitu saja secara sembarangan. Perubahannya harus dilakukan secara hikmat, penuh sungguhan, dan pertimbangan yang mendalam.Sasaran yang ingin diraih dengan jalan mempersulit perubahan konstitusi antara lain: 

a. Agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak sembarangan dengan sadar (dikehendaki); 

b. Agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum perubahan dilakukan. 

UUD yang baik selalu menentukan sendiri prosedur perubahan atas dirinya sendiri. Perubahan yang dilakukan di luar prosedur yang ditentukan itu bukanlah perubahan yang dapat dibenarkan secara hukum (verfassung anderung). Inilah prinsip negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan prinsip negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini. Di luar itu, namanya bukan 'rechtsstaat', melainkan 'machtsstaat' yang hanya menjadikan perimbangan 'revolusi politik' sebagai landasan pembenar yang bersifat ‘post factum’ terhadap perubahan dan pemberlakuan suatu konstitusi. 

Menurut Sri Soemantri, apabila dipelajari secara detail mengenai sistem perubahan konstitusi di berbagai negara, paling tidak ada dua sistem yang sedang berkembang, yaitu RENEWEL (Pembaharuan) dianut di negara-negara Eropa Kontinental dan AMANDEMENT (Perubahan) seperti dianut di negara-negara Anglo Saxon. Sistem yang pertama ialah, apabila suatu konstitusi dilakukan perubahan (dalam arti diadakan pembaharuan), maka yang diberlakukan adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan. Di antara negara yang menganut sistem ini misalnya Belanda, Jerman, dan Prancis. Sistem yang kedua ialah, apabila suatu konstitusi diubah (diamandemen), konstitusi yang asli tetap berlaku. Dengan kata lain, hasil amandemen tersebut merupakan bagian atau dilampirkan dalam konstitusinya. Sistem ini dianut oleh negara Amerika Serikat. 

Menurut Wheare, perubahan UUD akibat dorongan kekuatan (forces) yang terjadi dapat berbentuk; pertama, kekuatan-kekuatan yang kemudian melahirkan perubahan keadaan(circumstances) tanpa mengakibatkan perubahan bunyi yang tertulis dalam UUD, melainkan terjadi perubahan makna. Suatu ketentuan UUD diberi makna baru tanpa mengubah bunyinya. Kedua, kekuatan-kekuatan yang melahirkan keadaan baru itu mendorong perubahan atas ketentuan UUD, baik melalui perubahan formal, putusan hakim, hukum adat, maupun konvensi. 

Ada hal-hal prinsp yang harus diperhatikan dalam perubahan UUD. Menurut Bagir Manan, perubahan UUD berhubungan dengan perumusan kaidah konstitusi sebagai kaidah hukum negara tertinggi. Dalam hal ini, terlepas dari beberapa kebutuhan mendesak, perlu kehati-hatian, baik mengenai materi muatan maupun cara-cara perumusan. Memang benar penataan kembali UUD 1945 untuk menjamin pelaksanaan konstitusionalisme dan menampung dinamika baru di bidang politik, ekonomi, sosial, dan lainnya. Namun, jangan sekali-kali perubahan itu semata-mata dijadikan dasar dan tempat menampung berbagai realitas kekuatan politik yang berbeda dan sedan bersaing dalam SU MPR. Juga berhati-hati dengan cara-cara merumuskan kaidah UUD. Selain harus mudah dipahami(zakelijk), juga menghindari kompromi bahasa yang dapat menimbulkan multitafsir yang dapat disalahgunakan dikemudian hari. 

Sri Soemantri menegaskan, dalam mengubah UUD harus ditetapkan dulu alasan dan tujuannya. Jika hal itu sudah disepakati, baru dapat dipikirkan langkah selanjutnya berdasarkan alasan dan tujuan perubahan itu. Misalnya, Selam ini UUD terkesan terlalu beriorentasi pada eksekutif. Oleh karena itu, ditentukanlah bahwa tujuan dari perubahan UUD adalah untuk membatasi eksekutif. Kemudian apa yang dilakukan untuk membatasi kekuasaan eksekutif? Itu harus dipikirkan masak-masak. Misalnya, kontrol terhadap eksekutif hanya diperkuat. Itu berarti kedudukan legislatif mesti diperkuat. Jadi, kita harus kembali pada alasan dan tujuan dari perubahan itu. Misalnya, tujuannya adalah mewujudkan negara demokrasi, maka kita harus berbicara dengan mengenai sistem pemerintahan. 

Menurut tradisi Amerika Serikat, perubahan dilakukan terhadap meteri tertentu dengan menetapkan naskah Amandemen yang terpisah dari naskah asli UUD, sedangkan menurut tradisi Eropa perubahan dilakukan langsung dalam teks UUD, jika perubahan itu menyangkut materi tertentu, tentulah naskah UUD asli itu tidak banyak mengalami perubahan. Akan tetapi, jika materi yang diubah terbilang banyak dan apalagi isinya sangat mendasar, biasanya naskah UUD itu disebut dengan nama baru sama sekali. Dalam hal demikian, perubahan identik dengan penggantian. Namun, dalam tradisi Amandemen Konstitusi Amerika Serikat, materi yang diubah biasanya selalu menyangkut satu "issue" tertentu. 


Landasan teoritis melakukan perubahan UUD 1945 dalam bentuk putusan "Perubahan UUD" adalah menjadikan konstitusi bersifat normative-closed sehingga perubahan tidak lagi dilakukan oleh MPR dengan ketetapan MPR. MPR tidak dibenarkan mengembangkan kewenangannya melalui putusan nonamandemen, karena dengan demikian secara teoritis akan menempatkan konstitusi bersifat normative-open. Menjadikan UUD 1945 bersifatnormative-closed membawa implikasi terhadap eksistensi MPR, yaitu MPR harus patuh terhadap UUD 1945.Amandemn sebagai bentuk hukum perubahan UUD mempunyai kedudukan sederajat dan merupakan bagian tak terpisahkan dari UUD. Kebaikan bentuk hukum amandemen atau perubahan ada kesinambungan historis dengan UUD asli (sebelum perubahan). Amandemen atau perubahan merupakan suatu bentuk hukum, bukan sekedar prosedur. Inilah perubahan UUD 1945 yang disebut "perubahan pertama". Tidak perlu semua anggota MPR menandatangani naskah perubahan. Cukup suatu berita acara yang menerangkan penyelanggaraan perubahan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam UUD dan naskah perubahan disertakan pada berita acara, termasuk daftar hadir dan sebagainya. 

