PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa sumber sejarah tentang sejarah masuknya Islam ke Nusantara (Indonesia) di dalam literatur dan tradisi melayu masih simpang siur dan beragam keterangannya. Banyak hal-hal yang sukar terpecahkan sehingga sejarah di Nusantara banyak yang bersifat perkiraan. Mencari ketepatan kapan masuknya Islam ke Nusantara sangat sulit. Menentukan masuknya Islam di Nusantara biasanya para pakar sejarah mengkaitkan dengan kegiatan perdagangan antara dunia Arab, Gujarat, Persia dan Bangladesh dengan penduduk pribumi Nusantara. Sejarawan Muslim berbeda pendapat dengan sejarawan barat dalam hal ini. Sejarawan Muslim umumnya sepakat memperkirakan bahwa kontak antara Nusantara dengan Islam terjadi sejak abad ke- 7 Masehi, sementara sejarawan orientalis barat memperkirakan Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13M. Dalam seminar Sejarah Masuknya Islam yang berlangsung di Medan tahun 1963M yang dikukuhkan lagi dengan seminar Sejarah Islam di Banda Aceh tahun 1978M, kemudian tahun 1980 dalam Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara yang diselenggarakan di Rantau Kuala Simpang, Aceh Timur, menyimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara abad ke-1 Hijriyah langsung dari tanah Arab.
Ada satu persoalan lain yang juga menjadi perdebatan juga dari sejarawan Nasional dan juga sejarawan barat, yaitu persoalan siapa sebenarnya yang pertama sekali membawa atau menyiarkan Islam ke Nusantara ini dan di daerah mana pertama sekali Islam masuk, dikenal serta diikuti ajarannya (dipeluk) oleh pribumi Nusantara ini.. Ada yang mengatakan di Jawa, dan ada yang mengatakan di Barus, namun demikian ahli sejarah sepakat dan sependapat bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui pesisir Sumatera bagian utara, yaitu wilayah peisisir Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam). Selanjutnya didaerah mana tepatnya masuknya Islam di Aceh, apakah melalui Samudera Pasai (Kabupaten Aceh Utara) atau wilayah Peureulak (Kabupaten Aceh Timur)? Ini juga masih menjadi pembahasan yang cukup lama dan berkepanjangan.
B. Rumusan Masalah dan Metode Penulisan
Dalam penulisan ini penulis ingin menelaah kontroversi tentang lokasi dan waktu masuknya Islam ke Aceh dan peranan kerajaan Islam di Aceh dalam penyebaran dan penyiaran Islam ke seluruh Nusantara (Indonesia). Batasan kajiannya untuk tiga kerajaan saja, yaitu Kerajaan Islam Peureulak, Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam.
Metoda penulisan yang bercorak library research, dalam arti semua sumber data berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan topik yang dibahas dan bersifat deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang menjadikan kata-kata lisan, tulisan, sikap, perilaku, ekspresi dan gambar sebagai data penulisan atau pelitian. [1])
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan membahas mengenai sejarah masuknya Islam ke Aceh dan Pengaruh Kerajaan Islam di terhadap penyiaran dan perkembangan Islam ke Nusantara (Indonesia). Tulisan ini merupakan salah satu tugas semester 2 (dua), untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Masuk dan Penyiaran Islam dari Kerajaan Aceh Ke Nusantara pada PPs KPI STAIN Malikussaleh, Lhoksemawe TA 2013/2014.
PEMBAHASAN
A. Kerajaan di Aceh Sebelum Islam
Tidak begitu banyak catatan yang penulis peroleh mengenai kondisi sosio-kultur masyarakat Aceh sebelum Islam dan agama apa yang dianut oleh masyarakat Aceh pra Islam. Namun ada beberapa bukti dan peninggalan sejarah yang mengindikasikan bahwa agama yang dianut oleh penduduk pribumi Aceh sebelum datang Islam adalah agama Hindu.
Disebabkan oleh langkanya referensi yang dapat ditemukan, karena itu, wajar bila Zainuddin sebagaimana dinyatakan dalam Aceh Serambi Mekkah, bahwa sebagian besar catatan sejarah tentang Aceh sebelum tahun 400 M tidak diketahui secara jelas.[2] Bahkan, catatan J. Kreemer sebagaimana dikutip oleh Aboe Bakar Atjeh menyebutkan bahwa sebelum tahun 1500 sejarah Aceh masih belum begitu diketahui orang.[3]
Snouck Hurgronye, orientalis barat yang mengecap pendidikan di Arab Saudi dan menyamar sebagai muslim dan lama menetap di Aceh dan Nusantara, menunjukkan sedikit gambaran yang mengindikasikan adanya pengaruh Hindu di Aceh, dengan memperhatikan cara berpakaian para wanita Aceh yang dikatakannya ber-sanggul miring mirip dengan cara berpakaian para wanita Hindu. Menurutnya pula, langsung atau tidak langsung, Hinduisme pada suatu waktu mengalir ke dalam peradaban dan bahasa Aceh walaupun hal ini sangat sulit diteliti dalam riwayat dan adat. Julius Jacob seorang ahli kesehatan yang pernah bertugas di Aceh tahun 1878M menyatakan bahwa pengaruh Hindu atas penduduk setidak-tidaknya dapat ditemukan dengan kenyataan tentang pemakaian nama-nama tempat dalam bahasa Hindu istilahnya terdapat dalam bahasa Aceh.[4]
Dalam ranah kesusastraan, sastra Aceh juga memiliki keterpengaruhan Hindu, seperti adanya Hikayat Sri Rama dalam bahasa Melayu, dikenal sebagai saduran dari Kakawin Ramayana karya Walmiki. Baik versi Aceh maupun Melayu dari Hikayat Sri Rama maupun Rahwana telah menimbulkan dugaan bahwa hikayat itu mencerminkan sejarah Aceh dan Raja Rahwana yang dimaksud di dalamnya adalah Raja yang pernah bertahta di Indrapuri (Aceh Besar). Nama-nama gampong tua dari bahasa Sangsekerta seperti Indrapuri atau Indraparwa juga telah dikaitkan oleh sementara penduduk sebagai suatu nama kota-kota kerajaan Hindu yang pernah tumbuh di Aceh, meski demikian hal itu samasekali tidak dapat dijadikan pegangan untuk mengatakan bahwa telah berdiri kerajaan Hindu di Aceh, karena masih memerlukan pembuktian-pembuktian yang dapat dipercaya mengenai hal ini.[5]
Kembali kesejarah masa lalu, pengaruh Hindu datang dari India, di Aceh mereka telah membuat perkampungan, mereka sendiri datang melalui pesisir pantai Utara Aceh. Pengaruh Hindu di Aceh telah terjadi sejak zaman purba seperti yang ditulis oleh ahli-ahli ketimuran Belanda dalam beberapa buku tentang sejarah budaya Aceh (Prof. Dr H Aboebakar, Aceh 1972). Dan ada juga beberapa penemuan berupa guci-guci yang berisi abu jenazah di Lamno Daya (Aceh Jaya) serta beberapa cerita dari masyarakat tentang pahlawan syah yang terus hidup di negeri itu.
Sebelum masuknya agama Islam ke Aceh, terlebih dahulu sudah ada agama serta kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan budha di Aceh. Beberapa kerajaan yang dulu pernah bercorak Hindu seperti, Kerajaan Laut Bangko (Kluet) di Aceh Selatan, Kerajaan Sama Indra (Pedir) yang berada di Pidie, Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa yang berada di Aceh Besar dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu
Penduduk Aceh merupakan keturunan dari berbagai suku, kaum dan bangsa. Leluhur orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin, dan Kamboka. Di samping itu banyak juga bangsa-bangsa asing di tanah Aceh, seperti bangsa Arab, India dan Cina dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama Islam di Aceh. Seperti yang kita ketahui bangsa Arab dan India terkenal dengan kebiasaan berdagangnya. Bangsa Arab yang datang dan tinggal di Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka seperti Al-Aydrus, Al-Habsyi, Al-Attas, Al-Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain-lain yang semuanya merupakan bangsa Arab asal Yaman.
Pada masa pra islam, budaya yang hidup dalam masyarakat Aceh diserap dari nilai-nilai agama Hindu. Menurut Van Langen, pada dasarnya orang Aceh berasal dari bangsa Hindu. Migrasi Hindu bertapak di Pantai Utara Aceh dan dari sini menuju ke pedalaman. Dari Gigieng dan Pidie, mungkin juga dari daerah Pase, migrasi Hindu menuju ke daerah 22 Mukim di Aceh Besar. Meskipun pendapat ini dibantah oleh Snouck Hurgronje. Akan tetapi, jika diperhatikan dari intensitas pergaulan, terutama dalam bidang perdagangan antara Aceh dan India pada masa itu, maka dapat dikatakan bahwa agama Hindu merupakan anutan sebagian masyarakat Aceh sebelum kedatangan Islam. Selain Hindu, diperkirakan agama Budha juga menjadi anutan bagi sebagian masyarakat Aceh yang lain, yang diduga dibawa oleh orang-orang Cina. Dengan demikian terdapat kecenderungan bahwa budaya yang berkembang dalam masyarakat Aceh pra Islam bersumber dari ajaran Hindu.
B. Awal Mula Islam Masuk ke Aceh
Lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pada abad ke-7 M, menimbulkan suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia. Islam merupakan gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis dan sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama tentang sejarah perkembangan awal Islam. Ada perbedaan antara pendapat di antara ahli sejarah. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke-13 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke Indonesia pada abad ke-7 M. Sedangkan kepastiannya, hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islam adalah daerah Aceh.
Analisis dan pemikiran tentang bagaimana sejarah masuknya Islam di Indonesia dipahami melalui sejumlah teori. Aji Setiawan, misalnya melihat bahwa datangnya Islam ke nusantara bisa ditelisik melalui tiga teori, yaitu teori Gujarat, teori Arab, dan teori Persia. Teori Gujarat memandang bahwa asal muasal datangnya Islam di Indonesia adalah melalui jalur perdagangan Gujarat India pada abad 13-14M. Teori ini biasanya banyak digunakan oleh ahli-ahli dari Belanda. Salah seorang penganutnya, W.F. Stuterheim menyatakan bahwa Islam mulai masuk ke nusantara pada abad ke-13 yang didasarkan pada bukti batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada tahun 1297M. Menurut teori ini, masuknya Islam ke nusantara melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay (India)-Timur Tengah–Eropa.
Teori Persia lebih menitikberatkan pada realitas kesamaan kebudayaan antara masyarakat Indonesia pada saat itu dengan budaya Persia. Sebagai contoh misalnya kesamaan konsep wahdatul wujud-nya Hamzah Fanshuri dengan al-Hallaj. Sedangkan teori Arab berpandangan sebaliknya. T.W. Arnold, salah seorang penganutnya ber-argumen bahwa para pedagang Arab yang mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad ke-7M atau 8M juga sekaligus melakukan penyebaran Islam di nusantara pada saat itu. Penganut teori ini yang lainnya adalah Naquib al-Attas melihat bahwa bukti kedatangan Islam ke nusantara ditandai dengan karakter Islam yang khas, atau disebut dengan “teori umum tentang Islamisasi nusantara” yang didasarkan pada literatur nusantara dan pandangan dunia Melayu. Di samping tiga teori umum di atas, ada teori lain yang memandang bahwa datangnya Islam ke nusantara berasal dari Cina, atau yang disebut dengan teori Cina.