C. Hasil Perubahan Konstitusi Terhadap UUD 1945 

Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan secara bertahap karena mendahulukan pasal-pasal yang disepakati oleh semua fraksi di MPR, kemudian dilanjutkan dengan perubahan terhadap pasal-pasal yang lebih sulit memperoleh kesepakatan. Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan sebanyak empat kali melalui mekanisme sidang MPR yaitu: 

a. Sidang Umum MPR 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999 

b. Sidang Tahunan MPR 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000 

c. Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-9 November 2001 

d. Sidang Tahunan MPR 2002 tanggal 1-11 Agustus 2002 

Perubahan UUD Negara RI 1945 dimaksudkan untuk menyempurnakan UUD itu sendiri bukan untuk mengganti. Secara umum hasil perubahan yang dilakukan secara bertahap MPR adalah sebagai berikut. 

1. Perubahan Pertama 

Perubahan pertama terhadap UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999 dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat yang cenderung mensakralkan atau menjadikan UUD 1945 sebagai sesuatu yang suci yang tidak boleh disentuh oleh ide perubahan. Perubahan pertama terhadap UUD 1945 meliputi 9 pasal, 16 ayat, yaitu: 

Pasal yang diubah 

Isi Perubahan 

· 5 ayat 1 

· Pasal 7 

· Pasal 9 ayat 1 dan 2 

· Pasal 13 ayat 2 dan 3 

· Pasal 14 ayat 1 

· Pasal 14 ayat 2 

· Pasal 15 

· Pasal 17 ayat 2 dan 3 

· Pasal 20 ayat 1-4 

· Pasal 21 

· Hak presiden untuk mengajukan RUU kepada DPR 

· Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden 

· Sumpah Presiden dan Wakil Presiden 

· Pengangkatan dan penempatan Duta 

· Pemberian grasi dan rehabilitasi 

· Pemberian amnesty dan abolisi 

· Pemberian gelar, tanda jasa dan kehormatan lain 

· Pengangkatan menteri 

· DPR 

· Hak DPR untuk mengajukan RUU 


2. Perubahan Kedua 

Perubahan kedua ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000, meliputi 27 pasal yang tersebar dalam 7 Bab, yaitu: 


Bab yang diubah 

Isi Perubahan 


· Bab VI 

· Bab VII 

· Bab IXA 

· Bab X 

· Bab XA 

· Bab XII 

· Bab XV 

· Pemerintahan Daerah 

· Dewan Perwakilan Daerah 

· Wilayah Negara 

· Warga Negara dan Penduduk 

· Hak Asasi Manusia 

· Pertahanan dan Keamanan 

· Bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan 


3. Perubahan Ketiga 

Perubahan ketiga ditetapkan pada tanggal 9 November 2001, meliputi 23 pasal yang tersebar 7 Bab, yaitu: 

Bab yang diubah 

Isi Perubahan 

· Bab I 

· Bab II 

· Bab III 

· Bab V 

· Bab VIIA 

· Bab VIIB 

· Bab VIIIA 

· Bentuk dan kedaulatan 

· MPR 

· Kekuasaan Pemerintahan Negara 

· Kementerian Negara 

· DPR 

· Pemilihan Umum 

· BPK 

4. Perubahan Keempat 

Perubahan keempat ditetapkan 10 Agustus 2002, meliputi 19 pasal yang terdiri atas 31 butir ketentuan serta 1 butir yang dihapuskan. Dalam naskah perubahan keempat ini ditetapkan bahwa: 

a. UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat adalah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 da diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 

b. Perubahan tersebut diputuskan dalam rapat Paripurna MPR RI ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan MPR RI dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 

c. Bab IV tentang “Dewan Pertimbangan Agung” dihapuskan dan pengubahan substansi pasal 16 serta penempatannya kedalam Bab III tentang “Kekuasaan Pemerintahan Negara”. 

D. Tata Urutan Perundang-Undangan 

Sejak Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 ada beberapa peraturan yang mengalami tata urutan perundang-undangan yaitu: 

1. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1996 tentang memorandum DPR-GR mengatur sumber tertib hukum Republik Indonesia 

2. Pada era reformasi, MPR telah mengeluarkan produk hukum yang berupa ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan. 

3. Pada tahun 2004 melalui UU RI No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Lahirnya UU RI Nomor 10 Tahun 2004 tidak terlepas dari tuntutan reformasi di bidang Hukum. MPR pada Tahun 2003 telah mengeluarkan ketetapan Nomor 1/MPR/2003 tentang peninjauan kembali terhadap materi dan status hukum. Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat 19 ketetapan MPR No. I/ MPR/2003 maka status dan kedudukan ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 digolongkan pada ketetapan MPRS yang tidak perlu diwakilkan tindakan hkum lebih lanjut. Sedangkan ketetapan MPR No. III/MPR/2000 adalah tergolong ketetapan MPR yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang (sebagaimana dinyatakan dalam pasal 4 ayat (4)). 

Pada tahun 2004 lahir undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-Undangan, didalam UU pasal 7 ayat (1) undang-undang tersebut dicantumkan mengenai jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan. 

Dengan demikian maka TAP MPR No.III/MPR/2000 otomatis dinyatakan tidak berlaku. Rumusan pasal 7 ayat (1) undang-undang nomor 10 tahun 2004 sebagai berikut: 

1. Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 

a. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. 

b. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU). 

c. Peraturan pemerintah. 

d. Peraturan Presiden. 

e. Peraturan Daerah (Perda). 

2. Peraturan daerah sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: 

a. Peraturan daerah provinsi dibuat oleh DPRD provinsi bersama dengan gubernur. 

b. Peraturan daerah kabupaten/ kota dibuat oleh DPRD kabupaten/ kota bersama bupati/ walikota. 

c. Peraturan daerah/ peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. 

3. Ketentuan mengenai tata cara pembuatan peraturan desa/ peraturan yang setingkat di atur oleh peraturan daerah/ kabupaten/ kota yang bersangkutan. 

4. Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana di maksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 

5. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hirarki sebagaimana di maksud pada ayat (1). 

Untuk lebih memahami tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai mana di atur pada pasal 7 ayat (1) UU RI No. 10 tahun 2004 cermati uraian berikut: 

1. Undang-undang dasar 1945 

Undang-undang dasar 1945 merupakan hukum dasar yang tertulis Negara republic Indonesia dan berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi. L.J. van Apeldoorn menyatakan undang-undang dasar adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi sedangkan E.C.S. Wade menyatakan undang-undang dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dan badan-badan pemerintahan suatu Negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. 

Miriam Budiardjo menyatakan bahwa undang-undang dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai organisasi Negara, hak-hak asasi manusia, prosedur mengubah UUD, dan memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar. 

Ditetapkan undang-undang dasar 1945 sebagai konstitusi Negara republic Indonesia merupakan: 

a. Bentuk konsekuensi dikumandangkannya kemerdekaan yang menandai berdirinya suatu Negara baru. 

b. Wujud kemandirian suatu Negara yang tertib dan teratur. 

c. Mengisi dan mempertahankan kemerdekaan. 