Datangnya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, dapat dilihat melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan dan ajaran tasawuf, serta jalur kesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Kegiatan pendidikan Islam di Aceh lahir, tumbuh dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya Islam di Aceh. Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa perdagangan disebabkan oleh Islam merupakan agama yang siap pakai, asosiasi Islam dengan kejayaan, kejayaan militer Islam, mengajarkan tulisan dan hafalan, kepandaian dalam penyembuhan dan pengajaran tentang moral.
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Karena itu sebagaimana fithrahnya, maka cepat atau lambat akan menyebar keseluruh dunia dan memenuhi alam semesta. Keniscayaan inilah yang kemudian membawanya sampai ke wilayah Nusantara. Islam datang ke Nusantara bukan melalui penaklukan tetapi melalui jalur perdagangan. Para sarjana dan peneliti tentang proses kedatangan dan penyebaran Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia hampir bersepakat dengan kenyataan bahwa Islamisasi di kawasan ini umumnya terjadi melalui jalan damai. Tentu saja ada sedikit kasus tentang penggunaan kekuatan dan penaklukan oleh penguasa Muslim Melayu-Nusantara untuk mengkonversi rakyat atau masyarakat di sekitarnya menjadi Islam, tetapi secara umum pengIslaman tersebut dilakukan oleh da’i dan ulama yang berlangsung melalui metoda dakwah, lemah lembut dan cara-cara damai.
C. Kesultanan Peureulak Merupakan Pusat Penyebaran Islam Fase Pertama di Aceh (Fase Masuk dan Pembauran)
1. Sejarah Berdiri dan Masuknya Islam Ke Kerajaan Peureulak
Kata Peureulak berasal dari nama pohon kayu besar yaitu “Bak Peureulak” (Batang Kayu Peureulak). Kayu peureulak ini sangat baik digunakan untuk bahan dasar pembuatan perahu atau kapal, sehingga banyak dibeli oleh perusahaan-perusahaan perahu kapal. Di Peureulak banyak tumbuh jenis pepohonan ini, sehingga disebut negeri Perlak (Peureulak).[6]
Kawasan ini merupakan kawasan aman untuk berdagang, sehingga para pedagang menggemari dan sangat suka datang ke daerah ini selain untuk membeli kayu yang digunakan untuk membuat atau merehab perahu/kapal maupun melakukan transaksi perdagangan lainnya. Hingga berkembangnya Islam yang pertama dan pada akhirnya munculnya Kerajaan Islam Peureulak sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia.[7]
Peureulak merupakan kerajaan Islam pertama di wilayah Aceh yang berlokasi di Bayeun sampai Kuala Idi (Sampai sekarang namanya tetap Peureulak, di daerah Kabupaten Aceh Timur). Diantara raja yang pernah memerintah kerajaan Peuruelak sebelum menjadi kerajaan Islam, 9 orang rajanya bergelar Mohrat atau Meurah yang berarti maharaja, karena itu diduga raja-raja tersebut merupakan pendatang keturunan India yang beragama Hindu.[8] Selanjutnya ke daerah ini datang pedagang Arab dan Persia yang beragama Islam aliran Syi’ah.
Berdasarkan beberapa sumber, diperkirakan bahwa kedatangan pedagang Arab dan Persia tersebut pada abad 7M atau 8M. (Sedangkan Pada abad ke-13, Islam sudah berkembang pesat). Menurut catatan Ali Hasjmi, bersumber dari kitab Idh-Harul Haq Fi Mamlakatil, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy, Kesultanan Peureulak merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berdiri pada tanggal 1 Muharam 225H atau 804M. Kesultanan ini terletak di wilayah Peureulak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia,[9] Sultannya yang pertama adalah Sayed Maulana Abdul Aziz Shah yang bergelar Sultan Alaiddin Sayed Maulana Abdul Aziz Shah. Kemudian Bandar Peureulak diganti namanya menjadi Bandar Khalifah.[10]
Pada tahun 680M ini, rombongan pedagang tersebut berjumlah 100 orang dari Timur Tengah menuju pantai Sumatera yang dipimpin oleh Nakhoda Khilafah. Rombongan ini bertujuan untuk berdagang sekaligus membawa sejumlah da‘i yang bertugas untuk membawa dan menyebarkan Islam ke Peureulak. Dalam waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat Peureulak meninggalkan agama lama mereka (Hindu dan Buddha), yang kemudian secara sukarela berbondong-bondong memeluk Islam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa salah seorang anak buah dari Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja‘far Shadiq dikawinkan dengan Makhdum Tansyuri, yang merupakan adik dari Syahir Nuwi, Raja Negeri Peureulak yang berketurunan Parsi. Dari buah perkawinan mereka lahirlah Sultan Alaiddin Sayed Maulana Abdul Aziz Shah, yang menjadi sultan kerajaan Islam pertama di Kesultanan Peureulak sejak tahun 840M. Ibu kotanya Peureulak yang semula bernama Bandar Peureulak kemudian diubah menjadi Bandar Khalifah sebagai bentuk perhargaan terhadap jasa Nakhoda Khalifah. Sultan dan istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, (Kabupaten Aceh Timur).
Nama Kesultanan Peureulak sebagai sejarah permulaan masuknya Islam di Indonesia kurang begitu dikenal dibandingkan dengan Kesultanan Samudera Pasai. Namun demikian, nama Kesultanan Peureulak justru terkenal di Eropa karena kunjungan Marco Polo pada tahun 1292M. Ia mengatakan bahwa pada saat itu di Sumatera terbagi dalam delapan kerajaan, yang semuanya menyembah berhala kecuali satu, yaitu kerajaan ferlec (Peureulak)..
Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Sayed Maulana Abbas Shah, aliran Sunni mulai masuk ke Peureulak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363H (913M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan. Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915M), Sultan Alaiddin Sayed Maulana Ali Mughayat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.
Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian. Bagian pertama, Peureulak Pesisir (Syiah), dipimpin oleh Sultan Alaiddin Sayed Maulana Shah (986 – 988). Bagian kedua, Peureulak Pedalaman (Sunni), dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023M).
Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Sayed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Peureulak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Peureulak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Peureulak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan Peureulak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006M.
Sultan Peureulak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya dengan para pemimpin kerajaan tetangga.
Kesultanan Peureulak berdiri pada tahun 840M dan berakhir pada tahun 1292M. Sebelum Kesultanan Peureulak berdiri, di wilayah Peureulak sebenarnya sudah berdiri Negeri Peureulak yang raja dan rakyatnya merupakan keturunan dari Maharaja Pho He La (Meurah Peureulak Syahir Nuwi) serta keturunan dari pasukan-pasukan pengikutnya.
Sultan Perlak yang ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang Sari dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Malik Al-Shaleh.
Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al-Zahir yang juga merupakan putera dari Malik Al-Shaleh. Sesuai seperti kutipan dalam catatannya Prof. Ali Hasjmi;
“Kerajaan Peureulak terus berdiri, hingga ketika Kerajaan Sriwijaya menyerang akhirnya Kerajaan Peureulak bergabung dalam kerajaan Islam Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik Al-Dzahir (1289 – 1326 M)”.[11]
2. Silsilah Kesultanan Peureulak
Sebelum berdirinya Kesultanan Peureulak, di wilayah Negeri Peureulak sudah ada rajanya, yaitu Meurah Peureulak Syahir Nuwi. Namun, data tentang raja-raja Negeri Peureulak secara lengkap belum ditemukan. Sedangkan daftar nama sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Peureulak adalah sebagai berikut:
1) Sultan Alaiddin Sayed Maulana Abdul Azis Shah (840-864M)
2) Sultan Alaiddin Sayed Maulana Abdul Rahim Shah (864-888M)
3) Sultan Alaiddin Sayed Maulana Abbas Shah (888-913M)
4) Sultan Alaiddin Sayed Maulana Ali Mughayat Shah (915-918M)
5) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (918-922)
6) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (922-946)
7) Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (946-974)
8) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (976-988) dan
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (976-1012)
9) Sultan Makhdum Malik Mansyur Shah Johan Berdaulat (1059-1078)
10) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansyur Shah Johan Berdaulat (1078;)
11) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078-1108)
12) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109-1134)
13) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1134-1158)
14) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1158-1170)
15) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1170-1196)
16) Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1196-1225)
17) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1225-1263)
18) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1263-1292)
Catatan: Sultan-sultan di atas dibagi menurut dua dinasti, yaitu dinasti Sayed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat, yang merupakan keturunan dari Meurah Peureulak asli (Syahir Nuwi).
3. Pengaruh Kerajaan Peureulak Terhadap Penyebaran Islam di Nusantara
Memang pada masa Kerajaan Peureulak Islam belum begitu berkembang luas, bisa saja karena pengaruh kerajaan besar Hindu lainnya yang masih sangat kuat dan sewaktu-waktu dapat menyerang seketika (seperti Kerajaan Sriwijaya), kemungkinan lainnya bisa juga disebabkan karena pada masa itu Islam masih terlibat konflik internal antara mazhab Syiah dengan Mazhab Sunni.
Satu hal yang sangat penting untuk menjadi catatan sejarah pada saat Kerajaan Islam Peureulak adalah dibangunnya Pusat pendidikan Cot Kala sebagai pusat pendidikan agama pada abad ke 3H (± 900M) yang dipimpin oleh Syeikh Malik Muhammad Amin, yang selanjutnya beliaupun pernah menjabat sebagai Sultan ke 6 di Kesultanan Peureulak. Pusat pendidikan ini merupakan Pusat Pendidikan Islam yang pertama di Asia Tenggara dan menjadi pusat pengembangan bahasa Melayu, yang kemudian menjadi cikal dan lanjutan kepada Kerajaan Samudera Pasai dengan mengirimkan ulama-ulamanya ke Pasai dalam mengembangkan pusat kajian bahasa melayu. Sejak Cot Kala didirikan, sudah mulai banyak ulama dari Timur Tengah, salah satunya adalah Syeikh Abdullah Arief (Mekkah).
Kerajaan Peureulak mempunyai pengaruh keIslaman bagi daerah-daerah di sekitarnya. Banyak ulama Peureulak yang berhasil menyebarkan Islam ke luar Peureulak, misalnya sekelompok Da’i Peureulak dapat mengIslamkan Raja Beunua. Setelah penyerangan oleh Sriwijaya Para ulama Peureulak, tokoh-tokoh, pemimpin, dan keluarga raja Peureulak banyak yang pindah ke Lingga (Aceh Tengah), negeri serbajadi dan negeri peunaron (Tamiang dan Lokop), sehingga mereka membentuk masyarakat Muslim di sana dan dengan demikian maka berdirilah kerajaan Islam Lingga. Selain Peureulak kerajaan Islam yang terpenting di Sumatera adalah Samudera. Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa pada tahun 1282 kerajaan kecil Samudera telah mengirim duta-duta dengan nama muslim.