Undang-undang dasar pada umumnya berisi hal-hal sebagai berikut: 

a. Organisasi Negara artinya mengatur lembaga-lembaga apa saja yang ada dalam suatu Negara dengan pembagian kekuasaan masing-masing serta prosedur penyelesaian maslaha yang timbul di antara lembaga tersebut. 

b. Hak-hak asasi manusia. 

c. Prosedur mengubah undang-undang dasar. 

d. Memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar, seperti tidak muncul kembali seorang dictator atau pemerintahan kerajaan yang kejam. 

e. Memuat cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi Negara. 

Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut Miriam Budiardjo undang-undang dasar 1945 mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan undang-undang lainnya, hal ini di karenakan: 

a. UUD dibentuk menurut suatu cara istimewa yang berbeda dengan pembentukan UU biasa. 

b. UUD dibuat secara istimewa untuk itu dianggap suatu yang luhur. 

c. UUD adalah piagam yang menyatakan cita-cita bangsa Indonesia dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu Negara. 

d. UUD memuat garis besar tentang dasar dan tujuan Negara. 

Sejak era reformasi UUD 1945 telah mengalami perubahan yang dilakukan melalui sidang tahunan MPR. Perubahan pertama pada tanggal 12 oktober 1999, perubahan kedua pada tanggal 18 agustus 2000, perubahan ketiga pada tanggal 9 november dan perubahan keempat pada tanggal 10 agustus 2002. 

Perubahan-perubahan tersebut dilakukan dalam upaya menjawab tuntutan reformasi di bidang politik dan atau ketatanegaraan. Konsekuensi perubahan terhadap UUD 1945 berubahnya struktur kelembagaan, baik dilihat dari fungsi maupun kedudukannya. Ada lembaga Negara yang dihilangkan, ada juga lembaga Negara yang baru. Lembaga yang dihilangkan adalah Dewan Pertimbangan Agung, lembaga yang baru diantaranya Komisi Yudisial dan Mahkamal Konstitusi. 


2. Undang-Undang 

Undang-undang merupakan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan UUD 1945. Lembaga yang berwenang membuat UU adalah DPR bersama presiden. Adapun kriteria agar suatu permasalahan di atur melalui undang-undang antara lain adalah: 

a. UU dibentuk atas perintah ketentuan UU 1945. 

b. UU dibentuk atas perintah ketentuan UU terdahulu. 

c. UU dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah, dan menambah undang-undang yang sudah ada. 

d. UU dibentuk karena berkaitan hak asasi manusia. 

e. UU dibentuk karena berkaitan denga kewajiban atau kepentingan orang banyak. 

Adapun prosedur pembuatan undang-undang adalah sebagai berikut: 

a. DPR memegang kekuasaan membentuk UU. 

b. Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. 

c. RUU dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. 

DPD dapat mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan: 

a. Otonomi daerah. 

b. Hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah. 

c. Pengelolaan SDA. 

d. Sunber daya ekonomi lainnya. 

e. Yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) 

Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPU) dibentuk oleh presiden tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR. PERPU dibuat dalam keadaan “darurat” atau mendesak karena permasalahan yang muncul harus segera ditindak lanjuti. Setelah diberlakukan perpu tersebut harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. 

4. Peraturan Pemerintah 

Untuk melaksanakan suatu undang-undang, dikeluarkan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah dibuat untuk melaksanakan undang-undang. Criteria pembentukan peraturan pemerintah adalah sebagai berikut: 

a. Peraturan pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa adanya UU induknya. Setiap pembentukan peraturan pemerintah harus berdasarkan undang-undang yang telah ada. Contoh untuk melaksanakan undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dibentuk peraturan pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. 

b. Peraturan pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, jika UU induknya tidak mencantumkan sanksi pidana. Yang di atur dalam peraturan pemerintah harus merupakan rincihan atau penjabaran lebih lanjut dari UU induknya, jadi ketika dalam undang-undang itu tidak di atur masalah sanksi pidana, maka peraturan pemerintahnya pun tidak boleh memuat sanksi pidana. 

c. Peraturan pemerintah tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan UU induknya. Isi atau materi peraturan pemrintah hanya mengatur lebih rinci apa yang telah di atur dalam UU indunya. 

d. Peraturan pemerintah dapat di bentuk meskipun UU yang bersangkutan tidak menyebutkan secara tegas, asal peraturan pemerintah tersebut untuk meaksanakan UU. 

Dibentuknya peraturan pemerintah untuk melaksanakan UU yang telah dibentuk. Sekalipun dalam undang-undang tersebut tidak sevara eksplisit mengharuskan dibentuknya suatu peraturan pemerintah. 

5. Peraturan Presiden 

Peraturan presiden adalah peraturan yang dibuat oleh presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara sebagai atribut dari pasal 4 ayat (1) UUD RI tahun 1945. Peraturan pemerintah dibentuk untuk menyelenggarakan peraturan lebih lanjut perintah UU atau peraturan pemerintah baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya. 

6. Peraturan Daerah 

Peraturan daerah adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten atau Kota, untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah. Oleh karena itu dalam pembuatan peraturan daerah harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Materi peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan. 



A. PENGERTIAN SUPREMASI KONSTITUSI 

Memahami supremasi konstitusi, terlebih dahulu harus memahami konstitusi itu sendiri. Menurut asal katanya, kostitusi berasal dari kata Yunani Kuno yaitu politeia dan bahasa latin yaitu constitution yang juga berkaitan dengan kata ius. 

Istilah konstitusi berasal dari bahasa perancis “constituer” yang berarti membentuk. Dalam konteks ketatanegaraan istilah konstitusi maksudnya ialah pembentukan suatu Negara atau menyusun dan menyatakan suatu Negara.[1]

Menurut K.C. Wheare, mengartikan konstitusi sebagai keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu Negara berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu Negara. [2]

Suatu Konstitusi mencerminkan kehidupan politik dari Negara tersebut. Olehnya itu suatu konstitusi minimal harus memiliki muatan konstitusi diantaranya yaitu : 

1. Adanya jaminan terhadap HAM dan warga negaranya 

2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu Negara yang bersifat fundamental 

3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental. 

Carl Schmit menganggap konstitusi sebagai keputusan politik tertinggi dari suatu Negara, oleh karena di dalamnya mengatur hal-hal yang mendasar bagi eksistensi Negara. Itulah alasan utama sehingga konstitusi mempunyai supremasi dalam suatu Negara. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Supremasi konstitusi yaitu dimana konstitusi mempunyai kedudukan tertinggi dalam tertib hukum suatu Negara. 

B. SUPREMASI KONSTITUSI DI INDONESIA 

1. Supremasi Konstitusi dan Negara Hukum 

Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno sejalan dengan perkembangan pemahaman konstitusi itu sendiri. Plato, dalam bukunya “the Statesman” dan “the Law” menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk paling baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh hukum. Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat” antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori oleh A.V. Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.[3]

Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum. Dua isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM. 