D. Samudera Pasai sebagai Pusat Penyebaran Islam Fase ke Dua (Masa Kebangkitan dan Penyebaran ke Nusantara)
1. `Sejarah Berdiri dan Masuknya Islam Ke Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam kedua di Aceh. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M. Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya makam raja-raja Pasai di Gampong Beuringen Kecamatan Geudong, Aceh Utara. Makam ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di Gampong Beuringen, Kecamatan Samudera Geudong, sekitar 18 km sebelah timur Kota Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan Malik Al-Shaleh, Sultan Kerajaan Pasai pertama. Malik Al-Shaleh adalah nama baru setelah ia masuk Islam menggantikan nama sebelumnya, yaitu Meurah Silu. Ia berkuasa lebih kurang 30 tahun (1267-1297M). Malik Al-Shaleh adalah keturunan dari Raja Islam Peureulak, yaitu Makhdum Sultan Malik Ibrahim Syah Johan (976 – 988M).
Ada beberapa hal yang masih simpang siur mengenai Sultan Malik Al- Shaleh. Ada yang menyebutkan beliau sebelumnya merupakan pemeluk agama Hindu yang kemudian diIslamkan oleh Syeikh Ismail. Ada pula yang menyebutkan bahwa beliau sudah memeluk agama Islam sejak awal, namun sebelumnya bermazhab Syi’ah, namun ketika Syeikh Ismail datang bersama 70 pengikutnya ke Samudera Pasai, beliau berubah haluan menjadi murid Syeikh Ismail yang bermazhab sunni.
Sebelum bernama Samudra Pasai, kerajaan ini bernama kerajaan Samudra saja. Samudera merupakan daerah kecil yang terletak di muara Sungai dan mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Selain itu Samudera menjadi pusat pengembangan pengetahuan agama, dimana teolog-teolog, ahli ilmu kalam, yang datang dari Arab dan Persia, sering melakukan diskusi tentang teologi dan mengkaji kajian Islam di istana sultan. Reputasi Samudera kemudian beralih ke Pasai dan menjadi pusat keilmuan. Upaya Islamisasi terus digiatkan sehingga Pasai memiliki pengaruh keIslaman yang kuat dan menjadi pusat tamaddun Islam di saat itu. Kerajaan Samudra merupakan kerajaan yang makmur dan kaya. Juga memiliki angkatan tentara laut dan darat yang teratur.
Kerajaan Samudra semakin bertambah maju, yang kemudian dikenal dengan nama “Samudera Pasai”, yaitu setelah dibangunnya Bandar Pasai pada masa pemerintahan Raja Muhammad.
Hubungan Kerajaan Samudra Pasai dengan Kerajaan Peureulak sangatlah baik. Dan hal ini makin dipererat dengan menikahnya Sultan Malik as Shaleh dengan putri Ganggang dari Kerajaan Peureulak, yaitu putri dari Sultan Peureulak ke 17 (Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat). Puncak kejayaan kerajaan Samudra Pasai yaitu pada masa pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir (1326—1349M/757—750 H).
Seorang pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun 1346 M. ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga menyebutkan bahwa, Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar.
Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India, Siam, Arab dan Persia. Komoditas utama adalah lada. Sebagai bandar perdagangan yang besar, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham. Uang ini digunakan secara resmi di kerajaan tersebut. Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam.
Seiring perkembangan zaman, Samudera mengalami kemunduran, hingga pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1360 M. Kerajaan Pasai terus mengalami kemunduran diakhir tahun 1521, dimana terjadi penyerangan oleh pasukan Portugis. Sultan Ali Mughayatsyah sebagai sultan Kerajaan Darussalam pada masa itu membantu Pasai menggempur Portugis dan merampas wilayah Pasai. Kemudian mempersatukan Kerajaan Pasai dengan kerajaan Darussalam sehingga memproklamirkan menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1524M.
2. Silsilah Sultan Kerajaan Samudera Pasai
Penulis kesulitan mendapatkan data silsilah dan keturunan yang lengkap tentang Kerajaan Samudera Pasai, jadi data yang kami kemukakan disini belumlah memenuhi secara runtut tahun berdiri hingga berakhirnya kerjaan Samudera Pasai, Sultan yang pernah memerintah di kerajaan Pasai semuanya berjumlah 9 orang, 5 diantaranya adalah sebagai berikut;
1) Sultan Malik Al-Shaleh/Meurah Silu (1267-1297M)
2) Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326M)
3) Sultan Ahmad Laidkudzahi (tidak diketahui masa pemerintahannya)
4) Sultan Zainal Abidin Malik Az-Zahir (1383-1405M)
5) Sultan Shalahuddin (1405-1412M)
6) s.d 9) penulis Belum memperoleh data, yaitu dari tahun 1412M hingga tahun 1524M.
3. Pengaruh Kerajaan Samudera Pasai Terhadap Penyebaran Islam Di Nusantara (Indonesia).
Seperti halnya Kerajaan Peureulak, Kerajaan Samudera Pasai juga mempunyai pusat kajian ilmu pengetahuan, terutama pengembangan sastra melayu dan kebudayaan melayu. Satu hal yang paling besar pengaruhnya terhadap penyebaran Islam di Nusantara adalah ketika pada zaman Sultan Zainal Abidin berkuasa, beliau banyak mengirimkan ulama ke berbagai wilayah di Nusantara dan Asia Tenggara seperti Malaka, Kedah, Perak, Patani, Trengganu, Barus, banten, Gresik, Brunei, Ternate, Mindanao dan sebagainya.
Sultan juga mengirim dua orang bangsawan Samudera, yaitu Malik Ibrahim dan Malik Ishak ke daerah Gresik (daerah jawa), yang kemudian di daerah tersebut Maulana Malik Ibrahim memperoleh sebutan wali dari masyarakat di sana (beliau merupakan salah satu dari 9 wali; di pulau Jawa dikenal dengan sebutan walisongo) dan lebih dikenal dengan sebutan Maulana Malik Ibrahim[12], yang kemudian Islam menyebar ke seluruh daerah daratan jawa. 4 (empat) dari sembilan walisongo tersebut merupakan ulama asal Aceh, mereka adalah sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Drajat dan Sunan Bonang.
Malik Ibrahim dan Malik Ishak adalah anak dari Maulana Jumadil Kubra, yaitu ulama Persia keturunan dari Sayidina Husein (cucu Nabi Saw). Beliau menetap di Samarkand, dan kemudian pindah ke Samudera Pasai. Malik Ibrahim menikahi putri Pasai dan dikarunia anak bernama Raden Rahmad (atau di pulau Jawa dikenal dengan nama Sunan Ampel). Satu Tokoh lainnya yang dikirim Sultan Pasai ke Demak-Cirebon-Banten adalah Fatahillah yang lahir di Basma Pasai (1490), oleh orang Portugis disebut Falatehan. Fatahillah menikah dengan kakaknya Sultan Trengganu (Trenggono)
Pasca leburnya Samudera Pasai ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam membuat Aceh tampil sebagai kekuatan yang menyeluruh dan terpadu baik di bidang politik, maupun ekonomi, bahkan di bidang pemikiran Islam mulai abad 16 sampai abad 18 dan puncak kejayaannya berlangsung pada abad ke- 17. Kejayaan dan kemajuan yang dicapai oleh Aceh menyebabkan berdatangan ulama-ulama dari Arab, Persia atau India menjalin hubungan demi pengembangan keilmuan di Aceh. Di Aceh telah lahir ulama-ulama besar yang membaktikan diri mereka dalam renungan dakwatul Islam sehingga lahirlah khazanah keilmuan dan wacana intelektual keagamaan. Semua itu membuat Aceh patut diperhitungkan dalam “peta pemikiran Islam di Nusantara.
Baca : Fundamentalisme Dalam Islam
E. Kerajaan Aceh Darusssalam (Fase Kejayaan dan Kegemilangan)
1. Sejarah Ringkas Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh Darussalam terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam. Menurutnya, pada masa pemerintahannya Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar kecil sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). Sebagai akibat penaklukan Malaka oleh Portugis itu, jalan dagang yang sebelumnya dari laut Jawa ke utara melalui Selat Karimata terus ke Malaka, pindah melalui Selat Sunda dan menyusur Pantai Barat Sumatera, terus ke Aceh. Dengan demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri.
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M). Kerajaan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majapahit dan sejak saat itu kerajaan Pasai terus mengalami kemunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.
Menurut H.J. de Graaf, Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini menjadi bagian wilayah Aceh dan pergantian agama diperkirakan terjadi mendekati pertengahan abad ke-14. Menurutnya, Kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar Al-Kamal. Ia juga berpendapat bahwa rajanya yang pertama adalah Ali Mughayat Syah.
Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. Untuk mengatur daerah Sumatera Timur, raja Aceh mengirim panglima-panglimanya, salah seorang diantaranya adalah Gocah, pahlawan yang menurunkan sultan-sultan Deli dan Serdang.
Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai. Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat Syah untuk menggempur Portugis. Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, Mughayat Syah tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dengan kekuatan besar, Aceh kemudian melanjutkan serangan untuk mengejar Portugis ke Malaka dan Malaka berhasil direbut. Portugis melarikan diri ke Goa, India. Seiring dengan itu, Aceh melanjutkan ekspansinya dengan menaklukkan Johor, Pahang dan Pattani. Dengan keberhasilan serangan ini, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup hampir separuh wilayah pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya hingga Pattani.
Demikianlah, walaupun masa kepemimpinan Mughayat Syah relatif singkat, hanya sampai tahun 1528 M, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam, yaitu: (1) mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar; (2) menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara; (3) bersikap waspada terhadap negara kolonial Barat; (4) menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar; (5) menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara. Sepeninggal Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh penggantinya.
Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh.
2. Pengaruh Kerajaan Aceh Darusssalam Terhadap Perkembangan dan Penyebaran Islam Nusantara
Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar Al-Qahar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia menjalin hubungan persahabat dengan kerajaan Usmani di Turki dan Negara-negara Islam yang lain di Indonesia. Dengan bantuan Turki Usmani tersebut, Aceh dapat membangun angkatan perangnya dengan baik. Aceh ketika itu tampaknya mengakui kerajaan Turki usmani sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan kekhalifahan dalam Islam. Tidak seperti Iskandar Muda yang memerintah dengan tangan besi, penggantinya, Iskandar Tsani, bersikap lebih liberal, lembut dan adil. Pada masanya Aceh terus berkembang beberapa tahun. Pengetahuan agama maju dengan pesat.
Leburnya Samudera Pasai ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam membuat Aceh tampil sebagai kekuatan yang menyeluruh dan terpadu baik di bidang politik, maupun ekonomi, bahkan di bidang pemikiran Islam mulai abad 16M sampai abad 18M dan puncak kejayaannya berlangsung pada abad ke-17M. Kejayaan dan kemajuan yang dicapai oleh Aceh menyebabkan berdatangan ulama-ulama dari Arab, Persia atau India menjalin hubungan demi pengembangan keilmuan di Aceh. Di Aceh telah lahir ulama-ulama besar yang membaktikan diri mereka dalam renungan dakwatul islam sehingga lahirlah khazanah keilmuan dan wacana intelektual keagamaan. Di antara ulama yang terkenal pada saat itu adalah: Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniry dan Abdul Rauf al-Singkili. Semua itu membuat Aceh patut diperhitungkan dalam peta pemikiran Islam di Nusantara.