Saat ini, paling tidak dapat dikatakan terdapat dua belas prinsip negara hukum, yaitu Supremasi Konstitusi (supremacy of law), Persamaan dalam Hukum (equality before the law), Asas Legalitas (due process of law), Pembatasan Kekuasaan (limitation of power), Organ Pemerintahan yang Independen, Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak (independent and impartial judiciary), Peradilan Tata Usaha Negara (administrative court), Peradilan Tata Negara (constitutional court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-rehtsstaats), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), serta Transparansi dan Kontrol Sosial.[4]

Dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada aturan hukum. 

Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan administratif harus didasarkan atas aturan atau rules and procedures. 

Namun demikian, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. 

Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat. 

Berdasarkan prinsip negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. 

2. Konstitusi Sebagai Hukum Tertinggi 

Penempatan konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi karena konstitusi merupakan bentuk kesepakatan seluruh rakyat (general agreement) terkait dengan bagunan negara yang diidealkan. General agreement yang menjamin tegaknya konstitusionalisme bersandar pada tiga elemen kesemakatan yaitu: 

1. Kesepakatan tentang tujuan dan cita-cita bersama 

2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan penyelenggaraan Negara 

3. Kesepakatan tentang bentukinstitusi dan prosedur ketatanegaraan.[5] 

Dengan demikian, landasan keberlakuan konstitusi sebagai hukum tertinggi adalah kedaulatan rakyat itu sendiri. 

Rakyat adalah pemilik constituent power yang produknya bukan hukum biasa, tetapi hukum tertinggi atau constituent act. Yang diberi wewenang untuk menjalankan constituent power adalah MPR. Oleh karena itu, MPR tetap dipandang sebagai penjelmaan rakyat, tetapi hanya pada saat MPR menjalankan wewenang untuk mengubah dan menetapkan UUD, sedangkan sebagai lembaga, kedudukan MPR tetap sama dengan lembaga tinggi negara yang lain.[6]

Supremasi konstitusi mengharuskan setiap lembaga penyelenggara negara dan segenap warga negara melaksanakan UUD 1945. Jika UUD 1945 telah dilaksanakan sesuai dengan wewenang dan fungsi masing-masing, tentu tidak perlu terjadi pertentangan dalam penyelenggaraan negara. Kalaupun hal itu terjadi, UUD 1945 telah menentukan mekanisme penyelesaiannya, yaitu melalui MK. 


Pendekatan dari Aspek Hukum. 

Menurut K.C. Wheare, kalau berangkat dari aliran positivisme hukum, maka konstitusi itu mengikat, karena ia ditetapkan oleh badan yang berwenang membentuk hukum, dan konstitusi itu dibuat untuk dan atas nama rakyat (yang didalamnya sarat dengan ketentuan sanksi yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang organik).[11]

Di dalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Pertama, kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatanya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan. Kedua, kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kadah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat. Ketiga, kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.[12]

Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound a tool of social engineering. Perubahan masyarakat dimaksud terjadi bila seseorang atau sekelompok orang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin lembaga-lembaga kemasyarakatan. Selain itu, dapat diketahui bahwa pranata hukum itu pasif, yaitu hukum menyesuaikan diri dengan kenyataan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, terlaksana atau tidaknya fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial amat ditentukan oleh faktor aturan hukum dan faktor pelaksana hukum.[13]

Pada umumnya orang berpendapat bahwa kesadaran warga masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya, apabila keadaran warga masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhannya juga rendah. Pernyataan yang demikian berkaitan dengan fungsi hukum dalam masyarakat atau efektivitas dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum dalam masyarakat.[14]

Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat (warga negara). Warga negara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan atau orang-orang lain (bangsa lain) yang disyahkan dengan undang-undang sebagai warga negara yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dalam suatu negara tertentu.[15] Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pada BAB X tentang Warga Negara dan Penduduk Pasal 26 ayat (1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Ayat (2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.[16]

Seorang warga masyarakat mentaati hukum karena pelbagai sebab. Pertama, Takut karena sanksi negatif, apabila hukum dilanggar. Kedua, untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa. Ketiga, untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya. Keempat, karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Kelima, kepentingan terjamin. Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah mengetahui, memahami, dan menaatinya. Artinya, dia benar-benar dapat merasakan bahwa hukum tersebut menghasilkan ketertiban serta ketentraman dalam dirinya. Hukum tidak hanya berkaitan dengan segi lahiriyah dari manusia, akan tetapi juga dari segi batiniah.[17]

Dalam kajian struktur bahasa hukum tentang daya ikat konstitusi dalam aspek hukum bisa kita lihat dalam tindakan bahasa. Ketika tindakan bahasa hukum diperlukan untuk mempengaruhi perilaku, maka ditetapkanlah tindakan-tindakan bahasa direktif, institusional dan perikatan. Tindakan bahasa direktif yang padanya pembicara menggunakan sebuah kalimat untuk menggerakkan pendengarannya demi melakukan sebuah sesuatu. Sedangkan tindakan bahasa institusional, menggunakan sebuah kalimat yang dilaksanakan dalam sebuah institusi peradilan dan seterusnya. Di dalam institusi itu terdapat aturan-aturan konstitutif yang menimbulkan akibat institusional, dilengkapi dengan diktum sebuah undang-undang atau undang-undang dasar yang mengikatkan diri.[18]

Kemudian kalau dilihat dari prinsip-prinsip wawasan negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) sebagaimana dikatakan oleh Zippelius, konstitusi merupakan alat untuk membatasi kekuasaan negara. Prinsip-prinsip ini mengandung jaminan terhadap ditegakkanya hak-hak asasi, adanya pembagian kekuasaan dalam negara, penyelenggaraan yang didasarkan pada undang-undang, dan adanya pengawasan yudisial terhadap penyelenggaraan pemerintah tersebut.[19]

Esensi hukum postif, wawasan negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), inklusif di dalamnya pemahaman tentang konstitusi sebagai dokumen formal yang terlembagaan oleh alat-alat negara dan sekaligus sebagai hukum dasar yang tertinggi. Bila demikian halnya, maka konstitusi akan selalu mengikat seluruh warga negara.[20]


Pedekatan dari Aspek Politik. 