Semakin tumbuh dan maraknya pemikiran keagamaan menjadikan Aceh pusat keilmuan Islam di Nusantara, sehingga banyak orang Islam dari berbagai daerah di Nusantara datang ke Aceh untuk belajar kepada ulama-ulama besar Aceh. Murid-murid yang belajar ke Aceh nantinya kembali ke daerah masing-masing, untuk menyebarkan Islam, ilmu bahkan tariqhat. Mereka merupakan anak panah penyebaran Islam dan tradisi keilmuan yang berkembang di Aceh. Selain itu kedudukan Aceh sebagai persinggahan jamaah haji Indonesia telah menjadikan Aceh posisi istimewa bagi penyebaran dan perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan pengajaran agama Islam. Kehadiran jemaah haji di Aceh sambil menunggu pemberangkatan ke Haramain sering dimanfaatkan untuk belajar ilmu keagamaan.
F. Menelaah Kontroversi Masuknya Islam dan Kerajaan Islam Pertama di Aceh
Ada beberapa kontroversi yang terjadi di kalangan para ahli sejarah dalam menetapkan Kawasan pertama sekali masuknya Islam di Aceh dan Kerajaan Islam Aceh yang Pertama, termasuk dalam buku-buku teks pelajaran di sekolah, baik disekolah dasar maupun Tingkat Menengah dan Tingkat Lanjutan, disebutkan kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Kerajaan Samudera Pasai. Namun, fakta (sumber-sumber sejarah dalam bentuk tulisan; seperti yang telah kita uraikan di atas) menyebutkan Peureulak lebih dulu ada daripada Samudera Pasai. Kerajaan Peureulak muncul mulai tahu 840 M sampai tahun 1292 M.
Bandingkan dengan kerajaan Samudera Pasai yang sama-sama berlokasi di Aceh. Berdiri tahun 1267, Kerajaan ini akhirnya lenyap tahun 1521. Entah mengapa dalam buku-buku pelajaran, tertulis secara jelas kerajaan Samudera Pasai-merupakan kerajaan Islam yang pertama di Indonesia. Sebuah kesengajaan atau kekurangan referensi dalam menulis, ataupun tim penulis tersebut hanya menggunakan rujukan sejarawan luar dengan mengabaikan sejarawan lokal untuk menggunakan sebagai referensi tambahan.
Menurut Dr. Husaini Ibrahim[13], seorang peneliti dari Universitas Syiah Kuala, dilihat perspektif arkeologi dan dari bukti-bukti fisik yang ditemukan yaitu berupa batu nisan di Desa Lamreh, Banda Aceh, maka Islam sudah lebih dulu masuk ke Banda Aceh daripada wilayah Pasai, mengingat tahun yang tertera dibatu nisan tersebut lebih tua usianya (tahun 1207M) daripada yang ada di Samudera Pasai (1297M).
Dilema perbedaan ini memang susah untuk disatukan, jika masing-masing pihak saling mempertahankan ide dan pendapatnya masing-masing, tentunya dengan bukti yang mereka miliki masing-masing. Namun begitulah sejarah, karena butuh waktu dalam menemukan dan mengungkapkan fakta.
Kerajaan Islam Peureulak akan mempunyai sedikit kelemahan jika para sejarawan meneliti sejarah peureulak menggunakan perspektif arkeologi yang menginginkan bukti-bukti fisik berupa makam atau batu nisan atau bekas reruntuhan dan peninggalan istana kerajaan, maupun benda-benda bersejarah lainnya yang dapat mengungkapkan sejarah itu sendiri. Bukti-bukti yang digunakan dalam penulisan sejarah Peureulak umumnya berlandaskan peninggalan naskah/tulisan seperti; 1) kitab Idh-Harul Haq Fi Mamlakatil, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy (yang hingga saat ini tidak diketahui lagi keberadaan dari arsip kitab aslinya), 2) Keterangan Marco Polo yang pernah berkunjung ke Peureulak pada tahun 1292M, 3) cerita turun temurun bahwa disana ada pusat pengkajian Islam dan pengembangan bahasa Melayu Cot Kala (yang sekarang sudah ditabalkan kembali oleh STAIN Cot Kala, Langsa).
Kerajaan Islam Pasai akan lebih meyakinkan jika dilihat dari perspektif arkeologinya, karena hingga saat ini komplek pemakaman Sultan Samudera Pasainya masih utuh dan sudah dipugar. Namun Samudera Pasai memiliki kelemahan dari segi catatan sejarahnya. Untuk menelusuri silsilah keturunannya saja kita mengalami kendala, diakibatkan kurangnya peninggalan dalam bentuk naskah yang menerangkan tentang Samudera Pasai. Ini disebabkan penulis zaman dulu kurang banyak menuliskan kitab-kitab sejarah, umumnya lebih banyak menuliskan kitab-kitab pelajaran agama. Konon ada sebagian kitab yang enggan menuliskan namanya sebagai pengarang, untuk menghindari timbulnya sifat ria (seperti kitab Masaailal Muhtadi) yang hingga saat ini masih tetap dipergunakan di kalangan dayah di Aceh, walau tidak diketahui kejelasan asal-usul pengarangnya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari tulisan di atas dapatlah kita ambil beberapa kesimpulan, yaitu;
1) Agama Islam masuk pertama sekali di kawasan Peureulak pada abad ke 7M, dari Pedangang Arab dan Persia melalui dakwah dan cara-cara damai, perkawinan dengan keluarga kerajaan yang kemudian merubah bentuk kerajaan yang ada sebelumnya menjadi Kesultanan Islam pada tanggal 1 Muharam 225H atau tahun 840M. Sultan pertamanya adalah Sultan Alaiddin Sayed Maulana Abdul Aziz Shah.