Hukum adalah produk politik yang telah menjadikan badan konstituante (lembaga lain yang ditunjuk) sebagai badan perumus dan pembuat konstitusi suatu negara, kemudian peran itu dilanjutkan oleh lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang. Proses yang dilakukan oleh kedua badan ini merupakan kristalisasi dan proses politik.[21] Politik hukum adalah pernyataan kehendak dari pemerintah negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan ke arah mana hukum itu akan dikembangkan.[22] Fungsi hukum sebagai alat politik dapat dipahami bahwa sistem hukum di Indonesia peraturan perundang-undangan merupakan produk bersama DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dengan pemerintah sehingga antara hukum dan politik amat susah dipisahkan. Hukum dimaksud adalah berkaitan langsung dengan negara. Namun demikian, hukum sebagai alat politik tidak dapat berlaku secara universal, sebab tidak semua hukum diproduksi oleh DPR bersama pemerintah.[23]

Hukum merupakan produk politik, sehingga hukumdipandang sebagai kristalisasi dari proses interaksi atau pergulatan dari kehendak-kehendak politik. Secara ideal ada pandangan bahwa bahwa aturan main politiklah yang harus tunduk pada ketentuan hukum (hukum sebagai perekayasa). Politik (dalam arti kekuasaan) dan hukum itu terjalin dalam hubungan yang interdependen dengan adagium ” kekuasaan tanpa hukum adalah dzalim, hukum tanpa kekuasaan akan lumpuh”. Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu dengan spesifikasi yang pertama, konfigurasi politik demokratis dan non-otoriter akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistis. Kedua, konfigurasi politik otoriter dan non demokratis akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif/elitis.[24]

Akan tetapi ini tidak bararti, bahwa hukum tidak lain daripada kekuasaan belaka; tidak berarti bahwa hukum dan kekuasaan adalah dua perkataan untuk hal yang satu dan sama. Hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum.[25] Teori tentang kekuasaan negara sudah diperbincangkan sejak jaman Yunani kuno. Misalnya, plato dan Aristoteles, dua pemikir besar di jaman itu menyatakan bahwa negara memerlukan kekuasaan yang mutlak. Kekuasaan ini diperlukan untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral dan rasional.[26]

Istilah negara dipakai dalam arti penguasa, untuk menyatakan orang atau orang-orang yang melakukan kekuasaan tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam sesuatu daerah.[27]

Hukum adalah kekuasaan, yakni kekuasaan yang bercita-itakan keadilan. Karena keadilan yang sungguh-sungguh tak dapat dicapai oleh hukum:[28]
Karena hukum terpaksa mengorbankan keadilan sekedarnya untuk tujuannya, jadi hukum bersifat kompromi. 
Karena Manusia (hukum adalah buatan manusia). 

Pada abad ke 19, ajaran bahwa hukum tiak lain daripada kekuasaan, banyak mempunyai pengikut. Lassalle membelanya dalam pidatonya yang termasyhur : ” Uber Verfassungswesen”. Menurutnya, konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar yang tertulis yang hanya merupakan secarik kertas, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara.[29]

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu itu. [30]

Sehingga produk politik yang berupa konstitusi atau segala macam peraturan perundang-undangan mempunyai daya ikat pemberlakuannya bagi warga negara. Kemudian hubungan hukum dan kekuasaan telah terimplementasikan dalam konstitusi baik dalam pengertian hukum dasar tertulis dan hukum dasar tidak tertulis, yang pada dasarnya telah membatasi tindakan penguasa yang mempunyai kewenangan memaksa warga negara untuk mentaatinya.[31]


Pendekatan dari Aspek Moral. 

Otoritas konstitusi kalau dipandang dari segi moral sama halnya dengan pandangan aliran hukum alam, yaitu mempunyai daya ikat terhadap warga negara, karena penetapan konstitusi juga didasarkan pada nilai-nilai moral. Konstitusi sebagai landasan fundamental tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral.[32]

Tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu akan berada di dalam suatu jaringan norma-norma. Karena setiap interaksi yang terjadi dalam kehidupan sosial merupakan gejala sosial. Sedangkan interaksi sosial sebagai gejala sosial dapat terjadi karena hubungan (kontak) antar individu, individu dan kelompok sosial, kelompok sosial dan kelompok sosial yang lainnya. Interaksi itu sendiri akan berjalan seperti diharapkan oleh norma-norma yang menjaringi kehidupan kelompok sosial dalam tingkah laku individunya.[33] Jadi hukum adalah ketentuan-ketentuan yang timbul dari dan dalam pergaulan hidup. Tujuannya untuk menjaga tata tertib dan terdiri dari norma-norma (kaidah) yang perlu ditaati oleh setiap individu. 

Moral adalah peraturan perbuatan manusia sebagai manusia ditinjau dari segi baik buruknya dipandang dari hubungannya dengan tujuan akhir hidup manusia berdasarkan hukum kodrati. Dalam pelaksanaan moral tidak pernah dapat dipaksakan. Moral menuntut dari kita kepatuhan penyerahaan diri secara mutlak.[34]

Paul Scholten mengungkapkan bahwa keputusan moral adalah otonom/teonom. Yang dimaksud ”teonom” adalah hukum abadi, yakni kehendak Illahi yang mengarahkan segala ciptaan-Nya ke arah tujuan mereka, sebagai landasan yang terdalam dari hukum dan peraturan. Dalam moral juga dikenal sanksi, tapi bersifat lahiriah melainkan bersifat batiniah, seperti rasa malu, dan menyesal.[35]

Esensi tujuan moral yaitu untuk mengatur hidup manusia sebagai manusia, tanpa pandang bulu, tanpa pandang suku, agama, dan tidak mengenal daya berlakunya, moral tidak terikat pada waktu tertenu dan juga tidak tergantung pada tempat tertentu.[36]

Hukum itu terjadi berkenaan dengan adanya interaksi manusia yang menimbulkan hasil penilaian baik. Aturannya terdiri dari ketentuan-ketentuan yang membatasi tingkah laku mansuia. Ketentuan-ketentuan tingkah laku manusia beraneka macam corak tergantung dari berat ringannya reaksi yang diberikan manusia dalam menilai tingkah laku. Dan berdasarkan kepada berat ringannya reaksi itu ada ketentuan yang berkenaan dengan sopan santun (kesopanan), kesusilaan yang menyangkut moral dan hukum.[37]

Jenis-jenis ketentuan itu berbeda dalam pelbagai hal berlakunya dan akan kelihatan secara nyata kalau suatu ketentuan dilanggar. Tetapi kalau dilihat dari fungsinya bahwa ketentuan itu bertujuan untuk menjaga tata tertib, maka jenis ketentuannya hanya berupa larangan atau keharusan bagi manusia dalam bertingkah laku. Karena itu berdasarkan jenisnya dapat dibedakan adanaya :[38]
Norma Kesopanan 

Norma kesopanan adalah ketentuan-ketentuan tentang tingkah laku manusia supaya dalam berinteraksi terjadi tindakan yang sopan. 
Norma Kesusilaan 

Norma kesusilaan adalah ketentuan-ketentuan tentang tingkah laku manusia dalam melakukan suatu tindakan agar suara batinnya (moral) sesuai dengan kehendak baik dalam masyarakat. 
Norma Hukum 

Norma Hukum adalah ketentuan-ketentuan mengenai tingkah laku manusia agar tindakannya tidak mengganggu ketentraman dan keamanan orang lain. 

Hakekat dari ketiga jenis norma ini berlaku umum, artinya berlaku bagi setiap orang di dalam pergaulan hidupnya. Dengan perkataan lain bahwa ketiga norma itu merupakan norma sosial. Jadi norma sosial adalah ketentuan-ketentuan umum sebagai pedoman bertingkah laku bagi individu dalam kehidupan sosial.[39]

Norma sosial sebagai ketentuan tingkah laku memiliki sanksi. Menurut ilmu hukum, sanksi adalah akibat dari pelanggaran suatu norma. Maksudnya bagi seseorang yang tindakannya melanggar salah satu ketentuan sanksi yang sesuai dengan pelanggarannya. Dan secara umum pengertian sanksi itu berupa hukuman.[40]

Dari setiap jenis norma memiliki sanksi sendiri-sendiri. Tetapi dalam beberapa tindakan tertentu sanksi dari masing-masing norma akan dikenakan bersama-sama. 
Norma Kesopanan yang pada umumnya berlaku sebagai kebiasaan memiliki sanksi yang sangat ringan. Pelanggaran terhadap norma ini hanya akan mendapat celaan dari orang lain. 
Norma Kesusilaan yang pada umumnya sebagai ungkapan suara hati dan berdasarkan sikap seseorang memiliki sanksi yang berupa suatu kutukan dari orang lain. 
Norma Hukum yang bertjuan menjaga tata tertib dalam pergaulan hidup memiliki kekhususan tersendiri yaitu keadilan. Sanksi berupa hukuman dan diberikan oleh orang/lembaga yang berwenang menjatuhkan sanksi itu.[41]

Ketiga jenis norma (kesopanan, kesusilaan dan hukum) itu dengan memiliki masing-masing sanksi fungsinya mengatur tingkah laku, yaitu membatasi kebebasan mansia dalam berinteraksi. Dan dengan batasan-batasan yang diberikan kepada mansuia dalam berinteraksi seperti yang dikendaki oleh norma itu, maka melalui kesadaran masing-masing individu diharapkan kelangsungan hidup di dunia ini menjadi harmonis.[42]

Identifikasi diri terhadap norma-norma dalam suatu kelompok merupakan permulaan seseorang untuk mentaati suatu norma melalui kesadarannya. Tetapi bagi remaja atau dewasa sering diikuti juga dengan simpatinya sebagai akibat dari penampilan atau tingkah laku yang diperlihatkan kepada orang lain. Suatu tingkah yang bermaksud untuk menanamkan kehendaknya supaya orang lain mau mentaati norma yang dikendaki itu melalui simpati.[43]

Penataan suatu norma atas kehendak seseorang berarti yang mentaati itu karena rasa takut atau kemungkinan juga akan berakibat buruk terhadap kehidupannya. Hanya saja secara tegas perlu dipahami bahwa berlakunya suatu norma yang baik bukan dari kehendak seseorang melainkan atas keinginan kelompok yang secara bersama membutuhkan norma itu. Jadi seseorang sebagai anggota kelompok sosial mentaati suatu norma berdasarkan kepada kesadaran diri sebagai hasil dari proses identifikasi.[44]

Dua sarjana kenamaan juga memberikan tesisnya yang mendukung pernyataan di atas, menurut K.C. Wheare Konstitusi mengklaim diri mempunyai otoritas dengan dasar moral. William H. Hewet dalam pendirianya menyatakan bahwa masih ada hukum yang lebih tinggi di atas konstitusi yaitu moral. Where memberikan pertimbangan sebagai berikut, seperti moral mempunyai otoritas untuk memerintah seperti halnya semua hukum dapat memerintah suatu komunitas untuk mentaatinya.[45]

Adapun teori moral yang digunakan untuk mendefinisikan ketaatan terhadap hukum, berlaku pula bagi konstitusi. Jadi secara constitutional phylosophy jika aturan konstitusi bertentangan dengan etika moral ia dapat disimpangi.[46]

Dalam kaitannya dengan sikap patuh masyarakat terhadap konstitusi, Baharuddin Lopa, menyatakan bahwa kepatuhan kepada hukum (konstitusi) bisa disebabkan karena adanya faktor ” Keteladanan dan Rasio”. Pola keteladanan itu bisa dipakai bahkan efektif berlakunya apabila lapisan atas mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap hukum dan berakhlak mulia, sebab bila tidak akan berbahaya. Sementara arus bawah atau lapisan bawah dapat terbawa-bawa mengikuti apa saja yang dilihat oleh perilaku atasnnya atau sebaliknya.[47]

Belajar mentaati norma semula datangnya dari keluarga. Sejak masa babyhood dilalui, maka seseorang anak mulai melakukan identifikasi dengan orang tuanya. Dan melalui simpati yang dalam kehidupannya akan belajar mentaati norma-norma yang berlaku dalam keluarga itu.[48]

Dalam proses identifikasi orang tidak selalu mengidentifikasikan diri di lingkungan kelompoknya saja, tetapi sering juga dilakukan di dalam kelompok lain dan mungkin juga dilakukan sebagaimana dirinya hendak menjadi anggota baru dalam kelompok itu.[49]


KONSTITUSI-KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA 

Sebelum membahas tentang konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, perlu kalian ketahui terlebih dahulu pengertian, fungsi, dan kedudukan konstitusi. Pemahaman terhadap hal ini sangat perlu mengingat pentingnya konstitusi dalam mengatur kehidupan bernegara. Apakah konstitusi itu? Cobalah kalian lihat dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia. Konstitusi (constitution) diartikan dengan undang-undang dasar. Benarkah pengertian konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar (UUD)? Memang, tidak sedikit para ahli yang mengidentikkan konstitusi dengan UUD. Namun beberapa ahli yang lain mengatakan bahwa arti konstitusi yang lebih tepat adalah hukum dasar. 

Menurut Kusnardi dan Ibrahim (1983), UUD merupakan konstitusi yang tertulis. Selain konstitusi yang tertulis, terdapat pula konstitusi yang tidak tertulis atau disebut konvensi. Konvensi adalah kebiasaan-kebiasaan yang timbul dan terpelihara dalam praktik ketatanegaraan. Meskipun tidak tertulis, konvensi mempunyai kekuatan hukum yang kuat dalam ketatanegaraan. Dalam uraian bab ini, konstitusi yang dimaksudkan adalah konstitusi yang tertulis atau Undang-Undang Dasar. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar berisi ketentuan yang mengatur hal-hal yang mendasar dalam bernegara. Hal-hal yang mendasar itu misalnya tentang batas-batas kekuasaan penyelenggara pemerintahan negara, hak-hak dan kewajiban warga negara dan lain-lain.
• Konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut (E.C.S.Wade dan G.Philips, 1970). 

• Konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara, berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk dan mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara (K.C.Wheare, 1975). 