2) Mazhab pada saat pertama Islam masuk ke Peureulak adalah mazhab Syi’ah yang kemudian beberapa waktu kemudian pada tahun ±900M datang penyiar Islam bermazhab Sunni, dan terjadi pergolakan internal hingga akhirnya mazhab Sunni lebih mendominasi.
3) Pada abad ke 13M Islam dari Pasai sudah menyebar dan sudah mulai mengirimkankan utusan untuk berdakwah keluar daerah, kemudian pada abad ke 14M Pasai mengirimkan para da’i sudah diutus ke tanah jawa dan seluruh Nusantara.
4) Masa Kerajaan Aceh Darussalam, merupakan masa kecemerlangan dan kegemilangan disegala aspek, Pusat ilmu pengetahuan agama Islam, Pusat penyebaran Islam ke seluruh Nusantara, sebagai pintu gerbang dan tempat transit jamaah haji (sehingga dinobatkan sebagai Serambi Mekkah), tempat persinggahan kapal-kapal asing.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hadi, Hamzah Fansuri; Risalah dan Puisi-puisinya, Bandung: Mizan, 1995Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,1984.
Abdul Jalil, “Kerajaan Islam Peureulak Poros Aceh-Demak-Ternate” dalam A. Hasjmy (peny), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’rif, Bandung, 1993.
Aboebakar Atjeh, “Tentang Nama Aceh” dalam Ismail Suny (Ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, BharataKarya Aksara, Jakarta, 1980.
Amirul Hadi, Aceh, Sejarah, Budaya, dan Tradisi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010
Ali Ahmad, Karya-karya Bercorak Sejarah, Kuala Lumpur: Dewan bahasa dan Pustaka, 1987.
Ali Hasymi, Syarah Ruba’I Hamzah Fansuri oleh Syamsudin Al-Sumatrani, Ali Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: Al-Ma’arif, 1981.
Ali Hasyimy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia : Kumpulan Prasaran pada seminar di Aceh, Al ma’arif, 1993.
Ali, Hasymi, Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, Jakarta: Bulan Bintang, 1977
Hosein Jaya Diningrat, dkk, Dari Sini Ia Bersemi, Banda Aceh: Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, 1981.
Husaini Ibrahim, Materi Kuliah Sejarah Masuk dan Penyiaran Islam Dari Kerajaan Aceh Ke Nusantara, Lhokseumawe: PPs KPI STAIN Malikussaleh, 9 Mei 2014.
Machi Suhadi, Halina Hambali, Makam-makam Wali Sanga di Jawa: Depdikbud, 1995
HM Thamrin, dkk., Perang Kemerdekaan Aceh, Badan Perpustakaan Propinsi NAD, Banda Aceh, 2007.
M. Hasbi Amiruddin (Ed.), Aceh Serambi..., hal. 4. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 8, No. 1, 2010: 91 – 118.
Mahmud Sulaiman, Kontroversi Sejarah Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1998.
Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, 1998.
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Harian Waspada, 1961
Rusdi Sufi, dkk, Sejarah Kebudayaan Aceh , Banda Aceh: PDIA, 2003.
Ridwan Azwad, dkk, Aceh Bumi Iskandar Muda, Banda Aceh: Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam, 2008
Zakaria Ahmad, Aceh (Zaman Prasejarah & Zaman Kuno), Banda Aceh: Pena, 2008, ...Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra, Jakarta: Depdikbud, 1997
[1] Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 1998), hal 3.
[2]. M. Hasbi Amiruddin (Ed.), Aceh Serambi ..., hal. 4. Lihat juga Tuanku Abdul Jalil, “Kerajaan Islam Peurlak Poros Aceh-Demak-Ternate” dalam A. Hasjmy (peny), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’rif, Bandung, 1993.
[3] Aboebakar Atjeh, “Tentang Nama Aceh” dalam Ismail Suny (Ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, Bharata Karya Aksara, Jakarta, 1980, hal. 20.
[4]. Ali Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hal. 358.
[5]. M. Hasbi Amiruddin (Ed.), Aceh Serambi..., hal. 4. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 8, No. 1, 2010: 91 - 118
[6]. A. Hasyimy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia : Kumpulan Prasaran pada seminar di Aceh (Al ma’arif, 1993), hal. 152
[7]. Mahmud Sulaiman, Kontroversi Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1998), hal. 130-142.
[8]. Silsilah sultan Peureulak kami sajikan dalam sub pasal tersendiri .
[9]. Ali Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hal. 300.
[10]. A. Hasyimy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam……………hal. 195.
[11]. A. Hasyimy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam…………..hal. 202.
[12]. HM Thamrin, dkk., Perang Kemerdekaan Aceh, Badan Perpustakaan Propinsi NAD, (Banda Aceh: 2007) hal. 34.
[13]. Husaini Ibrahim, Materi Kuliah Sejarah Masuk dan Penyiaran Islam Dari Kerajaan Aceh Ke Nusantara, (Lhokseumawe: PPs KPI STAIN Malikussaleh, 9 Mei 2014).
0 Response to "Peranan Kerajaan Islam di Aceh Terhadap Perkembangan Islam Nusantara"
Post a Comment