• Konstitusi adalah sekumpulan asas-asas yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak dari yang diperintah, dan hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah (C.F. Strong, 1960).

Menurut Sri Soemantri (1987), suatu konstitusi biasanya memuat atau mengatur hal-hal pokok sebagai berikut. 

1. jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga Negara 

2. susunan ketatanegaraan suatu Negara 

3. pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan 

Konstitusi yang memuat seperangkat ketentuan atau aturan dasar suatu negara tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting dalam suatu negara. Mengapa? Sebab, konstitusi menjadi pegangan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan kata lain, penyelenggaraan negara harus didasarkan pada konstitusi dan tidak bertentangan dengan konstitusi negara itu. Dengan adanya pembatasan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi, maka pemerintah tidak boleh menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang. 

Sebagai aturan dasar dalam negara, maka Undang-Undang Dasar mempunyai kedudukan tertinggi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Artinya semua jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia kedudukannya di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yakni UUD 1945. Peraturan perundang-undangan tersebut adalah Undang-Undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. 

Konstitusi atau UUD yang pernah berlaku dan masih berlaku di Indonesia sejak tanggal 18 Agustus 1945 hingga sekarang (tahun 2008), di negara Indonesia pernah menggunakan tiga macam UUD yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD Sementara 1950. Dilihat dari periodesasi berlakunya ketiga UUD tersebut, dapat diuraikan menjadi lima periode yaitu: 

1. 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 berlaku UUD 1945, 

2. 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950 berlaku Konstitusi RIS 1949, 

3. 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 berlaku UUD Sementara 1950, 

4. 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999 berlaku kembali UUD 1945 

5. 19 Oktober 1999 – sekarang berlaku UUD 1945 (hasil perubahan). 

1. UUD 1945 periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 

Pada saat Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, negara Republik Indonesia belum memiliki konstitusi atau UUD. Namun sehari kemudian, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang pertama yang salah satu keputusannya adalah mengesahkan UUD yang kemudian disebut UUD 1945. Mengapa UUD 1945 tidak ditetapkan oleh MPR sebagaimana diatur dalam pasal 3 UUD 1945? Sebab, pada saat itu MPR belum terbentuk. Naskah UUD yang disahkan oleh PPKI tersebut disertai penjelasannya dimuat dalam Berita Republik Indonesia No. 7 tahun II 1946. UUD 1945 tersebut terdiri atas tiga bagian yaitu Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Perlu dikemukakan bahwa Batang Tubuh terdiri atas 16 bab yang terbagi menjadi 37 pasal, serta 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan. Bagaimana sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 saat itu? Ada beberapa hal yang perlu kalian ketahui, antara lain tentang bentuk negara, kedaulatan, dan sistem pemerintahan. 

Mengenai bentuk negara diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Sebagai negara kesatuan, maka di negara Republik Indonesia hanya ada satu kekuasaan pemerintahan negara, yakni di tangan pemerintah pusat. Di sini tidak ada pemerintah negara bagian sebagaimana yang berlaku di negara yang berbentuk negara serikat (federasi). Sebagai negara yang berbentuk republik, maka kepala negara dijabat oleh Presiden. Presiden diangkat melalui suatu pemilihan, bukan berdasar keturunan. 

Mengenai kedaulatan diatur dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusywaratan Rakyat”. Atas dasar itu, maka kedudukan Majelis Permusywaratan Rakyat (MPR) adalah sebagai lembaga tertinggi negara. Kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara yang lain berada di bawah MPR.
Mengenai sistem pemerintahan negara diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang- Undang Dasar”. Pasal tesebut menunjukkan bahwa sistem pemerintahan menganut sistem presidensial. Dalam sistem ini, Presiden selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri sebagai pelaksana tugas pemerintahan adalah pembantu Presiden yang bertanggung jawab kepada Presiden, bukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perlu kalian ketahui, lembaga tertinggi dan lembagalembaga tinggi negara menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah : 

a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 

b. Presiden 

c. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) 

d. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 

e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 

f. Mahkamah Agung (MA) 

2. Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 

Perjalanan negara baru Republik Indonesia tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan menjajah kembali Indonesia. Belanda berusaha memecahbelah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negaranegara ”boneka” seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam negara RepubIik Indonesia. Bahkan, Belanda kemudia melakukan agresi atau pendudukan terhadap ibu kota Jakarta, yang dikenal dengan Agresi Militer I pada tahun 1947 dan Agresi Militer II atas kota Yogyakarta pada tahun 1948. Untuk menyelesaikan pertikaian Belanda dengan RepubIik Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dengan menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda) tanggal 23 Agustus – 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari RepubIik Indonesia, BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg, yaitu gabungan negara-negara boneka yang dibentuk Belanda), dan Belanda serta sebuah komisi PBB untuk Indonesia. KMB tersebut menghasilkan tiga buah persetujuan pokok yaitu: 

1. didirikannya Negara Rebublik Indonesia Serikat; 

2. penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat; dan 

3. didirikan uni antara RIS dengan Kerajaan Belanda. 

Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara serikat mengharuskan adanya penggantian UUD. Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD Republik Indonesia Serikat. Rancangan UUD tersebut dibuat oleh delegasi RI dan delegasi BFO pada Konferensi Meja Bundar. Setelah kedua belah pihak menyetujui rancangan tersebut, maka mulai 27 Desember 1949 diberlakukan suatu UUD yang diberi nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi tersebut terdiri atas Mukadimah yang berisi 4 alinea, Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197 pasal, serta sebuah lampiran. 

Mengenai bentuk negara dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS yang berbunyi “ Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk federasi”. Dengan berubah menjadi negara serikat (federasi), maka di dalam RIS terdapat beberapa negara bagian. Masing-masing memiliki kekuasaan pemerintahan di wilayah negara bagiannya. Negara-negara bagian itu adalah : negara Republik Indonesia, Indonesia Timur, Pasundan, Jawa timur, Madura, Sumatera Timur, dan Sumatera Selatan. Selain itu terdapat pula satuan-satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu : Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur. 

Selama berlakunya Konstitusi RIS 1949, UUD 1945 tetap berlaku tetapi hanya untuk negara bagian Republik Indonesia. Wilayah negara bagian itu meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota di Yogyakarta. Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa berlakunya Konstitusi RIS adalah sistem parlementer. Hal itu sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat 1 dan 2 Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa ”Presiden tidak dapat diganggu-gugat”. Artinya, Presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala negara, tetapi bukan kepala pemerintahan. Kalau demikian, siapakah yang menjalankan dan yang bertanggung jawab atas tugas pemerintahan? Pada Pasal 118 ayat (2) ditegaskan bahwa ”Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Dengan demikian, yang melaksanakan dan mempertanggungjawabkan tugas-tugas pemerintahan adalah menterimenteri. Dalam sistem ini, kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri. Lalu, kepada siapakah pemerintah bertanggung jawab? Dalam sistem pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Perlu kalian ketahui bahwa lembaga-lembaga negara menurut Konstitusi RIS adalah : 

a. Presiden 

b. Menteri-Menteri 

c. Senat 

d. Dewan Perwakilan Rakyat 

e. Mahkamah Agung 

f. Dewan Pengawas Keuangan 



3. Periode Berlakunya UUDS 1950 

Pada awal Mei 1950 terjadi penggabungan negaranegara bagian dalam negara RIS, sehingga hanya tinggal tiga negara bagian yaitu negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur. Perkembangan berikutnya adalah munculnya kesepakatan antara RIS yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur dengan Republik Indonesia untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950. Untuk mengubah negara serikat menjadi negara kesatuan diperlukan suatu UUD negara kesatuan. UUD tersebut akan diperoleh dengan cara memasukan isi UUD 1945 ditambah bagian-bagian yang baik dari Konstitusi RIS.
Pada tanggal 15 Agustus 1950 ditetapkanlah Undang- Undang Federal No.7 tahun 1950 tentang Undang- Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, yang berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950. Dengan demikian, sejak tanggal tersebut Konstitusi RIS 1949 diganti dengan UUDS 1950, dan terbentuklah kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 terdiri atas Mukadimah dan Batang Tubuh, yang meliputi 6 bab dan 146 pasal.
Mengenai dianutnya bentuk negara kesatuan dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang berbunyi “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”. Sistem pemerintahan yang dianut pada masa berlakunya UUDS 1950 adalah sistem pemerintahan parlementer. Dalam pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 ditegaskan bahwa ”Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu-gugat”. Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa ”Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Hal ini berarti yang bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan adalah menteri-menteri. Menteri-menteri tersebut bertanggung jawab kepada parlemen atau DPR. Perlu kalian keahui bahwa lembaga-lembaga negara menurut UUDS 1950 adalah : 

a. Presiden dan Wakil Presiden 

b. Menteri-Menteri 

c. Dewan Perwakilan Rakyat 

d. Mahkamah Agung 

e. Dewan Pengawas Keuangan 

Sesuai dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara. Sifat kesementaraan ini nampak dalam rumusan pasal 134 yang menyatakan bahwa ”Konstituante (Lembaga Pembuat UUD) bersama-sama dengan pemerintah selekaslekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini”. Anggota Konstituante dipilih melalui pemilihan umum bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10 November 1956 di Bandung. Sekalipun konstituante telah bekerja kurang lebih selama dua setengah tahun, namun lembaga ini masih belum berhasil menyelesaikan sebuah UUD. Faktor penyebab ketidakberhasilan tersebut adalah adanya pertentangan pendapat di antara partai-partai politik di badan konstituante dan juga di DPR serta di badan-badan pemerintahan. 


Pada pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali ke UUD 1945. Pada dasarnya, saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh para anggota Konstituante tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda. Oleh karena tidak memperoleh kata sepakat, maka diadakan pemungutan suara. Sekalipun sudah diadakan tiga kali pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung anjuran Presiden tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang hadir. Atas dasar hal tersebut, demi untuk menyelamatkan bangsa dan negara, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden yang isinya adalah: 

1. Menetapkan pembubaran Konsituante 

2. Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950 

3. Pembentukan MPRS dan DPAS 

Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 berlaku kembali sebagai landasan konstitusional dalam menyelenggarakan pemerintahan Republik Indonesia. 

4. UUD 1945 Periode 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999 

Praktik penyelenggaraan negara pada masa berlakunya UUD 1945 sejak 5 Juli 1959- 19 Oktober 1999 ternyata mengalami berbagai pergeseran bahkan terjadinya beberapa penyimpangan. Oleh karena itu, pelaksanaan UUD 1945 selama kurun waktu tersebut dapat dipilah menjadi dua periode yaitu periode Orde Lama (1959-1966), dan periode Orde Baru (1966-1999). 

Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Artinya, pelaksanaan UUD 1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang Presiden dan lemahnya kontrol yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden. 

Selain itu muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanan, dan kehidupan ekonomi semakin memburuk. Puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G-30-S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan negara. Mengingat keadaan semakin membahayakan, Ir. Soekarno selaku Presiden RI memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanan, ketertiban, dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru. 

Semboyan Orde Baru pada masa itu adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Apakah tekad tersebut menjadi suatu kenyataan? Ternyata tidak. Dilihat dari prinsip demokrasi, prinsip negara hukum, dan keadilan sosial ternyata masih terdapat banyak hal yang jauh dari harapan. Hampir sama dengan pada masa Orde Lama, sangat dominannya kekuasaan Presiden dan lemahnya kontrol DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden/pemerintah. Selain itu, kelemahan tersebut terletak pada UUD 1945 itu sendiri, yang sifatnya singkat dan luwes (fleksibel), sehingga memungkinkan munculnya berbagai penyimpangan. Tuntutan untuk merubah atau menyempurnakan UUD 1945 tidak memperoleh tanggapan, bahkan pemerintahan Orde Baru bertekat untuk mempertahankan dan tidak merubah UUD 1945. 

5. UUD 1945 Periode 19 Oktober 1999 – Sekarang 

Seiring dengan tuntutan reformasi dan setelah lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru, maka sejak tahun 1999 dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Sampai saat ini, UUD 1945 sudah mengalami empat tahap perubahan, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Penyebutan UUD setelah perubahan menjadi lebih lengkap, yaitu : Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Melalui empat tahap perubahan tersebut, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan itu menyangkut kelembagaan negara, pemilihan umum, pembatasan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden, memperkuat kedudukan DPR, pemerintahan daerah, dan ketentuan yang terinci tentang hak-hak asasi manusia. 

Pertanyaan kita sekarang, apakah UUD 1945 yang telah diubah tersebut telah dijalankan sebagaimana mestinya? Tentu saja masih harus ditunggu perkembangannya, karena masa berlakunya belum lama dan masih masa transisi. Setidaknya, setelah perubahan UUD 1945, ada beberapa praktik ketatanegaraan yang melibatkan rakyat secara langsung. Misalnya dalam hal pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan pemilihan Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). Hal-hal tersebut tentu lebih mempertegas prinsip kedaulatan rakyat yang dianut negara kita. Perlu kalian ketahui bahwa setelah melalui serangkaian perubahan (amandemen), terdapat lembaga-lembaga negara baru yang dibentuk. Sebaliknya terdapat lembaga negara yang dihapus, yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 sesudah amandemen adalah : 

a. Presiden 

b. Majelis Permusyawaratan Rakyat 

c. Dewan Perwakilan Rakyat 

d. Dewan Perwakilan Daerah 

e. Badan Pemeriksa Keuangan 

f. Mahkamah Agung 

g. Mahkamah Konstitusi 

h. Komisi Yudisial 

0 Response to "Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi"

Post a Comment